Fakta/Realitas Agama Barat dan Pemerintah Indonesia Merusak dan Menghancurkan Ideologi Sosialisme Bangsa Papua Barat
“Ideologi sosialisme bukan ajaran dari bangsa-bangsa dunia Barat, ideologi sosialisme bukan hal baru, dia sudah ada dan hidup beradab-abad sebagai warisan berharga dari leluhur yang sudah menjadi milik, pijakan dan pedoman hidup bangsa Papua Barat. Jadi, sesungguhnya bangsa Papua Barat adalah sosialis sejati”.
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socrates Yoman, MA
Dalam masyarakat sosialis sejati bangsa Papua Barat ada kepercayaan dengan ideologi sosialisme sebelum agama Barat yang disebut dengan Kristen dan bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila dengan berbagai atribut dan simbol-simbol bangsa dan negaranya datang menduduki, menjajah dan menindas bangsa Papua Barat.
Hadirnya agama-agama Barat dengan Kekristenan dan bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila, Bhineka Tuggal Ika dan UUD 1945 di Papua Barat telah membawa konsekwensi buruk, yakni disharmoni, disintegrasi sosial yang menimbulkan dan menghancurkan ideologi sosialisme bangsa Papua Barat.
Kehadiran agama-agama Barat dengan Kekristenan berbarengan dengan ideologi Kapitalisme liberal dan bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila, Bhineka Tuggal Ika dan UUD 1945 di Papua Barat mengakibatkan degradasi kehidupan agama-agama bangsa Papua Barat dan juga pilar penting dalam kehidupan ideologi sosialiame.
Contoh dalam kehidupan suku Lani ada kepercayaan agama mereka, yaitu “NABELAN KABELAN” yang artinya ada harapan kebangkitan kembali dan kehidupan kekal setelah kematian.
Ada dua binatang yang dilambangkan kehidupan dan kematian, yaitu, ular dan burung. Ular disimbolkan harapan kehidupan kekal karena ular biasanya berganti kult.
Ular berganti kulit artinya setelah kematian ada kehidupan kekal di masa depan.
Burung digambarkan sebagai lambang kematian. Karena burung tidak pernah berganti kulit dan burung tidak dapat memberikan harapan hidup kekal masa depan bagi orang Lani.
Dalam suku Lani yang berdiri pada ideologi sosialisme mempunyai keyakinan bahwa matahari adalah mata TUHAN disiang hari dan bulan dan bintang-bintqng adalah mata TUHAN pada malam hari. Karena itu, orang Lani jarang mengambil atau mencuri barang orang lain, karena ada mata TUHAN dimana-mana dalam sepanjang hari, siang dan malam.
Bangsa Papua Barat pada umumnya dan lebih khusus suku Lani ada kehidupan yang tertib, damai dan harmonis sebagai bangsa dengan keyakinan agama-agama dan kehidupan yang berideologi sosialisme dari zaman ke zaman atau berabad-abad.
Kehidupan bangsa Papua Barat yang harmoni yang selalu berinteraksi dengan sesama manusia sebagai manusia yang bermartabat dan setara dan juga kehidupan harmoni dengan alam dan juga roh-roh leluhur yang tidak pernah jauh dari kehidupan rakyat dan bangsa Papua Barat.
Apa yang saya maksudkan dengan
hadirnya agama-agama Barat dengan Kekristenan dan bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila, Bhineka Tuggal Ika dan UUD 1945 di Papua Barat telah membawa konsekwensi buruk, yakni disharmoni, disintegrasi sosial yang menimbulkan dan menghancurkan ideologi sosialisme.
Kehadiran agama-agama Barat dengan Kekristenan berbarengan dengan ideologi Kapitalisme liberal dan bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila, Bhineka Tuggal Ika dan UUD 1945 di Papua Barat mengakibatkan degradasi kehidupan agama-agama bangsa Papua Barat dan juga pilar penting dalam kehidupan ideologi sosialiame.
1. Bangsa Papua Barat dipecah belah menjadi agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik dengan kotak-kotakkan wilayah masing-masing dan mengkleim wilayah-wilayah pelayanan dan kehidupan mereka dengan agama produk Barat.
Dari Kristen Protestan masih dipisahkan lagi dengan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, Gereja Baptis West Papua, Gereja Kemah Injil di Tanah Papua, Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Gereja Pentakosta, Gereja Hari Ketujuh Advent, Gereja-gereja masih banyak yang lain.
