Fakta: Budaya dan Peradaban Kami dihancurkan oleh Indonesia
Siapa yang Angkat Penguasa Kolonial Firaun Modern Indonesia Memerintah, Mrnguasai dan Mrmgatur Bangsa Kami?
“Mereka juga mengangkat diri mereka sebagai penyelamat yang dibutuhkan untuk membuat orang Papua menjadi beradab” (Cypri Jehan Paju Dale)9
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Cypri Jehan Paju Dale dalam kata pengantar buku Pdt. Dr. Benny Giay yang berjudul: “Zakheus Pakage Dan Komunitasnya”, dengan sempurna mengatakan:
“Para ogai menganggap orang Papua primitif, terbelakang, dan hidup dalam kegelapan. Mereka juga mengangkat diri mereka sebagai penyelamat yang dibutuhkan untuk membuat orang Papua menjadi beradab. Misi semacam itu telah menjadi asumsi dasar dari…..penjajahan Eropa, ekspansi imperialisme Amerika dan pembangunanisme Indonesia dewasa”. (Giay, 1995, 2022: 3).
Ogai, dalam konteks Mee, adalah orang asing dan juga orang lokal yang bekerja untuk kekuatan dan kekuasaan dan kepentingan asing.
Penguasa kolonial firaun modern Indonesia hadir di Tanah Papua Barat sejak 19 Desember 1961 dengan wajah militer, diskriminasi rasial dan ketidakadilan.
Mereka hadir dengan label, stigma dan mitos-mitos seperti: terbelakang, tertinggal, termiskin, GPK, GPL, OPM, Separatis, Makar, KKB dan Teroris.
Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Pontoh mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) TNI sejak tahun 1996-2014 dan Laksmana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul melalui saluran Iskandar Sitompul Publika-Poscast membongkar aib, borok, kebusukan dan rahasia operasi militer dan mitos, stigma dan label yang diproduksi militer Indonesia di Papua Barat.
Laksamana Muda (TNI) Soleman B. Ponto mengatakan:
“Kita (TNI) yang memberi nama KKB, KSB. Sekarang ini, suka-suka memberi nama..”
Ditambahkan di Papua itu “ada hanya nyamuk-nyamuk, pakai semprot baigon bukan pakai senjata. Ada belalang di sana, tidak cocok gunakan baigon.”
Laksamana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul mengatakan:
“Seperti dulu, kami kasih nama GPK. Saya masih ingat di kepala saya sampai sekarang.”
Penguasa Indonesia berwatak rasis dengan kejam merendahkan martabat kemanusiaan Penduduk Orang Asli Papua dari waktu ke waktu sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang dengan stigma, label dan mitos-mitos.
Semua stigma, label dan mitos ini diproduksi dan diciptakan oleh Negara, TNI dan Polri untuk menyembunyikan, mengkaburkan atau mengalihkan AKAR KONFLIK Papua Barat yang sebenarnya meliputi: diskriminasi rasial, fasisme, kolonialisme, militerisme, imperialisme, kapitalisme, ketidakadilan, pelanggaran HAM berat, genocide, ecocide, marginalisasi, dominasi dalam segala aspek yang sudah berurat akar di Tanah Papua Barat sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang.
Semua kebijakan diskriminasi rasial ini disebut dengan DEGENERATIVE POLICY. Kebijakan degeneratif ini melumpuhkan, menghancurkan dan meniadakan secara perlahan dengan sistematis, terprogram, terstruktur, meluas, kolektif, masif dan integratif.
Dari banyak bukti yang dihancurkan penguasa Indonesia, saya tulis contoh kecil dalam nilai kebudayaan dan peradaban rakyat Papua Barat dari pegunungan.
DR. Leo Laba Ladjar, OFM, Uskup Jayapura, dalam kata pengantar buku:
“Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim-Papua: Kebudayaan Balim Tanah Subur Bagi Benih Injil” (2009) diakui sebagai berikut:
“….Kesan orang ekspedisi itu ialah bahwa penduduk asli itu sudah punya peradaban yang tinggi. Orang-orang penduduk Lembah itu berpandangan luas, semangat kerjanya tinggi, berbakat besar untuk pertanian” (2009:xii).
