Fakta Pemusnahan Etnis Penduduk Orang Asli Papua Dengan Sistematis, Masif, Meluas Dan Kolektif Akibat Kekejaman Penguasa Indonesia
Artikel: Wajah Kejahatan Negara
“3 Pendeta dan 2 Pastor tewas ditembak dan 6.000 pengungsi belum kembali ke kampung halaman akibat operasi militer di Papua Barat”
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman
Potret wajah Indonesia yang sesunggugnya di Tanah Papua Barat sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang adalah kekerasan, kekejaman, kebrutalan, rasisme dan ketidakadilan.
Orang asli Papua diduduki, ditindas dan dimusnahkan; Tanahnya dirampas; Kekayaannya dijarah; Hak politik dirampas dan MILITERISASI secara sistematis, terstruktur dan masif.
“Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.”( Magnis, 2015:255). “Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” ( Lieshout: 2020:601).
Persoalan ketidakadilan dan rasisme serta kekerasan Negara yang sistematis dan terstruktur yang menyebabkan pelanggaran berat HAM adalah luka membusuk dan bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia.
Ada tragedi kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM yang terjadi dalam era Otonomi Khusus Papua 2001 yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia secara sistematis dan terstruktur, masif, meluas dan kolektif.
Saya menulis beberapa korban pelanggaran HAM berat sebagai contoh untuk para pembaca mempelajarinya.
Kasus mutilasi 4 warga sipil di Timika pada pada 22 Agustus 2022. Empat korban adalah Arnold Lokbere, Leman Nirigi, Iran Nirigi, dan Atis Titini. Saat itu empat korban bertemu dengan sembilan pelaku (5 anggota TNI dan 4 warga sipil).
Penguasa kolonial Indonesia belum bertanggungjawab untuk penggembalian 60.000 penduduk orang asli Papua ke kampung halaman mereka dan sampai saat ini masih berada di dearah-daerah pengungsian akibat operasi militer besar-besaran di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybrat dan Pegunungan Bintang.
Pada 23 November 2020 di Puncak Ilaga, di perbatasan Limbaga-GayKunume, Ilaga-Puncak, tiga warga sipil tewas ditembak TNI, masing-masing bernama (1) Akis Alom (laki-laki 34), Status PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) bendahara Pada Dinas Pertanian Kabupaten Puncak Ilaga. (2) Les Morip, (laki-laki 19), Status Masih Pelajar di SMK Gome Kelas III/3 di Gome Kabupaten Puncak Ilaga. 3. Wenis Murib, (laki-laki 13), Pelajar di SD YPPK Mundirok Kelas 6 di Distrik Gome Kabupaten Puncak Ilaga.
Pendeta Yeremia Zanambani di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua yang tewas ditembak oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Sabtu, 19 September 2020. Pendeta Yeremia tewas ditembak Pasukan TNI dalam operasi militer pada saat Pendeta Yeremia ke kandang babi miliknya untuk memberi makanan. Anggota TNI yang membak mati Pendeta Yeremia bernama Alpius Hasim Madi.
Pendeta Yeremia adalah Ketua Sekolah Teologia Atas (STA) di Hitadipa dan gembala jemaat Imanuel Hutadipa dari Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Daerah Hitadipa wilayah Papua 3, Penterjemah Alkitab bahasa Moni dan tokoh gereja dan juga pemuka masyarakat suku Moni.
Anggota TNI menewaskan dua orang Pewarta/Pastor RUPINUS TIGAU ditembak pada 26 Oktober 2020 di Jalai, Intan Jaya dan AGUSTINUS DUWITAU ditembak tgl 27 Oktober 2020 di Bilogai, Intan Jaya.
Pada 18 Juli 2020 Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak mati Elias Karunggu (40) dan Selu Karunggu (20) di pinggir sungai Kenyem, di kampung Meganggorak, Nduga. Alasannya ayah dan anaknya diduga oleh TNI sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).
