HUT PI ke-168, Yan Christian Warinussy: Tuhan Memberkati Injil Nya, Orang Papua dan Tanah Air Mereka
Manokwari, papuaspiritnews.com-Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay, Yan Christian Warinussy hendak menyampaikan pandangan DAP terhadap perayaan Hari Ulang Tahun Pekabaran Injil (HUT PI) ke-168 Tahun, 5 Februari 2023 besok hari Minggu di Tanah Papua.
“Saya hendak memulai pernyataan DAP dengan mengutip motto Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua yang diambil dari Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus 5:8 yang berbunyi : “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang”,ujar Warinussy dalam keterangannya kepada media ini Juma’t (4/2/2023).
Kalimat tersebut kata Warinussy DAP pahami sebagai akibat dari adanya pemberitaan Injil Kristus Tuhan yang awalnya dibawa ke Tanah Papua yang oleh orang-orang di barat disebut sebagai dunia kegelapan dan atau dunia orang-orang kafir itu.
Yang pada akhirnya menyentuh hati kecil dari seorang laki-laki bernama Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler untuk membawa kabar baik dari Tuhan Jesus Kristus itu datang kepada orang-orang kulit hitam dan rambut keriting di Tanah Papua yang ketika itu berada di bawah wilayah tak bertuan.
Kendatipun pemerintah Hindia Belanda telah berkuasa di pulau Jawa hingga ke wilayah Maluku Utara seperti Ternate dan Tidore. Namun belum ada satu pun pos pemerintah Hindia Belanda di bumi Cenderawasih ketika itu (tahun 1800-an).
Ottow dan Geissler terlecut oleh informasi pertama yang mereka dapatkan dari Pendeta Johannes Evangelista Gossner di Berlin tentang tanah Papua yang berada di salah satu bagian ujung timur dunia dan masih diliputi kegelapan hidup penduduknya yang memerlukan sentuhan Injil Kristus.
“Saya pribadi sebagai seorang Penatua GKI di Tanah Papua sangat yakin bahwa sesungguhnya hal yang sangat mempengaruhi Ottow dan Geissler untuk pergi meninggalkan orang tua dan sanak saudaranya di Tanah Jerman dan merantau mengarungi samudera raya dan sekitar 3 (tiga benua) selama 3 (tiga) tahun hingga tiba di pantai pasir putih Pulau Mansinam, di bibir Teluk Doreh pada 5 Februari 1855”,terangnya.
Hal yang sangat mempengaruhi kedua orang Jerman itu adalah amanat Agung di Bukit Zaitun yang disampaikan sendiri oleh Tuhan Jesus Kristus sebagaimana ditulis kembali oleh penulis kitab Injil Matius, dalam Matius 28:18-20 yang berbunyi : “Kepada- Ku telah diberikan segala kuasa do sorga dan di bumi.
Karena itu pergilah, jadikan lah semua bangsa murid-murid ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Dana ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman.”
Untuk itu, Koordinator Bidang Hukum dan HAM di DAP Wilayah III Doberay, Yan Christian Warinussy mengatakan bahwa perintah Agung Bukit Zaitun tersebut telah mengubah sekaligus meneguhkan iman dan harapan pada diri pribadi Ottow dan Geissler beserta rekan mereka Schneider yang kala itu sedang sakit untuk berangkat meninggalkan Benua Eropa pada tanggal 26 Juni 1852 dengan menumpang kapal “Abel Tasman” dari Hellevoetsluis dengan tujuan Batavia (kini Jakarta).
“Bisa dibayangkan perjalanan mereka dengan Kapal “Abel Tasman” berlangsung selama 3 (tiga) bulan dan 11 hari itu akhirnya mereka tiba di Batavia pada jam 11 siang di tanggal 7 Oktober 1852. Ottow yang rajin menulis catatan harian seperti dikutip oleh Pdt.Rainer Schneumann dalam bukunya : Ottow dan Geissler, Iman, Doa, Kasih dan Pengharapan : “sungguh sebuah perasaan yang luar biasa.
