Barnabas Suebu SH: Saya Menyesal Bergabung Dengan Republik Indonesia
Suara Hati Nurani
(Kita ikuti apa kata mereka: Made Supriatma, Tamara Soukotta, Reza A.A. Wattimena dan Cypri Jehan Paju Dal, Prof. Franz Magnis, Pastor Frans Lieshout yang memperkuat ungkapan suara hati Penduduk Orang Asli Papua)
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Barnabas Suebu,SH yang akrab dipanggil Kaka Bas, menyatakan penyesalannya seperti dikutip ini.
Saya sebagai orang Papua menyesal bergabung ke Republik Indonesia ini karena pemerintah bersikap diskriminatif terhadap warganya. Saya tidak terbukti satu sen pun melakukan korupsi, tidak terbukti di pengadilan. Saya di zolimi. Jadi saya menyesal dengan putusan ini.
“Tidak terbukti, satusenpun, saya tidak mengambil uang negara. Tidak terbukti di pengadilan. Saya dizolimi. Jadi, saya menyesal. Tulis itu ya. Tulis itu. Jangan kamu takut tulis. Saya menyesal bergabung dengan Republik Indonesia.”Selasa (7/11/2017).
Sesungguhnya apa yang disampaikan Barnabas Suebu sudah merepresentasikan gejolak hati, pikiran dan perasaan seluruh Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dari Sorong-Merauke yang sedang membara sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang.
Penyataan tokoh besar ini, saya mengubah dengan bahasa saya sebagai berikut.
“KAMI PENDUDUK ORANG ASLI PAPUA MENYESAL DIGABUNGKAN MENJADI BAGIAN DARI REPUBLIK INDONESA.”
Kata “Kami” di sini adalah 255 suku POAP pemilik sah Tanah Papua yang hidup dari Sorong-Merauke.
Saya juga megubah dari kata “bergabung” dengan kata “digabungkan.”
Kata “bergabung” dengan “digabungkan” ada perbedaan makna atau pengertian.
“Bergabung” berarti POAP dengan sukarela atau dengan kemauan politik hidup dengan Republik Indonesia. Atau ada partipasi dalam proses politik kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sementara, “digabungkan” mempunyai pemaknaan dan pengertian bahwa ada pemaksaan, dengan tekanan, intimidasi, teror, penangkapan, penyiksaan, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, penghilangan dan dengan berbagai bentuk kekejaman dan kekerasan. Penduduk Orang Asli Papua 95% tidak pernah terlibat dalam proses politik digabungkan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia dengan moncong senjata atau kekuatan ABRI, kini TNI.
Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia pada saat mayoritas 95% rakyat West Papua mau memilih merdeka.
“…bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: “Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:
“Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka.” (2009:hal.169).
Penyesalan yang diekpresikan Barnabas Suebu adalah juga penyesalan dan kekecewaan seluruh Penduduk Orang Asli Papua (POAP).
Pengungkapan atau pengekspresian pernyataan seperti ini dari seorang pemimpin sekelas Barnabas Suebu adalah satu pesan yang kuat, bahwa sesungguhnya Penduduk Orang Asli Papua tidak senang digabungkan dalam wilayah Indonesia. Karena POAP merasakan dan mengalami ketidakadilan dan penderitaan dari tangan besi penguasa Indonesia.
POAP tahu, sadar dan mengerti bahwa hidup dalam Indonesia itu seperti hidup di dalam Neraka, tidak ada kedamaian hanya ketidkadilan, tidak ada jaminan dan harapan masa depan hanya kegelapan, seperti orang hidup dqn berjalan dalam kegelapan malam tanpa lampu penerang dan tidak ada tanda-tanda cahaya kehidupan. Karena yang ada sejak awal dari 19 Desember 1961 itu kekerasan, kekejaman, diskriminasi, rasisme, kebohongan atau penipuan, pencurian, perampokkan, pembunuhan secara keji dengan memutilasi POAP dengan sistematis, terstruktur, masif, meluas, dan kolektif.
Untuk menyembunyikan dan menutupi kekejaman Negara, para penguasa Indonesia tidak mengijinkan Komisi Tinggi HAM PBB, wartawan asing dan diplomat asing dilarang berkunjung ke Papua Barat. Pertanyaannya ialah penguasa takut apa dan sembunyikan apa dan buat apa terhadap POAP selama ini?
Penyesalan dan kekecewaan POAP sangat beralasan, karena banyak sarjana dan peneliti Indonesia menyatakan kejahatan dan kekejaman penguasa dan sebagian besar rakyat Indonesia terhadap POAP.