Pada 19 Desember 2018, TNI menembak mati Pendeta Geyimin Nigiri (83) Tokoh Gereja dan Perintis Gereja Kemah Injil di Kabupaten Nduga. TNI menembak mati dan dibakar jenazah Geyimin dengan menyiram minyak tanah dibelakang halaman rumahnya.
Dalam operasi militer di Nduga, TNI menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/ Perempuan; (3) Masen Kusumburue (26/ Perempuan; (4) Tolop Bugi (13/ Perempuan; (5) Hardius Bugi (15/L). (Sumber resmi: Theo Hesegem, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua).
Pada Rabu, 28 September 2020 aparat keamanan TNI menewaskan dua warga sipil di distrik Bulmu-Yalma, kabupaten Nduga, Papua. Warga sipil yang tewas di tangan TNI, yaitu: Tepania Gwijangge (44 tahun) dan Anle Gwijangge (28 tuhun), dan jenazah mereka dibakar di dalam rumah dan tulang-tulang mereka dibuang di kali oleh pasukan TNI yang bertugas di Pos Mbua-Dal.
Tragedi Wamena berdarah, 6 Oktober 2000 dan penembakan Yustinus Murip dam 8 orang pada 4 April 2003 di Yeleka-Wamena; Tragedi Biak Berdarah, 6 Juli 1998; Abepura Berdarah, 7 Desember 2000; Wasior Berdarah, 13 Juni 2001; Pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan penghilangan paksa Aristoteles Masoka, 10 November 2001; Abepura, 16 Maret 2006; Penembakan Opinus Tabuni, 9 Agustus 2008; Penembakan Yawan Yaweni di Serui, 2009; (8) Penembakan Mako Tabuni, 14 Juni 2012.
Kelly Kwalik tewas ditangan TNI-Densus 88 dan Polri pada 16 Desember 2009. Alasan penembakan Kelly Kwalik melakukan kekerasan di Tambang Tembagapura, Freeport. Setelah Kelly Kwalik tewas ditangan para kriminal TNI-Polri dan Densus 88, kekerasan di areal Tambang emas tidak pernah berhenti.
Ada kekejaman Negara terbukti 4 siswa di Paniai yang tewas ditembak Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 8 Desember 2014. Nama-nama siswa yang tewas di tangan TNI: Simon Degey (17), Apinus Gobay (16), Alfius Youw (18) dan Yulianus Yeimo (17). Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo berjanji untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi sampai sekarang kasus penembakan itu belum diselesaikan.
Kasus Tolikara, Jumat, 17 Juli 2015 sebanyak 11 orang ditembak aparat keamanan Indonesia dan 10 orang luka-luka 1 orang bernama Endi Wanimbo tewas di tangan aparat keamanan Indonesia. Dalam kasus ini terbukti rasisme, ketidakadilan dan pelanggaran berat HAM. Rasisme dan ketidakadilan terlihat Panglima TNI, Kapolri, Menteri Sosial datang ke kabupaten Tolikara hanya mengurus orang-orang pendatang di Tolikara, urus kayu-kayu dan senk kios yang terbakar. Karena kios itu digunakan sebagai tempat ibadah (Musolah). Musolah itu terbakar, bukan dibakar. Panglima TNI, Kapolri dan Menteri Sosial Republik Indonesia tidak mempersoalkan 10 orang yang luka-luka akibat ditembak aparat keamanan Indonesia dan 1 orang Endi Wanimbo yang tewas.
Pendeta Elisa Tabuni ditembak TNI anggota Kopassus pada 16 Agustus 2004 di Tingginambut, Puncak Jaya.TNI juga membuat berita HOAX tentang tewasnya Pendeta Elisa Tabuni di tangan pasukan elit TNI Kopassus dibawah pimpinan Letkol Inf. Yogi Gunawan di Tingginambut, Puncak Jaya, 16 Agustus 2004. TNI menyebarkan berita hoax dimedia massa yang dikontrol militer, bahwa Pendeta Elisa Tabuni ditembak mati oleh Pimpinan TPN-PB OPM Goliat Tabuni. Fakta yang saya temukan langsung di lapangan, bahwa pasukan elit TNI Kopassus mengikat tangan Pendeta Elisa Tabuni dan tewas ditembak di depan mata anak laki-lakinya.