Pengelompokkan yang memecah-belah dari bangsa berideologi sosialisme yang padu dan harmoni selama berabad-abad ini terlihat dengan pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) dari utusan agama. Yang merasa diri wilayah mayoritas Kristen Katolik meminta jatah kursi lebih dan juga yang merasa wilayah pelayanan mayoritas Gereja Kemah Injil, GKI, Baptis dan GIDI meminta jatah kursi lebih daripada aliran Kekristenan yang lain.
Fakta ini membuktikan bahwa agama-agama produk dunia Barat membawa keterpecahan, kekacauan, disharmoni sosial, disintegrasi ideologi sosialisme yang turun-temurun memelihara dan merawat persatuan yang kuat dan kokoh.
Ditambah lagi dengan mesin perusak tentang pengajaran ideologi kapitalisme liberal yang mengajarkan kepada bangsa Papua Barat bahwa China itu bangsa komunis yang jahat, tidak punya agama dan tidak punya Tuhan. Ini pengajaran yang sangat menyesatkan dan menghancurkan rakyat dan bangsa Papua Barat yang hidup berabad-abamd dan turun-menurun dengan pandangan dan ideologi sosialisme. Pengajaran dan penyebaran agama Kristen produk dunia Barat dan ideologi bangsa Indonesia selama ini sangat menyesatkan dan proses pembodohan yang sistematis, bahwa pengajaran ideologi sosialisme itu datang dari dunia Barat. Kesadaran Ideologi sosialisme itu milik dan sudah ada dalam bangsa Papua Barat itu dihilangkan secara sistematis.
Bukti ideologi sosialisme adalah Grup Mambesak. Mambesak adalah bagian dari nilai kebudayaan bangsa Papua Barat, dan ditempatkan dalam konteks ideologi sosialisme bangsa Papua Barat, maka Grup Mambesak benar-benar membangkitkan, menyadarkan, menginspirasi, mempersatukan, menghidupkan ideologi sosialisme bangsa Papua Barat yang dihancurkan dan dilenyapkan dengan ideologi agama-agama Barat dan ideologi bangsa kolonial Indonesia.
2. Ideologi sosialisme bangsa Papua Barat dipecah-belah, dirusak dan dihancurkan oleh bangsa kolonial modern Indonesia dengan ideologi palsunya.
Bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila, Bhineka Tinggal Ika, UUD 1945, NKRI harga mati yang berkiplat atau berafiliasi dengan ideologi kapitalisme liberat Barat memaksakan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk menerima ideologi bangsa Indonesia sejak wilayah dan rakyat dan bangsa Papua Barat dianeksasi, diinvansi dengan kekuatan militer 19 Desember 1961, 1 Mei 1963, dan Pepera 1969 yang dimenangkan ABRI.
Ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, Bhineka Tinggal Ika, UUD 1945, NKRI harga mati diajarkan secara paksa dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi dan juga melelui berbagai bentuk pendidikan dan juga di dalamnya ada pendidikan Lembaga Pertahanan Nasional (LEMHANAS) bagi putra-putri asal bangsa Papua Barat.
Ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, Bhineka Tinggal Ika, UUD 1945, NKRI harga mati itu ditaburkan dalam 4 tanah, yaitu:(1) Ditaburkan di pinggir jalan; (2) Ditaburkan diatas batu-batu; (3) Ditaburkan disemak duri; dan (4) Belum ditaburkan di Tanah yang subur.
Ideologi bangsa Indonesia ditaburkan di pinggir jalan, di atas batu-batu dan disemak duri dan belum ditabur di tanah subur, karena bangsa Papua Barat ada benturan dengan dua nasionalisme ganda atau dua bangsa dengan dua ideologi yang berbeda.
Ideologi bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, Bhineka Tinggal Ika, UUD 1945, NKRI harga mati mengacaukan dan merusak rakyat dan bangsa Papua Barat dengan pemekaran-pemekaran kabupaten dan provinsi-provinsi boneka Indonesia.