1. Made Supriatma
Benarlah apa yang ditulis Made Supriatma dalam artikel berjudul: “KOLONIALISME PRIMITIF DI PAPUA,” dan kutip enam butir sebagai berikut:
“Tidak salah kalau orang Papua merasa kami bukan orang Indonesia.Orang Papua selalu merasa bahwa kekayaan alam mereka di Papua dirampas oleh pihak Indonesia. Orang Indonesia mau kekayaannya. Tetapi tidak mau dengan manusianya. Orang Indonesia tidak pernah peduli pada nasib orang Papua.”
“Ketika orang Papua menyatakan keinginannya menentukan nasib sendiri, selalu saja muncul argumen: jika Papua merdeka, kekayaan mereka akan diambil Amerika, Australia atau orang-orang asing. Argumen seperti ini muncul karena perasaan yang mengklaim diri lebih superior. Orang Papua tidak mampu mengelola dirinya sendiri.”
“Kini, ketika pemerintah Indonesia menggembar-gemborkan pembangunan infrastruktur di Papua. Itu semua untuk konsumsi publik di Indonesia. Tidak pernah terdengar suara langsung dari Papua. Tanyakanlah kepada orang Papua, mengapa Anda tidak berterima kasih untuk semua infrastruktur yang Anda dapat? Jawabnya seringkali, “Itu untuk kitong kapa? Itu dong pu jalan to?”
“Tujuan hadirnya aparat kolonial di sana adalah untuk melakukan penjarahan. Dan, semua yang dibangun di sana pun untuk tujuan memudahkan penjarahan. Aparat-aparat kolonial —seperti pada waktu masa kolonial Belanda—membutuhkan kerjasama dari para komprador, orang-orang Papua yang mau bekerjasama. Seperti di zaman kolonialisme Belanda, tugas aparat Indonesia adalah mengawasi para komprador ini.”
2. Tamara Soukotta
Tamara Soukotta dalam artikel yang bertema: “KOLONIALISME DAN RASISME: FONDASI SIKAP INDONESIA TERHADAP PAPUA,” menyampaikan persoalan-persoalan di Papua dan saya kutip sebagai berikut:
“Sepanjang sejarah Indonesia sebagai negara-bangsa, orang Papua dilihat sebagai masalah. Bukan masalah yang harus dipecahkan lewat pembicaraan dan perundingan, melainkan masalah yang harus “diurus”, sebagaimana tersirat dalam kata “tumpas” yang digunakan untuk membungkam setiap gerakan dari Papua. “Tumpas” di sini bermakna mengganyang, menghabisi, membasmi dengan segala cara, entah itu lewat wacana maupun tindakan militer”
“Sejak dianeksasi Indonesia pada 1960-an, tanah Papua telah direbut dan dieksploitasi oleh banyak pihak, sementara rakyatnya menjadi miskin. Orang Papua dianggap “primitif”, “tak berpendidikan”, “setengah binatang”, sasaran pembangunan yang sia-sia, sekaligus penghalang masuknya investasi asing ke pegunungan Papua yang kaya sumber daya alam.”
“Sebagai masalah, orang Papua tidak pernah dilihat setara dengan orang Indonesia. Orang Papua tidak dipandang sebagai manusia dan bangsa yang mampu menentukan nasib sendiri serta mengelola tanah dan kekayaan secara mandiri. Asumsi ini jelas terlihat selama Operasi Trikora (1961-62) untuk mencegah pembentukan “Negara Boneka Papua”.
“Rasisme terhadap orang Papua tampil dalam banyak wajah, dari kelangkaan guru dan dokter di banyak daerah di Papua hingga proyek-proyek pembangunan (termasuk jalan dan jembatan) yang lebih menguntungkan pendatang Indonesia ketimbang orang asli Papua.”
“Rasisme juga terlihat dari penggambaran personel militer Indonesia sebagai “pekerja kemanusiaan” alih-alih pasukan bersenjata, hingga penggambaran orang Papua sebagai “pemberontak” berbahaya yang membawa penderitaan bagi rakyat Papua sendiri.”
“Rasisme juga muncul dalam pelabelan orang Papua sebagai “orang bodoh”, “pemabuk”, “kasar”, “monyet dungu”, “kkb, teroris, opm, gorila, kopi susu, dan tikus-tikus kecil” dan masih banyak yang lain.”
3 Reza A.A. Wattimena
Reza A.A. Wattimena artikel yang bertema: “SAMPAI KAPAN PAPUA BERGOLAK? KAJIAN STRATEGIS ATAS KONFLIK POLITIK dan SUMBER DAYA ALAM PAPUA” menulis sebagai berikut:
“Persoalan HAM sudah menjadi persoalan lama di Papua. Berbagai bentuk pelamggaran HAM terus terjadi terhadap masyarakat Papua, dan seringkali tidak ditanggapi dengan tepat. Hal ini terkait erat dengan konflik politik maupun konflik sumber daya alam yang terjadi di Papua. Sampai sekarang, sebagian masyarakat Papua masih mempertanyakan legitimasi kekuasaan Indonesia atasnya. Permasalahan menjadi semakin rumit, ketika sumber daya alam Papua dikeruk oleh para pendatang, terutama perusahaan bisnis yang bekerjasama dengan militer dan pemerintah Indonesia, namun tidak memberikan sumbangan nyata bagi perkembangan Papua secara menyeluruh” (baca: Jejak Kekerasan Negara Dan Militerisme di Tanah Papua: Yoman, 2021:58).