Adapun korban tewas dalam demo damai yang melawan rasisme pada 19 Agustus-23 September 2019. Demo damai melawan rasisme dipicu dari peristiwa RASISME yang terjadi pada 15-17 Agustus 2019 di Semarang, Malang dan Yogyakarta yang dilakukan oleh organisasi massa radikal seperti: Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila (PP), anggota TNI dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI (FKPP). Nama-nama korban sebagai berikut:
(1) Marselino Samon (15) pelajar SMA ditikam hingga tewas pada 29 Agustus 2019 di belakang Kantor Pos Jayapura. (2) Evert Mofu (21) penjaga gudang kontainer pada 29 Agustus 2019 dibacok kepala dan mati di tempat di Telkom Kota Jayapura. (3)Maikel Kareth (21) mahasiswa Uncen semester 7 pada 31 Agustus 2019 ditembak didada tembus belakang dengan peluru tajam. (4) Oktovianus Mote (21) Mahasiswa STIKOM Muhamadiah pada 30 Agustus 2019 jenazah disimpan di freezer di RS Bhayangkara dan jenazah diambil keluarga pada 25 September 2019.
Semua ini korban tewas dari tangan milisi, barisan merah putih dan paguyuban Nusantara. Kelompok kriminal ini bergerak leluasa tanpa dihalangi oleh aparat kemananan TNI dan Polri. Masih banyak luka-luka serius dan ringan yang dialami oleh orang asli Papua. Terlihat aparat keamanan Indonesia melakukan pembiaran para kriminal kota ini dan sepertinya kelompok kriminal kota ini dilindungi TNI-Polri.
Apakah aparat kepolisian Indonesia sudah menangkap para pelaku kriminal ini? Kalau sudah, kapan ditangkap? Siapa-siapa pelakunya pembunuhan? Dimana ditahan para penjahat ini? Dimana proses peradilan dilaksanakan?
Contoh kekejaman Negara terbukti 4 siswa di Paniai yang tewas ditembak Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 8 Desember 2014. Nama-nama siswa yang tewas di tangan TNI: Simon Degey (17), Apinus Gobay (16), Alfius Youw (18) dan Yulianus Yeimo (17). Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo berjanji untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi sampai sekarang kasus penembakan itu belum diselesaikan.
Aparat TNI yang bertugas di Distrik Fayit, Kabupaten Asmat pada Senin 27 Mei 2019 menewaskan empat warga sipil di antaranya meninggal yakni Xaverius Sai (40), Nilolaus Tupa (38), Matias Amunep (16), dan Fredrikus Inepi (35). Tetapi, para pelakunya tidak pernah diproses karena pelakunya TNI yang kebal hukum di Indonesia.
Pasukan TNI 756 yang bertugas di Tingginambut, Mulia, Puncak Jaya juga menembak mati Omanggen Wonda pada 31 Januari 2008. Saya pergi protes kepada pasukan TNI 757 dan mereka menyangkal, tetapi saya sudah memiliki data bahwa pelaku kejahatan itu TNI 756.
Aparat keamanan kepolisian Indonesia telah menembak mati Yesaya Mirin (21/lk) mahasiswa Universitas Cenderawasih dan lehernya dipatahkan dan mukanya dihancurkan pada 4 Juni 2012 di Sentani, Jayapura.
Imanuel Piniel Taplo (20/lk) meninggal di Rumah Sakit Yowari, Jayapura, pada 6 Juni 2012 akibat disiksa dan mukanya dihancurkan dari tangan aparat kepolisian Indonesia pada 4 Juni 2012 dan bahu sebelah kirinya luka serius dan mengeluarkan banyak darah hingga nyawanya tidak tertolong.
