Apa Perbedaan Kata “Bergabung” Dan “Digabungkan” Dalam Wilayah Republik Indonesia?

“Papua tanah surga dibuat seperti rumah ‘hantu’ dan dipecah belah oleh bangsa kolonial modern Indonesia dengan tujuan pendudukkan untuk kepentingan emas, uranium, gas, minyak dan sumber alam lainnya”
Oleh Gembala Dr. A G. Socratez Yoman
Selama ini, sejak 19 Desember 1961, 1 Mei 1963 dan melalui Pepera 1969, kata “bergabung”, “digabungkan”, “berintegrasi”, dan “diintegrasikan” dalam penggunaannya kabur, tidak jelas, menyesatkan dan mengorbankan pihak Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dan juga seluruh rakyat Indonesia.
Karena, kata “bergabung”, “digabungkan”, “berintegrasi”, dan “diintegrasikan” ini digunakan penguasa Indonesia untuk menutupi fakta sejarah yang sebenarnya. Penggunaan kata-kata ini menyesatkan rakyat dan bangsa Papua dan juga seluruh rakyat Indonesia. Para sarjana Penduduk Orang Asli Papua (POAP) juga tidak berdaya untuk bernalar kritis, akibatnya turut ikut menyesatkan rakyat dan bangsanya sendiri karena menggunakan kami “bergabung” atau “berintegrasi” dengan Republik Indonesia yang paradoks dengan fakta sejarah.
Oleh karena penyesatan rakyat dan bangsa Papua Barat dan seluruh rakyat Indonesia dari waktu ke waktu sampai sekarang ini, maka saya berupaya membahas dan memberikan pengertian dua kata, yaitu kata “bergabung” dan “digabungkan” dari apa yang saya mengerti dan pahami.
Sebelum saya jelaskan dua kata, “bergabung” dan “digabungkan”, saya mau jelaskan secara singkat kata “berintegrasi” atau “diintegrasikan.”
Kata, “berintegrasi” itu berasal dari kata “integrasi.” Kata “integrasi” di-Indonesiakan dari bahasa Inggris, yaitu “integrate” atau “integration,” yang artinya penggabungan atau bergabung.
Dalam panggilan iman dan moral serta pertanggungjawaban keilmuan saya, saya merasa terpanggil untuk menjelaskan dua kata ini, karena ada seorang pembaca setia tulisan-tulisan saya, ia memberikan respon yang baik setelah membaca tulisan saya berjudul:
Suara Hati Nurani: “BARNABAS SUEBU SH: SAYA MENYESAL BERGABUNG DENGAN REPUBLIK INDONESIA” pada 11 Maret 2023.
Dari pernyataan tokoh besar Barnabas Suebu, SH, saya megubah dari kata “bergabung” dengan kata “digabungkan.”
Kata “bergabung” dengan “digabungkan” ada perbedaan makna atau pengertian.
1. “Bergabung” dengan Republik Indonesia
“Bergabung” berarti Penduduk Orang Asli Papua dengan sukarela atau dengan kemauan politik hidup dengan Republik Indonesia. Seharusnya ada bukti partisipasi POAP dalam proses politik perjuangan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Selain itu perlu ada fakta sejarah keterlibatan POAP dalam proses politik pembuatan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dan Perjanjian Roma 30 September 1962. Dalam proses dua perjanjian ini tidak ada bukti keterwakilan POAP. Hak dasar POAP sangat diabaikan oleh Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB.
Bukan saja tidak ada kerlibatan dalam dua perjanjian itu, tapi juga dalam proses pemilihan, penunjukkan dan penyeleksian anggota Dewan Musyawarah PEPERA 1969 (DMP) 1.025 orang itu dipilih, diseleksi dan ditunjuk oleh pemerintahan militer atau ABRI. POAP tidak pernah memilih wakil DMP.
Jadi, yang jelas dan pasti, fakta kebenaran sejarah menjadi terang, bahwa Penduduk Orang Asli Papua (POAP) tidak pernah memilih dan bersedia bergabung dengan sukarela dan melalui proses keputusan politik yang adil dan benar untuk tinggal bersama dengan Republik Indonesia.
Singkat kata, saya berkeyakinan hampir 100% Penduduk Orang Asli Papua tidak pernah menyatakan “bergabung” dengan Republik Indonesia. Ini fakta sejarah yang disembunyikan, dibelokkan dan dikaburkan selama ini. Sebaliknya, Penduduk Orang Asli Papua berdiri dan berkeinginan kuat untuk merdeka hampir mayoritas 95%.
2. “Digabungkan” dalam wilayah Republik Indonesia
Sementara, “digabungkan” mempunyai pemaknaan dan pengertian bahwa ada bukti pemaksaan, dengan tekanan, intimidasi, teror, penangkapan, penyiksaan, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, penghilangan dan dengan berbagai bentuk kekejaman dan kekerasan. Penduduk Orang Asli Papua 95% tidak pernah terlibat dalam proses politik digabungkan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata atau kekuatan ABRI, kini TNI.
Maklumat Tiga Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 adalah sejarah aneksasi Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia ialah contoh nyata “digabungkan” Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia secara paksa dan sepihak dengan kekuatan moncong senjata ABRI.
Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:
“Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka.” (2009:hal.169).