<span;>4. Cypri Jehan Paju Dal
Cypri Jehan Paju Dal dalam artikel yang bertopik: “PENJAJAHAN LEWAT PEMBANGUNAN DI PAPUA,” menyampaikan penjajahan dan penjarahan atas nama pembangunan sebagai berikut:
“Sudah sejak lama agenda pembangunan pemerintah Indonesia di Papua mendapat kritik dan menulai perlawanan sengit. Operasi tambang, industri kayu, dan perkebunan sawit, tidak pernah sepi dari protes dan perlawanan.Inti dari gugatan orang Papua terhadap pembangunan versi Indonesia itu terungkap dalam pertanyaan: Untuk siapa dan untuk apa sebenarnya pembangunan di Tanah Papua?”
“Gugatan kritis seperti itu tidak dapat dienyahkan begitu saja sebagai suara dari kaum yang dilabel separatis. Substansi dari kritik itu adalah apa yang sudah lama digumuli antropolog sosial dan aktivis anti-kolonial/post-kolonial/de-kolonial di berbagai belahan bumi; yaitu kolonialitas pembangunan atau penjajahan dalam dan melalui pembangunan.”
“…alih-alih memenuhi janji mengentas kemiskinan dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat, justru menjadi alat bagi penguasaan sumber daya alam, dengan memarjinalkan masyarakat pemilik asal dari sumber daya itu dan merusak lingkungan serta budaya mereka.”…”alih-
<span;>alih membuat keadaan lebih baik bagi kelompok sasarannya, pembangunan itu berakhir dengan dominasi, pencaplokan sumber daya, marginalisasi, subordinasi, dan kekerasan dalam berbagai bentuk.”
Di Papua, seluruh program pembangunan diklaim atas nama menyejahterakan orang asli Papua. Namun, kendati saat ini Papua menjadi tempat beroperasinya tidak kurang dari 240 izin tambang, 79 izin HPH raksasa, 85 izin perkebunan sawit, Papua tetap menjadi provinsi termiskin dari tahun ke tahun.”
Pembangunan infrastruktur dan industri baru serta operasi keamanan oleh pemerintahan Jokowi, kendati dibungkus dalam kehendak membuka isolasi Papua dan memakai pendekatan antropologi, secara terang-benderang bertujuan untuk memfasilitasi operasi dari berbagai korporasi milik oligarki pebisnis-politisi Indonesia Raya beserta mitra trans-nasional mereka.”
“Kejahatan pembangunan dan manipulasi proses dekolonisasi itu diperparah dengan infiltrasi penduduk Indonesia non Papua secara besar-besaran sejak masa-masa aneksasi pada periode 1960an. Infiltrasi penduduk itu terjadi melalui proses yang difasilitasi negara seperti program transmigrasi, infiltrasi militer, dan mobilisasi aparat sipil dan keluarganya, maupun arus migran spontan warga biasa yang mencari pekerjaan dan penghidupan yang layak dalam proyek-proyek pembangunan di Papua.”
“Rentetan keterjajahan itu diperparah dengan kontrol militeristik atas pri-kehidupan publik di Papua. Seluruh protes orang Papua terhadap kejahatan pembangunan, manipulasi sejarah, dan dominasi demografis, ditanggapi otoritas Indonesia tidak sebagai aspirasi untuk mencari solusi, tetapi dihadapi dengan operasi kekerasan.”
“Singkatnya, cara pembangunan dijalankan di Papua lebih merupakan bagian dari kontrol dan penguasaan atas manusia Papua dan segenap kekayaan alam dan budaya mereka.
Aspirasi mereka akan hidup yang layak dalam alam dan budaya mereka yang lestari ditanggapi bukan dengan merubah cara pembangunan dijalankan, tetapi dengan kontrol, represi, dan dominasi militeristik.” (Cypri Jehan Paju Dale adalah seorang peneliti pada Insitute Antropologi Sosial, Universitas Bern, Swiss. Ia juga merupakan penulis buku “Paradoks Papua” (2011) dan “Kuasa, Pembangunan, dan Pemiskinan Sistemik” (2013).