Hati sungguh penuh dengan ucapan syukur dan sukacita untuk dan terhadap Tuhan”. Mereka berdua Ottow dan Geissler serta rekannya Schneider masih tinggal di Batavia selama bulan Oktober 1852 hingga Mei 1854 untuk belajar bahasa Melayu dan Belanda sambil menjalankan tugas pekabaran Injil serta mengajar.
Semua dilakukan oleh mereka sambil menunggu perolehan ijin pelayanan misi dari pemerintah Hindia Belanda untuk dapat pergi ke Tanah Papua yang masih penuh misteri dan gelap bagi mereka, namun mereka percaya kepada Tuhan. Akhirnya pada tanggal 9 Mei 1854, Ottow dan Geissler dengan menumpang kapal laut “Padang” meninggalkan Batavia menuju ke Ternate. Mereka harus berpisah dengan rekan mereka yaitu Schneider yang sakit berat sehingga harus tinggal di Batavia, tapi Schneider kemudian meninggal dunia pada tanggal 22 Maret 1855, ketika Ottow dan Geissler sudah berada di Tanah Papua karena sakit TBC. Dia tidak sempat menyusul mereka dan belum sempat menginjakkan kakinya di Pulau Mansinam maupun di tanah Papua.
Di pulau Ternate, Ottow dan Geissler tiba pada tanggal 30 Mei 1854 dan mereka harus menunggu untuk memperoleh Surat Pengantar bagi misi pelayanan Pekabaran Injil ke Tanah Papua dari Sultan Tidore.
Sebagai salah satu unsur pimpinan pada DAP Wilayah III Doberay, Yan Christian Warinussy memahami dan yakin bahwa sesungguhnya keberadaan Ottow dan Geissler di Ternate sebagai bagian dari Kesultanan Tidore antara Mei 1854 hingga awal tahun 1855 adalah semata-mata karena menunggu pemenuhan prosedur formal semata yaitu memiliki surat pengantar atau surat jalan ke Tanah Papua dari Sultan Tidore sebagai representase Pemerintah Belanda selaku penguasa negeri Nusantara kala itu.
“Mereka justru sehari-harinya hidup bersama Sang saudagar asal Belanda Van Duivenbode yang memiliki 6 (enam) kapal dagang dan sangat berpengalaman dalam berdagang di pantai Utara Tanah Papua (dari Salawati sampai Roon di Teluk Cenderawasih). Van Duivenbode sangat membantu kedua rasul Papua itu, bahkan dia memberi tumpangan bagi mereka ke Pulau Mansinam dengan kapalnya yaitu “Ternate”. Van Duivenbode juga sering disebut dengan nama “Raja Ternate”,ungkapnya.
Van Duivenbode juga membekali mereka dengan informasi mengenai Pulau Mansinam dan penduduknya yang berbahasa Numfor, sehingga mendorong Ottow belajar bahasa Numfor ketika itu demi menunjang misi pelayanan Injil.
Sehingga dapat disimpulkan untuk sementara bahwa sesungguhnya andil Tuan Van Duivenbode sangat besar bagi Ottow dan Geissler, dan bukan sebaliknya yang dilakukan oleh Sultan Tidore kala itu, karena kendatipun Sultan Tidore memberi mereka surat jalan yang isinya menerangkan mereka sebagai orang baik, tapi karena Sultan Tidore tidak pernah membuat kebaikan kepada orang Papua, sehingga mereka di Pulau Mansinam mencurigai kedatang kedua zendeling ini.
Tantangan tersebut kemudian menjadi tantangan yang mesti dihadapi Ottow dan Geissler saat memulai tugas Pekabaran Injil pada awal mulanya di Pulau Mansinam dan pesisir Teluk Doreh.
“Selamat HUT PI ke-168, TUHAN Memberkati Inji Nya dan Memberkati Orang Papua dan Tanah air mereka”,ucap Warinussy. (ES)