Hari HAM Internasional ke-76, Warinussy: HAM di Tanah Papua terus memburuk
MANOKWARI, PAPUASPIRITNEWS.com-Yan Christian Warinussy Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari dan salah satu Advokat Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defender/HRD) yang pernah meraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” tahun 2005 di Montreal, Canada.
Dengan ini saya menyampaikan Dirgahayu Hari HAM Internasional ke-76, 10 Desember 2024. Peringatan tersebut senantiasa dilakukan di seluruh dunia tiap tahun semenjak disahkannya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (the Universal Declaration of Human Rights)pada tanggal 10 Desember 1948 dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Paris, Perancis”,ujar Warinussy dalam keterangannya Selas, (10/12/2024).
Sebagai salah satu Pembela HAM saya memberi catatan bahwa setelah 76 Deklarasi Universal tentang HAM (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR) disahkan atau lahir, tapi situasi HAM di Tanah Papua, yang kini terbagi dalam 6 (enam) wilayah Provinsi di Indonesia masih tetap buruk dan senantiasa terjadi berbagai bentuk pelanggaran HAM Berat sebagaimana dimaksud dalam amanat pasal 7 Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Berbagai kasus yang terjadi di wilayah Provinsi Papua, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Pegunungan, Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya senantiasa mengandung banyak sekali aspek yang diduga keras memenuhi unsur-unsur Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) sebagai dimaksud dalam amanat pasal 7 huruf b dan pasal 9 Undang Undang Pengadilan HAM.
Peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat di Enarotali, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua Tengah tanggal 8 Desember 2014 adalah jelas merupakan pelanggaran HAM Berat. Diadilinya hanya seorang perwira menengah TNI Angkatan Darat belum lama ini di Pengadilan HAM Makassar dan divonis bebas adalah sangat memalukan dan mencoreng wajah penegakan hukum dalam konteks perlindungan HAM dalam arti luas di Tanah Papua, Indonesia dan Dunia internasional.
“Saya mendorong Pemerintah Republik Indonesia di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membuka kembali pengungkapan kebenaran dalam peristiwa pelanggaran HAM Berat Paniai 2014. Demikian halnya juga peristiwa dugaan pengambilalihan lahan yang merupakan bagian dari tanah adat suku-suku Papua Asli di wilayah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan semestinya “direview” kembali dengan terlebih dahulu melalui proses dialog terbuka bersama para warga dan kepala suku Papua Asli di daerah Kabupaten Merauke. Tidak bisa pemerintah ataupun investor “sengaja” mengabaikan pranata adat lokal setempat untuk hanya berbicara dengan seorang pimpinan Gereja Katolik seperti Uskup Agung Merauke yang tidak memiliki hubungan kekerabatan apapun dengan suku-suku asli di Merauke”,pinta Warinussy.
LP3BH Manokwari juga hendak menggugah kembali perasaan keadilan ada hati dan diri seorang Presiden Prabowo Subianto terhadap peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat pada tanggal 6 Juli 1998 di Menara air, Biak, Kabupaten Biak Numfor, Provinsi Papua yang menelan korban jiwa. Peristiwa ini sangat penting diselidiki kembali oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) yang memiliki otoritas berdasarkan amanat Undang Undang Republik Indonesia Nomor: 39 Tahun 1999 tentang HAM, Undang Undang Republik Indonesia Nomor: 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres RI) Nomor: 50 Tahun 1999 Tentang Komnas HAM.