Kekacauan bangsa dan keterpecahan bangsa Papua Barat terlihat dengan perebutan jabatan, kedudukan, dan lebih parah lagi dengan adanya partai politik produk dari bangsa kolonial modern Indonesia yang benar-benar melumpuhkan, menyesatkan, menghancurkan dan merusak tatanan kehidupan sosial dan rakyat dan bangsa Papua Barat yang hidup dengan ideologi sosialisme yang damai, setara dan harmoni sebelum bangsa agama Barat dan bangsa kolonial modern Indonesia menduduki dan menjajah bangsa kami.
Bagian ini, saya bagi berulang-ulang karena bangsa Indonesia dengan ideologi Pancasila, Bhineka Tinggal Ika, UUD 1945, NKRI harga mati yang berwatak rasialis, kolonialis, militeristik, kapitalis, tidak pernah hargai dan akui kami sebagai bangsa yang bermartabat, berdaulat yang memiliki deologi sosialisme sejak turun-temurun dari berabad-abad. Lebih fatal ialah ideologi sosialisme kami dilumpuhkan, dihancurkan dan ditiadakan dengan berbagai macam siasat dan strategi jahat dan kejam. Saya mengambil contoh dari suku saya, suku Lani yang hidup di bagian Papua Pegunungan yang dilihat atau distigma dan dilabel masyarakat yang belum maju.
DR. Leo Laba Ladjar, OFM, Uskup Jayapura, dalam kata pengantar buku: “Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim-Papua: Kebudayaan Balim Tanah Subur Bagi Benih Injil” (2009) diakui sebagai berikut:
“….Kesan orang ekspedisi itu ialah bahwa penduduk asli itu sudah punya peradaban yang tinggi. Orang-orang penduduk Lembah itu berpandangan luas, semangat kerjanya tinggi, berbakat besar untuk pertanian” (2009:xii).
Pastor Frans Lieshout, OFM, kebangsaan Belanda ini mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Penduduk Orang Asli Papua sebagai berikut. “Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, …Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni…dan semangat kebersamaan dan persatuan…saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86).
Lebih lanjut Pastor menggambarkan kehidupan Pendauduk Orang Asli Papua dengan tepat, sebagai berikut:
“Waktu Mr. Lorentz diberikan kehormatan untuk membagikan daging babi itu kepada para anggota rombongannya, ia sendiri mencicipi sedikit terlebihi dahulu dari daging itu; rasanya enak sekali! Tetapi tuan rumah menegur dia, ia harus membagi dulu kepada yang lain dan sesudah itu baru ia boleh makan bagian dia sendiri. (Situasi ini lucu sekali, karena orang-orang yang dianggap primitif memberikan pelajaran tentang sopan santun kepada orang asing itu. Siapakah yang sebenarnya primitif” (2009:4).
“Anggota ekspedisi sangat menggangumi masyarakat yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan tinggi di bidang pertanian. Kebun-kebun dan parit-parit di dalamnya kelihatannya seperti di daerah pertanian di Eropa. Selain itu masyarakat Balim juga sangat cerdas, buktinya jembatan gantung di atas sunggai Balim yang baik dan kuat” (2009:14).
“Kami melihat sebuah jembatan gantung buatan tangan manusia. Rombongan orang Dayak meragukan kekuatan jembatan itu dan tidak berani memakainya seperti nereka biasanya kurang menghargai orang Papua. Kami menyebrangi kali itu lewat jembatan yang ternyata baik dan kuat. Kami mengagumi karya teknik mereka itu dan kebun-kebun tebu, ubi dan keladi yang sungguh terawat dengan baik. Mereka bukan manusia ‘primitif'” Kami tidak membayangkan akan bertemu manusia seperti itu….Masyarakat yang sederhana dan polos ini hidup bersama dalam suasana damai” (2009:8).
“Hampir seluruh tanah mereka adalah kebun yang dipagari dengan baik. Jalan-jalan setapak dari kampung satu ke kampung yang lain terkesan terawat rapih dan rumah-rumah mereka berkelompok dengan halaman yang bersih dan teratur” (2009:9).
“….orang-orang yang ramah, bersahabat dan sopan. Kagum, karena orang-orang Dani ( baca:Orang-orang Asli Papua) itu, meskipun masih hidup di zaman batu namun mempunyai peradaban dan kebudayaan tinggi, mempunyai ketrampilan untuk bertani dan menggarap tanah secara intensif, memiliki teknik tinggi untuk membangun sistem irigasi, jembatan gantung dan pagar-pagar dengan tekun dan teliti, membangun dan memelihara rumah-rumah mereka dengan rapi dan bersih sersta sssuai dengan iklim dan alam hidup mereka.” (2009:17)..
