Akar Konflik Papua Barat Tidak Bisa Diselesaikan Dengan Saling Curiga
Egianus Kogeya Pejuang Bermartabat
“Akar konflik Papua dengan Indonesia yang berlangsung selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961 harus diselesaikan dengan prinsip saling percaya antara Papua Barat dan Indonesia bukan dengan saling curiga”
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Saya menanggapi tanggapan
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang menyatakan kecurigaan berhubungan video pilot Susi Air Capt Philip Mark Mehrtens bersama Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB). Yudo mengatakan:
“Kemarin fotonya masih santai-santai saja gitu. Sepertinya ndak terasa diancam dan santai-santai saja. Bajunya juga ganti-ganti terus,” ( detikJatim, Sabtu (11/3/2023).
Kecurigaan ini sangat berkaitan dengan pandangan penguasa dan sebagian besar penduduk Indonesia yang rasis yang mengaggap Penduduk Orang Asli Papua (POAP) itu manusia kelas dua, monyet, gorila, kkb, separatis, tikus-tikus kecil, dan teroris dan tidak punya peradaban sebagai manusia. Ini dasar dan pencerminan pijakan pemikiran yang berwatak rasisme dari penguasa Indonesia dan sebagian besar rakyat Indonesia yang memandang rendah POAP di Papua Barat.
Yang ada dalam otak, pikiran dan hati penguasa Indonesia dan mayoritas rakyat Indonesia, bahwa POAP itu hitam, seram, menakutkan, kasar, tidak berpendidikan, tidak bermartabat dan hanya melakukan kekerasan dan kejahatan. Pandangan ini sudah dibentuk bertahun-tahun oleh penguasa Indonesia, maka POAP hanya dinilai dari sisi kekurangan dan hal-hal negatif. Ini berakar dari penguasa dan rakyat Indonesia yang berwatak rasis.
Pilot Susi Air Capt Philip Mark Mehrtens dan Pasukan TPNPB
Misi, tujuan dan motivasi penyanderaan Pilot Philip jelas, yaitu untuk mencapai misi, tujuan dan motivasi politik Papua Barat merdeka atau Indonesia harus mengakui Papua Barat sebagai sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat 1 Desember 1961.
Penyendaraan Pilot Susi Air Capt Philip Mark Mehrtens untuk mendapat perhatian dan simpati komunitas Internasional, terutama masyarakat Selandia Baru sebagai tentangga sesama bangsa Pasifik.
Pertanyaan saya sebagai berikut:
1. Apakah Brigjend Egianus Kogeya dan pasukan TPNPB harus membuat susah Pilot Susi Air Capt Philip Mark Mehrtens?
2. Apakah TPNPB bersikap dan berwatak seperti perilaku biadab, kejam, dan kriminal penguasa dan TNI-Polri menyiksa, membantai dan memutilasi Penduduk Orang Asli Papua selama ini?
3. Apakah Papua Barat merdeka harus diraih dengan membuat orang lain susah dan menderita atau dengan cara-cara yang tidak bermartabat seperti TNI-Polri terhadap POAP selama ini?
Brigjend Egianus Kogeya dengan pasukan TPNPB tahu, mengerti, dan mempunyai hati, ada kesadaran dalam mengawal perjuangan Papua Barat Merdeka dengan cara-cara bermartabat, manusiawi dan terhormat.
Brigjend Eguanus Kogeya adalah pejuang Papua Barat merdeka bermartabat dan menghargai kemanusiaan. Egianus Kogeya membuktikan kepada komunitas global dan juga kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Papua Barat merdeka diraih dengan cara-cara bermartabat dan terhormat.
Yang jelas dan pasti, penyelesaian persoalan konflik Papua Barat sudah menjadi perhatian Negara-negara merdeka atau dibahas di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di Afrika Karabia Pasifik (ACP), Forum Negara-Negara Kepulaun Pasifik (PIF), dan Melanesian Spearheads Group (MSG). Bahkan Vanuatu, Fiji, Kanaki sudah menyatakan keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam keluarga besar MSG.
Yang lebih penting lagi, wilayah yang tidak bisa diintervensi atau disentuh oleh penguasa pemerintah Indonesia, yaitu Gereja-gereja dan masyarakat adat di Pasifik menyatakan dukungan penuh Penentuan Nasib Sendiri Rakyat dan Bangsa Papua Barat.
Dukungan Kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat terbukti dengan pernyataan Sekretaris Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC) Pendeta Dr. James Bhagwan pada Sabtu, 18 Februari 2023.
“Kami menegaskan kembali dukungan kami untuk penentuan nasib sendiri rakyat West Papua dan keinginan mereka untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusis. ULMWP harus dikonsultasikan oleh pemerintah, PBB dan Uni Eropa tentang masalah Papua Barat sebagai perwakilan rakyat Papua Barat yang diakui.”
Jadi, Egianus Kogeya dan pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) perlu tahu bahwa perjuangan untuk penyelesaian konflik kekerasan Negara di Papua Barat yang berlangsung lama sudah dibicarakan terbuka dan tidak rahasia dan sembunyi-sembunyi.
Melalui tulisan ini, saya sebagai salah satu pemimpin gereja di Tanah Papua Barat, saya mengusulkan lima syarat penting dan mendesak, yaitu:
1. Egianus Kogeya dari pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) menyatakan mendukung 83 Negara dan mendesak Pemerintah Indonesia mengijinkan Kunjungan Komisionaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa ke Papua Barat.
2. Egianus Kogoye dari pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) mendesak Presiden Republik Indonesia Bapak Ir. Joko Widodo untuk duduk satu meja secara bermartabat dengan Presiden Sementara Rakyat dan bangsa Papua Barat dan Ketua ULMWP Tuan Benny Wenda.
3. Egiangus Kogeya dari pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) meminta dan mendesak Presiden Republik Indonesia menarik seluruh pasukan Non Organik dari Tanah Papua Barat, lebih khusus dari wilayah Nduga.
4. Egiangus Kogeya dari pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) sendiri secara langsung menyerahkan PILOT CAPT PHILIP MARK MEHRTENS kepada Pemerintah New Zealand melalui Duta Besar New Zealand untuk Indonesia di Jakarta di Nduga.
5. Egiangus Kogeya dari pihak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) meminta dan mendesak Presiden Republik Indonesia menyelesaikan empat pokok akar konflik yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI: sekarang Badan Riset Integrasi Nasional -BRIN) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Egianus Kogeya perlu ingat, Rakyat dan bangsa Papua Barat sudah dibohongi oleh Indonesia dengan Perjanjian JEDA KEMANUSIAAN di Genewa, 15 Juni 2022 yang menutup pintu Kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua yang didesak oleh 84 Negara.
Jadi, sekarang ini, saatnya Egianus Kogeya menyatakan dukungan Komisi Tinggi HAM PBB, diplomat asing dan wartawan asing berkunjung ke Papua Barat, .
Terima kasih. Tuhan memberkati Anda.
Ita Wakhu Purom, Rabu, 15 Maret 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC), Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).