Selain itu, kasus dugaan pelanggaran HAM Berat di Wamena, Provinsi Papua Pegunungan yang terjadi tahun 2003 hingga saat ini belum dilakukan langkah lanjutan pro Justitia (untuk keadilan) oleh lembaga yang memiliki kewenangan seperti Komnas HAM RI dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Serta Kasus Wasior tahun 2001 yang banyak korban dan keluarga korban nya sudah wafat, baik karena trauma yang dialaminya akibat disiksa dan atau dianiaya secara melawan hukum (pasal 9 huruf f UU Pengadilan HAM Tahun 2000) maupun korban penghilangan secara paksa (pasal 9 huruf e UU Pengadilan HAM Tahun 2000). Demikian juga keberlangsungan investasi raksasa mineral tembaga l, emas, perak dan uranium di bawah naungan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Company yang berlangsung sejak tahun 1967 hingga saat ini tanpa “negosiasi” yang adil dan memenuhi prinsip-prinsip hukum perdata sebagaimana diatur dalam amanat Pasal 1330, Pasal 1332 dan Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata Indonesia atau Burgerlijk Wetboek (BW).
Menurut LP3BH Manokwari seyogyanya suku Papua Asli yang memiliki hak adat menurut amanat Pasal 3 Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria serta Pasal 43 Undang Undang Republik Indonesia Nomor : 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, mereka pun patut diajak melakukan negosiasi ulang terkait kehendak negara dan Freeport dalam mengelola sumber daya alam di wilayah adat Amungsa (Amungme) dan Kamoro di Mimika, Provinsi Papua Tengah.
LP3BH Manokwari sekaligus mengingatkan negara dan mitra usahanya British Petroleum (BP) asal Kerajaan Inggris (the United Kingdom) untuk menyelesaikan soal kontrak bagi hasil pengelolaan mineral gas di wilayah adat suku Sumuri dengan memberikan porsi yang lebih adil bagi marga yang kini sudah tidak memiliki bagian tanah adat lagi di wilayah adat Suku Sumuri.
Kami (LP3BH Manokwari) juga mendorong Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk mereview kembali program penempatan pasukan TNI Non Organik dalam jumlah sangat besar di seluruh wilayah tanah Papua dengan “topeng” satuan pembangunan, karena cenderung sangat bersifat menafikan keberadaan partisipasi rakyat Papua Asli dalam pelaksanaan pembangunan di Tanah airnya sendiri.
“Kami mendesak Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk bersama memikirkan dan merubah model pendekatan militeristik Indonesia di Tanah Papua dengan model pendekatan damai dan mulai melakukan dialog-dialog damai berdasarkan teori resolusi konflik di dalam mendorong pembangunan perdamaian dalam arti seluas-luasnya di seluruh wilayah Tanah Papua demi perdamaian lokal dan regional bahkan internasional.
“Kami juga mendesak Pemerintah Indonesia agar tidak selalu menggunakan anasir-anasir kekerasan melalui langkah pendekatan keamanan oleh Polda dan Polres di seluruh Tanah Papua dalam menyikapi segenap aksi-aksi damai pemuda, mahasiswa dan rakyat Papua asli yang melakukan protes dan kritik pada saat dan menjelang atau di waktu peringatan peristiwa 1 Desember dan 10 Desember sebagai Hari HAM Internasional di seluruh Tanah Papua dan Indonesia”,akuinya.
Hal tersebut kata Warinussy sangat jelas melanggar amanat pasal 28 Undang undang Dasar 1945 yang memberikan ruang penghormatan terhadap Hak Kebebasan Berserikat, Berkumpul, berpendapat dan berekspresi. LP3BH Manokwari kan senantiasa menempatkan diri sebagai mitra pemerintah Indonesia yang kritis dalam mengkawal proses penegakan hukum dan perlindungan HAM di Tanah Papua, terutama yang bersentuhan dengan rakyat Papua Asli. Pada bagian terakhir dalam rangka memperingati Hari HAM Internasional ke-76, LP3BH Manokwari mendesak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk segera memerintah kan dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sesuai amanat Pasal 46 Undang Undang Republik Indonesia Nomor: 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
“Ini merupakan salah satu amanat dalam konteks penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua dalam konteks kebijakan negara Otsus yang belum direalisasikan sepanjang hampir 25 Tahun terakhir ini”, pungkasnya. [*]