Apa yang disampaikan para sarjana dan peneliti yang dikutip ini semakin diperkuat dan dibenarkan dengan watak rasis para penguasa yang kental dan kuat dengan pernyataan-pernyataan sebagai berikut.
5. Prof.Dr. H. Mahfud MD
Prof.Dr. H. Mahfud MD mengutuk POAP dengan mengungkapkan kata-kata rasialis yang sangat keji dan kejam.
“Kelompok Egianus Kogeya itu tikus-tikus kecil hanya lima orang.” (Kompas pagi, 25 Februari 2023).
6. Ibu Tri Rismaharini
Menteri Sosial ( Mensos ) Tri Rismaharini sangat merendahkan dan menghinakan orang asli Papua, pada 13 Juli 2021.
“Sekarang saya enggak mau lihat seperti ini, kalau saya lihat lagi, saya pindahkan ke Papua, saya enggak bisa mecat kalau enggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua sana teman-teman.”
7. Sudjiwo Tedjo
Pernyataan Risma yang rasis ini kemudian dikomentari banyak orang. Salah satunya budayawan Sudjiwo Tedjo karena dianggap merendahkan Papua. Sentilan Tedjo ini dicuitkan dalam akun Twitternya @SudjiwoTedjo.
“Maaf, Bu Risma, bila berita ini benar, apakah Bu Risma tidak sedang merendahkan Papua?,” demikian tulis Sudjiwo Tedjo pendek saja di akun Twitternya.
8. Ibu Megawati Sukarno Putri
Paling kejam lagi ialah Ibu Megawati Sukarno Putri, menghina dan merendahkan martabat Orang Asli Papua yang berwatak RASIS yang mengatakan John Wempy Wetipo “kopi susu.”
9. Jenderal (purn TNI) Prof. Dr. Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H., M.H.
Yang paling tidak bermoral dan tidak manusiawi dari Jenderal TNI Prof. Dr. Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H., M.H atau sering disebut A.M. Hendropriyono menghina dan merendahkan Orang Asli Papua, bahwa;
“….pindahkan saja dua juta orang asli Papua ke Manado dan orang-orang Manado dipindahkan ke Papua, supaya dengan sendirinya hilang…”
10. Jenderal TNI Luhut Binsar Pandjaitan, M.P.A.
Yang berwatak rendah dan rasis juga datang dari Jenderal TNI Luhut Binsar Pandjaitan, M.P.A. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju, pernah menghina Orang Asli Papua;
“Pergi saja ke Melanesia sana, jangan tinggal di Indonesia.”
11 Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno
Melihat fakta ini, saya mengutip pendapat Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno memberikan kesimpulan yang akurat dan tepat tentang keadaan rakyat Papua yang sangat buruk dalam Indonesia selama ini dalam bukunya: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme (2015, hal. 255, 257).
“…Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia….Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal. 255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal. 257).
12. Pastor Frans Lieshout,OFM
Dalam buku: Pastor Frans Lieshout,OFM yang berjudul: Gembala Dan Guru Bagi Papua, diabadikan kesimpulan sebagai berikut:
“Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia” (2020: 601).
Kesimpulan:
Yang disampaikan di sini, hanya sebagian kecil, dan masih banyak, bahkan sangat banyak kekejaman dan kejahatan penguasa Indonesia yang memutilasi POAP, maka penyesalan dan kekecewaan Penduduk Orang Asli Papua adalah tidak dibuat-buat, yaitu:
“KAMI PENDUDUK ORANG ASLI PAPUA MENYESAL DIGABUNGKAN MENJADI BAGIAN DARI REPUBLIK INDONESA.”
Akhir dari artikel ini, saya mau mengutip apa yang disampaikan Alm. Prof. Dr. B.J. Habibie:
“Kamu bisa mengalahkan 30 orang pintar dengan 1 fakta, tapi kamu tidak bisa mengalahkan 1 orang bodoh dengan 30 fakta sekalipun.”
Apakah para penguasa di Indonesia ini kumpulan orang-orang bodoh atau orang-orang pintar?
Banyak fakta, bukti tentang kekejaman, ketidakadilan, rasisme, dan pelanggaran berat HAM, marjinalisasi, kesalahan sejarah Pepera 1969 disampaikan terus-menerus tapi para penguasa Indonesia ini seperti 1 orang bodoh yang tidak mau diyakinkan dengan 30 fakta.
Bahkan penguasa Indonesia menutup mata dengan hasil penemuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang dirumuskan empat akar konflik Papua yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
MESKIPUN kebohongan itu lari secepat kilat, satu waktu kebenaran itu akan mengalahkannya,” Ini pepatah Belanda yang kerap diucapkan alm. Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy.”
Terima kasih. Tuhan memberkati kita.
Ita Wakhu Purom, Sabtu, 11 Maret 2023
Penulis:Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC), Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
WA)