Fakta Realitas Pemusnahan Etnis Melanesia atau Etnis Penduduk Orang Asli Papua

¤Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggantinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Trasmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan menghilangkan ras Melanesia dari Tanah ini.” (Alm. Herman Wayoi, Februari 1999)
Oleh Gembala DR. A.G. Socrates Yoman
Di era berperadaban tinggi bangsa-bangsa modern, penguasa Indonesia tampil sebagai Firaun dan Goliat modern dengan tangan besi yang disemanhati diskriminasi rasial yang menduduki, menjajah, menindas dan memusnahkan Penduduk Orang Asli Papua (POAP) secara sistematis, terprogram, terstruktur, masif, kolektif dan meluas.
Saya mau sampaikan kepada para pembaca setia tulisan-tulisan saya, bahwa judul artikel ini saya ambil dari judul buku saya yang dilarang Negara 16 tahun lalu tepatnya pada 2007, Buku yang dilarang berjudul: “PEMUSNAHAN ETNIS MELANESIA: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat.”
Buku ini dilarang Negara dengan alasan, isi buku ini mengganggu ketertiban masyarakat. Buku ini dicetak sebanyak 9.000. Buku yang sudah masuk di Toko Buku Gramedia ditarik karena sudah masuk dalam kategori buku terlarang.
Andy Noya menobatkan saya:
“Socrates Yoman spesialis penulis buku-buku terlarang di Indonesia. Karena buku yang ditulis Socrates hampir semuanya dilarang pemerintah.”
Saya menulis kembali judul buku ini untuk menguhubungkan dengan peristiwa “pembantaian massal” yang dilakukan aktor negara pada 23 Februari 2023 yang menewaskan 9 orang, dan korban 2 orang saudara-saudara pendatang.
1. Stepanus Wenda, laki-laki
2. Yan Murib, 45 tahun,laki-laki
3. Mian Karunggu, 24 tahun,laki-laki
4. Fredy Elopere, 15 Tahun,laki-laki
5. Semias Yelipele 30 Tahun,laki-laki
6. Niko Yanengga, 16 Tahun, Laki-laki
7. Korowa Wanimbo,
8. Piky Kogoya, 22 Tahun, laki-laki
9. Wais Asipalek, 15 Tahun,Laki-laki
10. Albert Sitorus (26 Tahun, laki-laki)
11. Ramot Siagian (28 Tahun, laki-lak
Peristiwa “pembantaian massal” ini tidak berdiri sendiri atau tidak bisa dipisahkan dengan perintah Operasi Militer 19 Desember 1961. Pembantaian massal ini bagian yang tak terpisahkan dari Operasi Militer untuk Pemusnahan Etnis Penduduk Orang Asli Papua (POAP).
Natalius Pigai memastikan:
“Bahwa oknum TNI juga terlibat dalam kasus tersebut. Hal itu berdasarkan video yang memperlihatkan adanya anggota TNI menembakan senjata api ke arah warga. Dia pun menilai tragedi Wamena pada 23 Februari 2023 merupakan sebuah kejahatan aktor negara.” (Februari 2023.
A.C. Manulang mengatakan: “Papua masih terus bergolak. Ini tidak lepas dari kepentingan elit Jakarta” (Sumber: Indopos: Minggu, 04 November 2012).
Manuel Kaisiepo berpandangan:
“Rangkaian konflik disertai tindak kekerasan yang terus bereskalasi di Papua seakan melanggengkan label Papua sebagai “zona konflik”. Zona konflik ini memberlakukan hukum “pasar kekerasan” di mana kekerasan menjadi komoditas yang “diperjualbelikan” untuk berbagai kepentingan yang tidak jelas. …tidak semua aksi kekerasan itu muncul begitu saja. Kasus-kasus tertentu justru memperlihatkan by disign untuk kepentingan ekonomi politik pihak-pihak lain, sama sekali tidak terkait dengan kepentingan rakyat Papua” (Sumber: Suara Papua, 23 September 2019).
Kekerasan Negara di Papua adalah wajah krisis moral bangsa Indonesia, krisis kemanusiaan, krisis keadilan, krisis nilai kebenaran dan tragedi kemanusiaan yang berbasis rasialisme terlama yang berjalan telanjang sejak tahun 19 Desember 1961 sampai sekarang.
Benarlah apa yang ditulis Made Supriatma dalam artikel berjudul: “KOLONIALISME PRIMITIF DI PAPUA,” dan kutip sebagai berikut:
“Orang Indonesia mau kekayaannya. Tetapi tidak mau dengan manusianya. Orang Indonesia tidak pernah peduli pada nasib orang Papua. Tujuan hadirnya aparat kolonial di Papua adalah untuk melakukan penjarahan. Dan, semua yang dibangun di sana pun untuk tujuan memudahkan penjarahan.”
