Indikator Papua Tanah Damai, Yan C Warinussy: Perspektif Politik Adanya Pengabaian Keanekaragaman Sosial Budaya Masyarakat Papua
MANOKWARI, PAPUASPIRITNEWS.com-Juru Bicara Jaringan Damai Papua (Jubir JDP) Yan Christian Warinussy ingin memulai pernyataan JDP dengan memberi ucapan Selamat Merayakan Hari Idul Fitri 1 Syawal 1444 Hijriah dengan Memohon Maaf Lahir dan Bathin (Minal Aidin Walfaizin) bagi semua saudara umat Muslim yang merayakan di Tanah Papua.
“JDP adalah kumpulan sejumlah tokoh dan aktivis serta akademisi dan pribadi yang tidak terikat kelembagaan dan atau kelompok di Tanah Papua bahkan di Indonesia secara luas. JDP sejak awal berdirinya di tahun 2010 senantiasa memfokuskan diri pada kesamaan pikir dan pandang serta ide dan keinginan untuk Membangun Tanah Papua sebagai Zona Damai”,ujar Warinussy kepada media ini Minggu, (23/4/2023)
Hal mana, kata dia mengingat sudah lebih dari 50 tahun Tanah Papua “menjadi” wilayah konflik dalam fakta dan data. JDP ingin tampil sebagai fasilitator untuk mendorong berbagai pihak di masyarakat Papua untuk memahami nilai-nilai perdamaian dan bersama menyusun langkah mewujudkan Papua Tanah Damai.
“Caranya adalah mendorong dilakukannya dialog damai diantara semua pihak. Termasuk dialog antara negara dengan kelompok-kelompok resisten yang selama ini dipandang sebagai “musuh” negara dan bangsa di Tanah Papua.
Berkenaan dengan situasi politik menjelang pencalonan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) di Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya, maka saya ingin memberikan pandangan dalam kedudukan sebagai Jubir JDP bahwa hendaklah semua pihak. Baik pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota serta penyelenggara pemilihan memahami secara baik dan tidak boleh terkooptasi dengan pandangan skeptis mengenai sebutan migran bagi kelompok-kelompok masyarakat adat tertentu yang sudah ratusan tahun mendiami wilayah pesisir dan pulau bahkan kepulauan di wilayah adat Doberay”,terangnya.
Misalnya di Manokwari ada suku Doreri, yang menurut sejarah adat dan perjalanan adatnya telah datang dari Pulau Numfor dan mendiami serta menjadi penduduk asli di wilayah pesisir Kabupaten Manokwari.
Hal itu terdokumentasi secara baik di dalam dokumen yang disebut Aanvulende memorie yang ditulis oleh controleur J.H.Pieters pada tahun 1959. Mereka disebut oleh Pieters sebagai penduduk asli dari Kwawi sampai ke Saumarin.
Lengkap dengan wilayah adatnya masing-masing dan dahulunya diakui dan dihormati oleh 3 (tiga) kepala suku besar Masyarakat Pedalaman Arfak, yaitu Lodewijk Mandacan, Barend Mandacan dan Irogi Meidodga.
“Bukti nyata adalah sejumlah tempat di sepanjang wilayah pesisir Kota dan Kabupaten Manokwari hingga kini masih melekat sebutan nama dalam bahasa Numfor, seperti Saumarin, Saubeba, Roudi, Sanggeng (Sangken), Wosi (Wousi), atau Mnukwar (kini Manokwari)”,jelasnya.
Hal yang sama, menurutnya terjadi di Kepulauan Raja Ampat, banyak terjadi perjalanan sejarah yang mengantarkan sejumlah warga asal Pulau Biak dan Numfor hingga menaklukkan dan mendiami secara turun-temurun wilayah-wilayah kepulauan Raja Ampat tersebut. Buktinya hingga kini ditemukan fam atau keret yang sama dengan yang ada di Biak. Misalnya keret Mayor, Mambraku, Mambrasar, Mambrisau, Korano, Dimara, Imbir, Omkarsba, Sauyai, Wanma, Urbinas, Fakdawer dan lainnya.
Juga sejumlah nama tempat di kepulauan Raja Ampat mendapat sebutan nama khas berbahasa Biak, seperti Urbinasopen, Saukabu, Arborek, dan sebagainya. Ini semua menjadi bukti sejarah yang tercatat dan diketahui oleh semua orang, baik orang Raja Ampat secara umum maupun kita dari luar wilayah Raja Ampat. Baik orang Doreri maupun Orang Raja Ampat memiliki catatan sejarah yang dikuasai dan dipahami mereka sendiri.
“Tidak bisa ada satu perorangan tertentu maupun suku manapun datang lalu mau menceriterakan sejarah perjalanan salah satu suku secara tepat atau berusaha mengkalim bahwa suku tersebut adalah imigran secara skeptis belaka.
Sehingga keberadaan suku manapun di Tanah Papua, khususnya di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat daya sebagai bagian dari wilayah Adat III Doberay jelas tercatat bahwa ada dua suku asli yaitu Suku Doreri dan Suku Biak Betew Raja Ampat yang pula memiliki hak politik yang sama dengan suku asli lainnya untuk memperjuangkan haknya dalam koridor negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) dalam kerangka keberlangsungan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagaimana dirubah dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021″,paparnya.
Hal Ini, kata Warinussy adalah bagian penting yang telah pula dirumuskan oleh JDP dalam formula Indikator Papua Tanah Damai dalam perspektif politik yaitu mengenai adanya pengabaian atas keanekaragaman sosial budaya masyarakat Papua. (Engel Semunya)