Untuk membuktikan bahwa POAP digabungkan ke dalam Republik Indonesia secara paksa, saya gambarkan dalam buku saya berjudul: “Pemekaran Dan Kolonialisme Modern di Papua” (Yoman: 2021: 102) sebagai berikut:
1. “95% Orang Asli Papua menolak Pepera 1969.
2. “99%”Orang Asli Papua menolak Otsus 2001 ”
3. “99% OAP menolak Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (-UP4B.”
4. “99% OAP menolak revisi Otsus 2021.”
5. “99% OAP menolak DOB boneka buat Indonesia di Tanah Papua.”
Jadi, umpamanya saja, saya menemukan hanya satu kebenaran dari pemerintah Indonesia dalam proses digabungkannya atau dimasukkan West Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui pelaksanaan Pepera 1969, maka saya akan mengatakan kepada rakyat Papua Barat, mari kita hormati pemerintah Indonesia.
Tetapi, sayang, dalam dokumen laporan hasil Pepera 1969 Annex 1 dan Annex 2, saya tidak menemukan satu kebenaran pun dari di pihak Indonesia. Ditemukan dalam dokumen itu hanya penipuan, kekejaman, kejahatan, ketidakadilan, ketidakbenaran, kekejaman yang dilakukan ABRI (sekarang: TNI-Polri).
Maka apapun alasannya, penguasa kolonial Indonesia tidak layak dihormati dalam konteks West Papua, karena Indonesia menduduki dan menjajah bangsa West Papua dengan illegal.
Kemudian, kalau proses penggabungan atau dihabungkannya West Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan proses yang benar, adil, jujur dan itu memang benar-benar pilihan dari hati nurani orang tua kami, maka kami tetap hormati jasa para orang tua kami yang terlibat dalam proses Pepera 1969.
Tetapi, proses pengintegrasiannya atau digabungkan Papua Barat ke dalam Republik Indonesia 100% penuh dengan penipuan, kejahatan, kekejaman, intimidasi, darah dan air mata, bahkan masih saja membunuh rakyat kami atas nama NKRI, maka untuk apa kita tunduk, akui dan menghormati pendudukan dan penjajahan Indonesia di Tanah leluhur kami.
Lebih baik kita berjuang untuk menegakkan nilai kebenaran dan keadilan demi martabat bangsa kami. Bukan masalah menang dan kalah, tetapi kejahatan dan ketidakadilan kolonial Indonesia yang merendahkan martabat bangsa kami harus dilawan dan diakhiri dengan perjuangan-perjuangan dengan menyatakan fakta sejarah dan juga realitas hidup tidak normal selama ini.
Sejarah membuktikan, bahwa sebuah kekuasaan pemerintahan yang dibangun atas dasar kejahatan, kekerasan dan kebohongan, ketidakbenaran, ketidakadilan, yang merendahkan martabat kemanusiaan, ia tidak pernah bertahan lama. Ia selalu runtuh hancur-berantakan dan tinggal dalam kenangan sejarah. Apakah Indonesia akan bernasib begitu ke depan?
Keadaan yang tidak normal seperti sekarang ini, maka dalam proses memperjuangkan martabat (dignity) rakyat dan bangsa West Papua tidak dengan cara-cara mengemis dan tunduk-tunduk kepada penguasa kolonial moderen Indonesia, karena sejak dulu, kami bangsa yang berdaulat dan terhormat di atas tanah leluhur kami.
Dalam melihat realitas sekarang dan pengalaman selama ini, saya tidak percaya apa yang Anda (penguasa Indonesia) katakan, sebab saya melihat apa yang Anda lakukan setiap hari terhadap rakyat dan bangsaku di atas tanah leluhurku di West Papua. Penguasa tulis lain, bicara lain dan tindakan di lapangan lain, jadi semuanya lain-lain.
Memang menyakitkan, pada saat proses pelaksanaan Pepera 1969, hak dasar hidup, hak politik, dan masa depan Penduduk Orang Asli Papua yang berkeinginan merdeka hampir 95% itu dirampok oleh penguasa Indonesia dengan moncong senjata ABRI.
…bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.”
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui:
“Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.”
(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
“Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.”
(Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Fakta-fakta keterlibatan ABRI (kini: TNI-Polri) tidak terbantahkan. Menurut Amiruddin al Rahab:
“Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer.”
(Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).
Fakta-fakta sejarah ini menggambarkan dengan jelas dan terang, Penduduk Orang Asli Papua tidak dan belum pernah menyatakan bergabung dalam wilayah Rwpublik Indonesia. Jadi, pendudukkan Indonesia di Papua ilegal karena belum dan tidak pernah mendapat dukungan dan legitimasi politik dari Penduduk Orang Asli Papua (POAP).
Contoh terbaru, penyanderaan Pilot Philip Mark Mehrtens dari Tentara Pembebasan Nasional Papua (TPNPB) Egianus Kogeya pada 7 Februari 2023 dan menuntut pengakuan hak kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat 1 Desember 1961 yang dianeksasi atau dirampok oleh bangsa Indonesia melalui Maklumat Trikora 19 Desember 1961. TPNPB tahu dan mengerti sejarah bahwa hak politik POAP sebagai bangsa merdeka dan berdaulat harus diakui oleh penguasa pemerintah Republik Indonesia.
Terima kasih. Selamat membaca. Tuhan memberkati kita semua.
Ita Wakhu Purom, Minggu, 12 Maret 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Editor: Redaksi