Theo van den Broek dalam Nota Diskusi Kelompok Kerja Gabungan Gereja-gereja/Dewan Gereja Papua dengan tema: “IMAN UNTUK DAMAI” sampaikan pengamatannya sebagai berikut:
“Permasalahan di Papua menjadi makin rumit dan makin sulit untuk diatasi. Apalagi ‘rasa aman dan damai’ makin jauh dari penghayatan kita sehari-hari, secara khusus di wilayah-wilayah konflik di Papua, yang jumlahnya makin bertambah… Lingkaran kekerasan makin kuat dan gaya brutal pelanggaran HAM Berat makin kentara….permasalahan/konflik yang makin kompleks dan rumit…Keadaan di Papua sangat kritis dan bersifat darurat…” (Â Paper, 15 Desember 2022).
Prof. Dr. Frans Magnis-Suseno menggambarkan akar konflik dan kekerasan Negara di Papua sebagai berikut:
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Pastor Frans Lieshout menimpulkan penyebab akar konflik Papua sebagai berikut:
“PAPUA TETAPLAHÂ LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
Almarhum Herman Wayoi mengabadikan pesan ini kepada generasi penerus Penduduk Orang Asli Papua (POAP) sebagai berikut:
“Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggantinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Hal ini terbukti dengan mendatangkan transmigrasi dari luar daerah dalam jumlah ribuan untuk mendiami lembah-lembah yang subur di Tanah Papua. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Trasmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan menghilangkan ras Melabesia dari Tanah ini.” ( Sumber: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat: Yoman, 2007:142).
Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Surat Terbuka No. 03/ST/DGP/2023 tertanggal 23 Februari 2023, dikhotbahkan sebagai berikut:
“Pemerintah Indonesia secara sepihak mencabut kesepakatan ‘Jeda Kemanusiaan Bersama’ yang ditanda-tangani pada bulan November 2022 lalu. Bagi Papua, ini merupakan peristiwa yang malang sekali. …Memang keadaan Papua semakin hari semakin zalim. Tanah Papua sudah diduduki oleh keamanan negara Indonesia yang totaliter; tidak ada ruang demokrasi, Tanah Papua dan manusia disandera. Dewan Gereja Papua sadari seperti orang Indian di Amerika dan Aborigin di Australia oleh orang-orang Eropa, dalam konteks Papua, Dewan Gereja Papua sebut ‘genosida merangkak’ atau bertahab.”
Theo van den Broek dalam Papernya tertanggal 28 Februari 2023 menyampaikan tiga pendekatan versi Panglima TNI: TNI akan menggunakan tiga strategi pendekatan di Papua.TNI tetap melaksanakan operasi dalam rangka tertib sipil dan me-backup tugas-tugas kepolisian, karena memang lebih mengedepankan pada penegakan hukum. Akan memakai 3 strategi.
(1) Menggunakan ‘soft approach’ melalui pembinaan teritorial dan komunikasi sosial;
[2] Pendekatan ‘cultural approach’, yakni pendekatan pada tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh kepemudaan; dan
[3] Menggunakan ‘hard approach’, yakni operasi tegas yang digunakan di daerah dengan tingkat kerawanan tinggi.Â
Tiga pendekatan ini tetap memarjinalkan dan pemusnahan Penduduk Orang Asli Papua, karena Negara dan TNI-Polri bertugas menjaga dan melindungi Sumber Daya Alam (SDA) dan orang-orang migran atau pendatang di Tanah Papua sebagai bagian yang memperkuat dan memperluas wilayah pendudukkan dan koloni Indonesia.
Walaupun, kaum migran atau pendatang tidak semua misi politik penjajahan dan penjarahan.
Proses mempercepat pemusnahan Etnis Melanesia atau Penduduk Orang Asli Papua ialah provinsi-provinsi boneka sebagai mesin-mesin yang paling efektif tanpa mengeluarkan peluru dan juga tanpa tekanan komunitas internasional. Pemekaran daerah otonomi baru adalah Operasi Militer dan Operasi Transmigrasi dengan pendekatan baru yang sangat berbahaya dan mematikan Penduduk Orang Asli Papua.
Walaupun keadaan yang menyedihkan, menakutkan, sangat memprihatinkan dan menyakitkan ini, Penduduk Orang Asli Papua (POAP) masih ada harapan hidup masa depan di atas TANAH ini, karena ini TANAH pusaka warisan leluhur dan nenek moyang kami. Kami mati di atas TANAH kami lebih terhormat daripada mati di luar Papua, di TANAH orang.
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” ( Pdt. I S. Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).
Ibu Shirin Ebadi, Wanita Iran, Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pernah mengatakan:
“Ketakutan kami untuk mengatakan kebenaranlah yang menyebabkan selama bertahun-tahun memberi kesempatan dan kekuatan bagi para penindas yang dapat menindas kami.”
Doa dan harapan saya, tulisan ini membuka mata kita dan mengetok hati nurani para pembaca.
Selamat membaca. Tuhan memberkati kita semua.
Ita Wakhu Purom, 2 Maret 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Editor: Redaksi