Pastor Frans Lieshout, OFM, kebangsaan Belanda ini mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Penduduk Orang Asli Papua sebagai berikut.
“Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, …Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni…dan semangat kebersamaan dan persatuan…saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86).
Lebih lanjut Pastor menggambarkan kehidupan Pendauduk Orang Asli Papua dengan tepat, sebagai berikut:
“Waktu Mr. Lorentz diberikan kehormatan untuk membagikan daging babi itu kepada para anggota rombongannya, ia sendiri mencicipi sedikit terlebihi dahulu dari daging itu; rasanya enak sekali! Tetapi tuan rumah menegur dia, ia harus membagi dulu kepada yang lain dan sesudah itu baru ia boleh makan bagian dia sendiri. (Situasi ini lucu sekali, karena orang-orang yang dianggap primitif memberikan pelajaran tentang sopan santun kepada orang asing itu. Siapakah yang sebenarnya primitif” (2009:4).
“Anggota ekspedisi sangat menggangumi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan tinggi di bidang pertanian. Kebun-kebun dan parit-parit di dalamnya kelihatannya seperti di daerah pertanian di Eropa. Selain itu masyarakat Balim juga sangat cerdas, buktinya jembatan gantung di atas sunggai Balim yang baik dan kuat” (2009:14).
“Kami melihat sebuah jembatan gantung buatan tangan manusia. Rombongan orang Dayak meragukan kekuatan jembatan itu dan tidak berani memakainya seperti mereka biasanya kurang menghargai orang Papua. Kami menyebrangi kali itu lewat jembatan yang ternyata baik dan kuat. Kami mengagumi karya teknik mereka itu dan kebun-kebun tebu, ubi dan keladi yang sungguh terawat dengan baik. Mereka bukan manusia ‘primitif'” Kami tidak membayangkan akan bertemu manusia seperti itu….Masyarakat yang sederhana dan polos ini hidup bersama dalam suasana damai” (2009:8).
“Hampir seluruh tanah mereka adalah kebun yang dipagari dengan baik. Jalan-jalan setapak dari kampung satu ke kampung yang lain terkesan terawat rapih dan rumah-rumah mereka berkelompok dengan halaman yang bersih dan teratur” (2009:9).
“….orang-orang yang ramah, bersahabat dan sopan. Kagum, karena orang-orang Dani ( baca:Orang-orang Asli Papua) itu, meskipun masih hidup di zaman batu namun mempunyai peradaban dan kebudayaan tinggi, mempunyai ketrampilan untuk bertani dan menggarap tanah secara intensif, memiliki teknik tinggi untuk membangun sistem irigasi, jembatan gantung dan pagar-pagar dengan tekun dan teliti, membangun dan memelihara rumah-rumah mereka dengan rapi dan bersih serta sesuai dengan iklim dan alam hidup mereka.” (2009:17)..
“Maka dapat dibayangkan situasinya, di mana orang-orang Balim sejak zaman nenek moyangnya mengatur hidupnya sendiri” (2009:42).
“Orang Balim hidup bersama dalam semangat otonom dan bebas. Kekuatan orang Balim terletak dalam kebersamaan. Orang Balim sejati sebenarnya tidak mengemis dan bangga atas dirinya hidup secara mandiri sejak leluhur.” (2009:363).
“Saya sendiri pun belajar dari manusia Balim (Papua) yang begitu manusiawi. …Mereka (OAP) pasti tidak menyadari bahwa kami telah banyak belajar dari mereka daripada sebaliknya.” (Pastor Frans Lieshout,OFM-2009:xviii; hal.9).
Tulisan ini menggambarkan rakyat dan bangsa Papua Barat bukan primitif, terbelakang, tertinggal dan stigma,label lain yang merendahkan.
Terima kasih. Selamat membaca. Tuhan memberkati
Ita Wakhu Purom, 7 Januari 2024
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC), dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Kontak: 08124888458 //0821-4395-5012