“Maka dapat dibayangkan situasinya, di mana orang-orang Balim sejak zaman nenek moyangnya mengatur hidupnya sendiri” (2009:42). “Orang Balim hidup bersama dalam semangat otonom dan bebas. Kekuatan orang Balim terletak dalam kebersamaan. Orang Balim sejati sebenarnya tidak mengemis dan bangga atas dirinya hidup secara mandiri sejak leluhur.” (2009:363).
“Saya sendiri pun belajar dari manusia Balim (Papua) yang begitu manusiawi. …Mereka (OAP) pasti tidak menyadari bahwa kami telah banyak belajar dari mereka daripada sebaliknya.” (Pastor Frans Lieshout,OFM-2009:xviii; hal.9).
Ada hal yang kontras dari perilaku orang-orang Indonesia yang berwatak rasis datang ke Tanah bangsa Papua digambarkan dengan baik oleh Pastor Frans Lieshout, sebagai berikut: “Selama puluhan tahun terakhir ini orang Papua sudah belajar banyak dari Indonesia tetapi sebaliknya Indonesia dan banyak pendatang sepertinya enggan untuk mau belajar sesuatu dari Papua. Tidak ada banyak pendatang yang sungguh berusaha untuk mengenal tanah Papua, manusia, bahasa, dan budayanya dan biasanya seseorang tidak dapat mencintai apa yang ia tidak kenal. Dalam program-program pembangunan sering kurang diperhatikan dan dihargai kearifan-kearifan lokal seakan-akan Papua harus menjadi kopi dari daerah-daerah lain di Indonesia tanpa suatu warna lokal Papua. Kiranya tidak cukuplah untuk berulang-ulang kali memproklamasikan Tanah Papua sebagai Tanah Damai” (2009:385-386). Pengakuan Pastor Frans Lieshout mempertegas atau mendukung kebenaran kemerdekaan dan kedaulatan Penduduk Orang Asli Papua. Saya ambil salah satu contoh dari suka saya sendiri, orang Lani. Selengkapnya saya mau sampaikan tentang “NILAI-NILAI LUHUR & ILAHl DALAM PERADABAN HIDUP SUKU LANI” sebagai berikut: Suku Lani yang menggunakan bahasa Lani adalah suku terbesar di Papua, yang hidup, tinggal/mendiami dan bermukim berabad-abad di Pegunungan West Papua di bagian Barat dari Lembah Balim. Wilayah yang didiami pemilik dan pengguna bahasa Lani meliputi: Piramit, Makki, Tiom, Kelila, Bokondini, Karubaga, Mamit, Kanggime, Ilu, Mulia, Nduga, Kuyawagi, Sinak dan Ilaga.
Kata “Lani” akan memiliki arti yang jelas, lebih dalam dan luas, jika ditambah dengan kata “Ap” berarti menjadi Ap Lani yang mengandung makna, yaitu: “Orang-orang Otonom, mandiri, independen dan berdaulat penuh.” Dalam buku: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri” (Yoman, 2010, hal. 92) penulis menjelaskan sebagai berikut:
Kata Ap Lani artinya: ”orang-orang independen, orang-orang yang memiliki otonomi luas, orang-orang yang merdeka, yang tidak diatur oleh siapapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu hidup dalam kesadaran tinggi bahwa mereka memiliki kehidupan, mereka mempunyai bahasa, mereka mempunyai sejarah, mereka mempunyai tanah, mereka mempunyai gunung, mereka mempunyai hutan, mereka mempunyai sungai, mereka mempunyai dusun yang jelas, mereka mempunyai garis keturunan yang jelas, mereka mempunyai kepercayaan yang jelas, mereka mempunyai kemampuan untuk mengatur, dan mengurus apa saja, mereka tidak pernah pindah-pindah tempat, mereka hidup tertib dan teratur, mereka mempunyai segala-galanya.”
Seperti Pastor Frans Lieshout, OFM mengakui: “Saya sendiripun belajar banyak dari manusia Balim yang begitu manusiawi. Saya masih mengingat masyarakat Balim seperti kami alami waktu pertama datang di daerah ini. Kami diterima dengan baik dan ramah, tetapi mereka tidak memerlukan sesuatu dari kami, karena mereka sudah memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan itu. Mereka nampaknya sehat dan bahagia, …Kami menjadi kagum waktu melihat bagaimana masyarakat Balim hidup dalam harmoni…dan semangat kebersamaan dan persatuan…saling bersalaman dalam acara suka dan duka…” ( Sumber: Kebudayaan Suku Hubula Lembah Balim-Papua, 2019, hal. 85-86).
