18 Koalisi Tolak Rencana Pembangunan PSN Industri Terpadu Berbasis Kelapa Sawit di Sorong

SORONG, PAPUASPIRITNEWS.COM-Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberay menegaskan Proyek Strategis Nasional (PSN) Industri Terpadu Berbasis Kelapa Sawit oleh PT Fajar Surya Persada Group merupakan bencana mematikan yang terorganisir, terstruktur, dan sistematis untuk menhancurkan tanah, hutan, dan manusia Papua.
“Kekayaan alam Papua yang melimpah tetapi rakyatanya hidup dalam kemiskinan, gizi buruk, kelaparan, pelanggaran Ham, kematian, dan pengungsian dari tanah-tanah adat akibat konflik yang diciptakan untuk merampas serta menguasai kekayaan alam masyarakat adatnPapua”,ujar tim koalisi dalam pres release yang diterima papuaspiritnews.com pada Kamis, (5/6/2025).
Otonomi Khusus katanya sebagai jalan tengah dari teriakan Papua Merdeka tetapi solusi yang diberikan Jakarta tetapi belum mampu memberikan kepastian hidup bagi masyarakat adat Papua.
“Tujuannya memberikan kesejahteraan dan perlindungan bagi masyarakat adat Papua. Tetapi yang terjadi adalah perampokan dan perampasan sumber daya alam Papua selama puluhan tahun.
Kebijakan negara selama ini, semata-mata hanya untuk menguntungkan dan mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan imperialisme asing, sementara malapetaka bagi masyarakat adat Papua”,katanya.
Dikatakannya, hutan Papua yang luasnya diperkirakan mencapai 34,13 juta hektar. Yang mana dalam 34 juta hektar tutupan hutan itu dihuni oleh ribuan flora dan fauna (biodiversity
yang sangat tinggi).
Selain itu sebagai surga keanekaragaman hayati, Papua juga menjadi rumah bagi lebih dari 271 suku (bahasa dan budaya) masyarakat adat yang hidup tersebar dari pesisir hingga pedalaman atau hutan belantara Papua.
“Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat Papua, kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan hutan menjadi nilai tersendiri bagi masyarakat adat”,terangnya.
Namun kini luasan hutan Papua berangsur-angsur berkurang akibat berbagai kebijakan negara mulai transmigrasi, HPH, Perkebunan Kelapa Sawit, Pertambangan Nikel, Emas, Batubara, serta pembukaan hutan untuk industri ekstraktif lainnya yang dilakukan secara ilegal dan tanpa persetujuan masyarakat adat, yang melanggar prinsip FIPC (Free Prior and Informed Consent).
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat pada tahun 2024 terjadi perampasan wilayah adat oleh negara dan korporasi mencapai 2,8 Juta hektar yang selalu disertai dengan kekerasan.
AMAN juga menilai hukum dan kebijakan negara semakin jauh dari tujuan kita bernegara, yaitu untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.
Undang-Undang seperti UU Cipta Kerja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU tentang Ibu Kota Negara, UU Mineral dan Batubara, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan deretan kebijakan operasional di berbagai sektor adalah hasil dari semangat “penyangkalan” terhadap eksistensi masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya.
Sekaligus mencerminkan kegagalan Pemerintahan dalam memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat.
Pengabaian secara terus menerus terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat juga mencerminkan rendahnya kehendak negara untuk berubah. Hingga akhir tahun, hanya sedikit fraksi di parlemen yang akhirnya mengambil inisiatif untuk Kembali mengusulkan RUU Masyarakat Adat ke dalam Program Legislasi Nasional.
Saat ini di provinsi Papua Barat Daya terutama di Kabupaten Sorong terdapat setidaknya empat (4) perusahaan perkebunan kelapa sawit yang telah beroperasi diantaranya : 1. PT Henrison Inti Persada (HIP), dengan luas wilayah konsesi 32.546,30 hektar kini dikuasai oleh Capitol Group;
2. PT Inti Kebun Sejahtera (IKSJ), dengan luas wilayah konsesi 38.000 hektar; 3. PT Inti Kebun Sawit (IKS), dengan luas wilayah konsesi 37.000 hekar; 4. PT Sorong Global Lestari (SGL), dengan luas wilayah konsesi 16.305 hektar; PT IKSJ, PT IKS, dan PT SGL merupakan anak perusahaan Ciliandry Anky Abadi (CAA) Group.
