Indonesia-ULMWP Duduk Satu Meja

(Sudah waktunya Pemerintah Indonesia dengan ULMWP duduk satu meja untuk perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang netral di tempat netral)
Oleh Gembala DR. A.G. Socrates Yoman
Saya mengusulkan Pemerintah New Zealand diberikan mandat oleh PBB dan Indonesia untuk berperan menjadi mediator untuk menyelesaikan akar persoalan konflik berkepanjangan di Papua. Penahanan Pilot Pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY Capt. Pilot Philip Marthens warga Negara Selandia Baru menjadi pintu negosiasi dua bangsa yang sedang konflik menahun atau kronis.Â
Akar konflik berkepanjangan ini harus diselesaikan melalui meja dialog atau perundingan damai. Karena konflik di Papua mengorbankan banyak nyawa.
Ada korban ribuan rakyat sipil yang tidak bersalah. Ada korban dari anggota militer dan polisi. Ada korban anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).Ada korban warga negara asing.
Ada beberapa contoh korban warga negara asing. Penembakan di Timika, Papua, 31 Agustus 2002 pada saat tiga bus yang ditumpangi rombongan guru sekolah internasional di Tembagapura secara tiba-tiba ditembaki di Mil ke-62,5 Timika. Tiga penumpang bus yang meninggal yakni Ted Burcon dan Rickey Spear (warga negara Amerika), dan F.X. Bambang Riwanto (Indonesia).
Ada korban penikaman Pieper Dietmar Helmut (laki-laki, 55) ditembak orang tak dikenal (OTK) di Pantai Base G, Jayapura, pada 29 Mei 2022.
Ada penembakan yang menyebabkan Graeme Thomas Wall (laki-laki, 57) warga Negara Selandia Baru meninggal dunia di Timika pada 30 Maret 2020.
Sekarang ada peristiwa pembakaran Pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY dan menahan Capt. Pilot Philip Marthens warga Negara Selandia Baru pada 7 Februari 2013 di Distrik Paro-Ndugama yang dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Sebelumnya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) membakar Pesawat MAF PK-MAX di piloti Capt. Alex Luferchek berkebangsaan Amerika pada 6 Januari 2020 di Bandara Kampung Pagamba, Distrik Biandaga-Intan Jaya, Papua. Pesawat yang dibakar TPNPB itu ada dua orang penumpang.
Apakah tragedi kemanusiaan ini terus dibiarkan tanpa penyelesaian dengan cara-cara martabat, adil, manusiawi dan damai seperti pengalaman penyelesaian konflik GAM Aceh dengan Pemerintah Indonesia di Helsinki pada 15 Agustus 2005?
Penguasa Indonesia tidak bisa terus menurus berdiri dengan label dan stigma Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Teroris.
Dunia semakin mengglobal. Sekarang dunia digital dan tidak ada yang tertutup dan rahasia. Semua terbuka, telanjang dan transparan. Karena itu, penguasa Indonesia dan militer dan polisi jangan memelihara, merawat dan mempertahankan paradigma usang, kuno dan primitif, yaitu label-label negatif yang tidak menyelesaikan akar konflik.Â
Sementara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai wadah politik, rumah bersama, perahu bersama sudah meyakinkan komunitas internasional bahwa Perjuangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat adalah misi suci dan mulia untuk pengakuan kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 yang dianeksasi Indonesia melalui Trikora pada 19 Desember 1961. Pemimpin TPNPB sendiri sudah berkali-kali atau berulang kali menyampaikan bahwa, “Kami mau merdeka lepas dari Indonesia.”
Pada 19 Desember 1961 di Alun-alun Yogjakata, Ir. Sukarno dalam Maklumatnya yang dikenal Tiga Komando Rakyat (Trikora) menyapaikan:
1. Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua buatan Belanda.
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.
3. Tanah Air Indonesia bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dalam pidato aslinya disebutkan Gagalkan Pembentukan Negara Papua, tanpa kata “boneka”. Jadi, di sini terbukti bahwa penguasa Indonesia menganeksasi atau membubarkan sebuah Negara merdeka.
Negara Papua Barat yang dianeksasi sudah memiliki lambang-lambang atau simbol-simbol Negara, yaitu Nama Negara: Papua, nama bendera: Bintang Kejora, lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua, Mata uang Gulden, lambang negara: Burung Mambruk dan Parlemen: Papua New Guinea Raad, ada rakyat, yaitu rakyat Papua.
Tuntuntan dan perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat dijamin dan didukung konstitusi Negara Indonesia, yaitu:”Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Jadi, “Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak bangsa Papua Barat, dan oleh sebab itu, maka penjajahan Indonedia di atas rakyat dan bangsa Papua harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Negara harus menyelesaikan empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI: sekarang Badan Riset Integrasi Nasional -BRIN) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Dari empat akar konflik ada satu akar konflik lagi yang ditemukan oleh Theo van den Broek ialah penguasaan, monopoli dan perampokan sumber daya alam yang dilakukan oleh penguasa Pemerintah Indonesia. Akar kelima ini disampaikan Theo van den Broek pada 29 Desember 2022 dalam refleksi LIPI dengan Topik Dinamika Papua.
Penguasa Indonesia, mau dan tidak mau harus duduk dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral untuk menyelesaikan lima akar konflik Papua yang terpanjang dan terlama di kawasan di Asia Pasifik. Karena, lima akar konflik ini sudah menjadi LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH dan tidak bisa diselesaikan dengan label KKB, Teroris dan Separatis.
Prof. Dr. Frans Magnis-Suseno menggambarkan dari lima akar konflik itu sebagai berikut:
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Pastor Frans Lieshout menimpulkan penyebab akar konflik Papua sebagai berikut:
“PAPUA TETAPLAHÂ LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
Persoalan ketidakadilan, kekerasan Negara, kejahatan kemanusiaan, penyanderaan warga asing seperti ini perlu ada solusi damai antara Indonesia dan rakyat Papua. Solusi bermartabat ialah perundingan damai antara Indonesia dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga ditempat netral seperti contoh penyelesaikan konflik GAM Aceh dengan Indonesia di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Sudah waktunya Indonesia dan ULMWP duduk satu meja karena pilihan dan pendekatan lain sudah gagal, termasuk pendekatan militer sudah 60 tahun telah gagal dan mengakibatkan korban dan penderitaan panjang dipihak Penduduk Orang Asli Papua (POAP).
Saya mengusulkan Pemerintah Selandia Baru diberikan mandat oleh PBB dan Indonesia untuk menjadi Mediator untuk memediasi Pemerintah Indonesia dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Saya mempunyai tiga alasan, yaitu;
Pertama, Pemerintah Selandia Baru berpengalaman memediasi konflik Bougenville dengan pemerintah Papua New Guinea;
Kedua, Pemerintah Selandia Baru memahami latar belakang sejarah kedua bangsa yang sedang berkonflik, yaitu Indonesia dan Papua; dan
Ketiga, Pemerintah Indonesia dan ULMWP sama-sama berada dalam rumah yang namanya MSG, yaitu Indonesia sebagai asociated member dan ULMWP sebagai Observer.
Terima kasih.
Ita Wakhu Purom, Minggu, 19 Februari 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Editor: Redaksi