Sumber ini dikutip pandangan seorang misionaris yang hidup lama dengan orang gunung, khusus orang Balim. Tetapi apa yang disampaikam Pastor Frans sudah merupakan representasi nilai luhur dan ilahi dalam peradaban hidup orang-orang Lani juga.
Dalam perang orang Lani ada norma-norma yang harus ditaati oleh kedua kelompok yang bertikai atau berperang. Dilarang membunuh anak-anak. Dilarang membunuh perempuan. Dilarang membunuh orang tua dan juga orang lumpuh. Dilarang membunuh pemimpin. Dilarang mengambil mengambil barang-barang di medan perang sebagai barang jarahan. Dilarang memperkosa perempuan di medan perang.
Membunuh musuh harus dengan alasan yang jelas. Jangan membunuh orang tanpa dasar dan alasan yang jelas kuat. Dalam.membunuh musuh jangan hancurkan muka, kepala, jangan potong leher, potong kaki dan tangan manusia yang dibunuh. Jangan keluarkan isi perut orang yang dibunuh. Jangan membunuh orang dari bagian belakang. Manusia dibunuh dibagian dada/lambung.
Setelah manusia dibunuh mayatnya dilarang keras buang dijurang. Dilarang disembunyikan ditempat tersembunyi. Orang yang dibunuh dilarang dibuat telanjang. Dilarang meletakkan mayatnya terlentang. Mayat orang yang dibunuh diatur posisi tidur menyamping kanan atau kiri, tetapi dilarang biarkan terlentang muka ke arah langit atau muka ke arah tanah.
Setelah dibunuh pihak pembunuh berkwajiban sampaikan informasi kepada keluarga korban. Supaya keluarga korban datang mengambil jenazah dan berkabung dan mengabukannya (membakarnya). Akibat dari melanggar norma-norma perang tadi, para atau pihak pelaku mengalami musibah kutuk dan murka turun-temurun. Keturunan mereka tidak pernah selamat karena darah orang yang dibunuh itu menentut balasan.
Biasanya, musibah dan malapetaka itu berhenti ketika para pelaku kejahatan mengaku bersalah, minta maaf dan minta pengampunan dari keluarga korban.
Dilarang membunuh dan wajib lindungi pemimpin kedua pihak yang sedang berperang dan bermusuhan karena pemimpin adalah simbol pelindung dan perdamaian. Kalau pemimpin dibunuh berarti kehancuran dan malapetaka bagi rakyat kedua belah pihak yang sedang berperang.
Keyakinan, nilai luhur dan ilahi orang Lani bahwa pemimpin adalah NDUMMA sebagai pemegang kebenaran, keadilan, kasih, kejujuran, pengharapan, pembawa angin sejuk, kenyamanan, ketenangan dan harmoni hidup. Karena itu, pemimpin sebagai Ndumma harus dilindungi, dijaga dan dihormati. Kalau orang menggamggu Ndumma berarti mengganggu seluruh penduduk orang Lani.
Kedua belah pihak juga berdamai dengan cara yang unik dan bersahabat, walaupun bermusuhan. Karena pada dasarnya orang-orang Papua pada umumnya dan orang Lani lebih khusus bangsa sosialis sejati adalah orang-orang paling jujur, tulus, tidak berpura-pura dan munafik.
Mereka orang-orang mencintai KEDAMAIAN dan PERSAUDARAAN. Mereka berdamai dengan makan bersama dengan menyembelih beberapa ekor babi. Mereka saling bertukaran ternak babi yang mereka miliki. Adapun daun pisang yang diatasnya diletakkan daun ubi adalah simbol perdamaian antar orang Lani yang sedang berperang. Orang-orang Lani adalah bangsa Melanesia yang sangat unik ada di planet ini. Aku bangga karena aku orang Lani, aku orang gunung, aku orang Papua, aku orang Melanesia yang berideologi sosialisme.
Doa dan harapan saya, bahwa tulisan ini membuka perspektif dan ada kesadaran.
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, Kami, 18 Mei 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.