Aktivitas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong dengan janji kesejahteraan dan peningkatan ekonomi telah menipu Masyarakat Adat Moi untuk melepaskan wilayah adat mereka kepada perusahaan dengan nilai jual yang sangat kecil yaitu Rp. 6.000/hektarnya.
Selain itu kehadiran perusahaan juga menimbulkan berbagai masalah sosial mulai dari pencemaran lingkungan seperti yang baru-baru ini terjadi di sungai Klasof, Kabupaten Sorong. Deforestasi, Perampasan dan Penggelapan Tanah tanpa persetujuan masyarakat adat, serta kekerasan yang dilakukan oleh militer yang ditugaskan untuk menjaga kantor-kantor perusahaan.
Sehingga, di momentum Hari Lingkungan Hidup sedunia yang ditetapkan dan dirayakan setiap tanggal 5 Mei setiap tahunnya sejak tahun 1973. Maka kami menyatakan sikap dan mendesak :
1. Pelaksanaan UU Otonomi Khusus Papua harus berpihak pada perlindungan dan penghormatan hak asasi masyarakat adat Papua, termasuk
melibatkan masyarakat adat secara bermakna dalam seluruh proses perencanaan pembangunan dan pemberian izin usaha, sebelum izin diterbitkan di wilayah adat.
2. Negara segera mengambil langkah-langkah aktif untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat adat Papua yang hingga kini terus tersingkir dan termarjinalkan dari tanah dan wilayah adat mereka akibat aktivitas perusahan dan industri ekstraktif.
3. Pemerintah segera menghentikan seluruh aktivitas Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merampas ruang hidup masyarakat adat Papua dan melanggar Hak Asasi Manusia;
4. Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya didesak untuk tidak memberikan dukungan dan izin dalam bentuk apapun kepada semua perusahaan yang mengancaman keberlangusngan hidup masyarakat adat Papua dan lingkungan hidup.
5. Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya didesak tidak memberikan dukungan untuk Pembangunan Industri Pangan Terpadu Berbasis Kelapa Sawit sebagai Proyek PSN dengan rencana investasi sebesar kurang lebih 24 Tahun pada lahan seluas kurang lebih 98.824,97 yang direncanakan oleh PT Fajar Surya Persada pada wilayah Masyarakat Adat Moi dan sekitarnya di Provinsi Papua Barat Daya.
6. Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya didesak agar dalam setiap kebijakannya mengedepankan penghormatan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua.
7. Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya segera menetapkan kebijakan untuk pengakuan dan perlindungan wilayah masyarakat adat sebagai benteng terakhir hutan tropis dan warisan ekologis Papua
8. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan semua pihak-pihak terkait untuk tidak lagi memaksakan proyek-proyek skala besar yang mengorbankan masyarakat adat Papua.
9. Pemerintah mengembangkan program ekonomi kerakyatan yang berpihak pada melibatkan dan berkonsultasi dengan masyarakat adat akar rumput,
Adapun 18 koalisi di Sorong yang tolak rencana pembangunan PSN Industri terpadu berbasis Kelapa Sawit oleh PT Fajar Surya Persada Group yaitu: Dewan Adat Suku Besar Mo, AMAN. MRP Papua Barat Daya, DPRD Kabupaten Sorong Fraksi Otsus.
Greenpeace Indonesia, PBHkP, Belantara Papua, LBHI, FOKER LSM Papua, Klasis GKI Mala Moi, LBH Kaki Abu, BPAN MOI SIGIN, BPAN Min Kilim, BPAN Moi Salkma, Perempuan Tehit, Perempuan Moi, Intelektual Moi, Cipayung, PGM Malaumkarta, LMA Malamoi dan Kaban Saluk Moi.
editor: engel semunya