Ada kisah seorang ibu hamil yang sangat menyedihkan dan menyentuh hati nurani kita semua akibat Operasi Indonesia Militer di Nduga. “Saya melahirkan anak di tengah hutan pada 4 Desember 2018. Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal. Ternyata anak saya masih bernafas. Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan lagi, saya merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak. Kami pikir dia sudah meninggal. Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira dia sudah mati.
Tetapi saya tetap mengasihi dan membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya dengan baik walaupun di hutan. Karena saya terus membawa bayi saya, saudara laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon, dan daun yang dipanaskan itu dia tempelkan pada seluruh tubuh bayi saya. Setelah saudara laki-laki tempelkan daun yang dipanaskan di api itu, bayi saya bernafas dan minum susu.
Kami ketakutan karena TNI terus menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan kami mencari gua yang bisa untuk kami bersembunyi. Jadi, saya baru tiba dari Kuyawagi, Kabupaten Lanny Jaya. Kami berada di Kuyawagi sejak awal bulan Desember 2018. Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makan makanan yang cukup selama beberapa minggu. Kami sangat susah dan menderita di atas tanah kami sendiri.” (Sumber: Suara Papua, 8 Juni 2019).
Melihat tragedi kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM yang dilakukan Negara, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno menggambarkan sebagai berikut:
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya unuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus.”
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Sementara Pastor Frans Lieshout, OFM sebagai Gembala dan Guru Bagi Papua mengungkapkan:
“..Orang tidak mau mendengar orang Papua, apa yang ada dihati mereka, aspirasi mereka. Aspirasi itu dipadamkan dengan senjata, kita harus mengutuk itu. Pendekatan Indonesia terhadap Papua harus kita kutuk. Orang Papua telah menjadi minoritas di negerinya sendiri. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber bacaan: Pastor Frans Lieshout. Gembala Dan Guru Bagi Papua. hal.399, 601).
Masalah Papua seperti luka membusuk dan dan bernanah itu sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Dari semua kekejaman Negara ini disimpulkan dengan baik Senator dari Aceh Fachrul Razi dengan jujur mengajarkan kita semua.
“Kita harus jujur dan berani menyatakan kebenaran bahwa memang terjadi pelanggaran HAM berat di Papua…. saya melihat Otonomi Khusus Papua saat ini bukan otonomi sebenarnya. Jadi jangan lagi dijanji-janjikan otsus. Otsus itu kan saya lihat ujung-ujungnya tipu-tipu juga”.
(Sumber: Fachrul Razi Senator dari Aceh,Law Justice.co; Mediatimor.com, 24/11/2019)
Melihat ketidakadilan dan kekejaman serta tragedi kemanusiaan yang kronis atau menahun ini, saya meminta Bapak Presiden yang mulia, sudah waktunya Indonesia dan West Papua duduk setara di meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia Helsinki pada 15 Agustus 2005. Jadi, sudah waktunya Presiden Pemerintah Republik Indonesia Ir. Joko Widodo duduk untuk perundingan damai, setara dan bermatabat dengan Presiden Sementara Bangsa Papua Barat Hon. Benny Wenda sesuai dengan janji Presiden RI pada 30 September 2019 untuk pertemuan dengan Kelompok Pro-Referenfum-ULMWP). Supaya kita bersama-sama menciptakan dunia yang harmoni dan perdamaian permamen.
Terima kasih. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 11 September 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Kontak: 08124888458///08128888712
Catatan:
Laporan ini bisa ditambah data-data. Kalau ada data-data atau bukti-bukti kekerasan Negara kirim atau yapri ke nomor HP saya. Saya akan kembangkan dan lengkapi laporan ini.
Waa….Waa….
Editor; Redaksi