Ir. Joko Widodo Sebaiknya Berguru Pada Teladan Alm. Abduraham Wahit (Gus Dur) Untuk Melihat Dan Mengakhiri Akar Konflik Papua Barat

Refleksi Minggu, 9 Juli 2023
Ir. Joko Widodo Sebaiknya Berguru Pada Teladan Alm. Abduraham Wahit (GUS DUR) Untuk Melihat Dan Mengakhiri Akar Konflik Papua Barat
(1) “Kamu akan mengetahui KEBENARAN, dan KEBENARAN itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:32).
(2) “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Matius 5:37).
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman
“Pemimpin yang berhikmat biasanya bersedia belajar pada teladan para pemimpin terdahulu supaya ia tidak tersesat dan menyesatkan rakyat yang dipimpinnya”.
Refleksi minggu,9 Juli 2023, saya mau sampaikan pengalaman tiga presiden Republik Indonesia, alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Ir. Joko Widodo dalam melihat akar persoalan konflik Papua Barat.
TULISAN ini, saya melandasinya dengan dua ayat Firman Tuhan, yaitu, dari Yohanes 8:32 dan Matius 5:37 yang telah ditulis dalam pendahuluan.
Para pembaca yang mulia Anda tentu saja bertanya dan ada yang bingung dan ada protes atau menolaknya dengan mengatakan, pak Gembala Dr. Yoman campur-aduk politik dan firman Tuhan.
Yang tidak mengerti seluruh isi Alkitab, mereka pasti mempunyai tanggapan seperti yang saya tulis ini.
Tetapi, bagi mereka yang sudah mengerti isi seluruh pengajaran Tuhan Allah dan Yesus Kristus yang terulis dalam Alkitab pasti mengatakan: Amin, Puji Tuhan, dan seharusnya gereja, para pemimpin gereja, pendeta dan gembala harus berkhotbah sesuai Teks, Konteks dan Realitas, bukan bicara tumpukan ayat-ayat Firman Tuhan tanpa penghayatan, pemaknaan dan penerapan sesuai realitas kehidupan umat manusia dalam berkeluarga, bergereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks ini, saya tidak memaksa para pembaca menerima atau menolak refleksi saya, karena ini bentuk dari refleksi iman, moral, ilmu pengetahuan dan pengalaman saya.
1. Ir. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo belum berhasil memadamkan bara api dan juga sembuhkan luka membusuk/bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Bara api ada di Indonesia. Luka membusuk dan bernanah ada di Indonesia, yaitu di Papua Barat. Konflik kekerasan Negara, ketidakadilan, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, rasisme, pemusnahan etnis POAP, peminggiran atau marginalisasi, diskriminasi, perampokkan dan pencurian sumber daya alam, semua kekejaman, kebrutan penguasa Indonesia ada di Indonesia dan pelakunya penguasa Indonesia.
Luka membusuk dan bernanah, yaitu akar persoalan konflik berkepanjangan di Tanah Papua Barat tidak bisa diselesaikan dengan kunjungan-kunjungan ke Australia dan Papua New Guinea (PNG).
Seperti Presiden Jokowi melakukan kunjungan kenegaraan ke Australia pada 4-5 Juni 2023. Dalam pertemuan itu, Kepala Negara berbicara secara intens sejak siang hingga malam hari dengan Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese.
Kunjungan Presiden Ir. Joko Widodo ke PNG pada 5 Juli 2023 dan pertemuan dengan Perdana Menteri James Marape.
Dari hasil pertemuan dengan di dua negara dengan para pemimpin ini, Ir. Joko Widodo dengan bangga mengatakan:
“Saya sudah berbicara dari hati ke hati, informal baik kepada Australia maupun kepada Papua Nugini dan kita harapkan dengan dua kunjungan yang telah kita lakukan itu bisa meredam konflik-konflik, keinginan-keinginan (Papua merdeka)” kata Jokowi usai menghadiri acara Papua Street Carnival di Jayapura, Papua, Jumat (7/7/2023).
Bara api dan luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia tidak bisa dan tidak akan selesai dengan mengunjungi negara-negara lain dan itu memalukan diri sendiri. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan Indonesia tidak pernah meminta dukungan, persetujuan dan kerjasama dari pemerintah dan rakyat Australia dan PNG.
Bara api dan luka membusuk dan bernanah di dalam bangsa Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan Festival Budaya, Pencitraan dengan angkat anak-anak keci dan suap anak-anak kecil, berdiri diantara rakyat miskin yang dimiskinkan dan dibodohkan selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang.
Bara api dan luka membusuk dan bernanah di dalam bangsa Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan Otonomi Khusus Jilid 1 Nomor 21 Tahun 2001 yang telah GAGAL Total, dan jilid 2 Otsus sentralisasi nomor 2 Tahun 2021 yang ompong tanpa taring.
Bara api dan luka membusuk dan bernanah di dalam bangsa Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan pembekaran Daerah Otonomi Baru Boneka (DOB) yang menjadi mesin pembunuh Penduduk Orang Asli Papua.
Bara api dan luka membusuk dan bernanah di dalam bangsa Indonesia sudah ditemukan oleh LIPI, sekarang BRIN.
Melihat persoalan ketidakadilan, siasat adu-domba dan kemanusiaan yang sangat buruk seperti ini, Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Wododo sebaiknya mengambil langkah-langkah yang lebih adil dan manusiawi untuk menyelesaikan bara api dan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua.
Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kini BRIN, yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008).
<span;>Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
2. Alm. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Secara fisik alm. Gus Dur tidak melihat dengan sempurna. Dalam keadaan mata Gus Dur yang tidak dapat melihat dengan baik, Gus Dur melihat Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dengan mati iman, mata hati, mata nurani, dan mata kemanusiaan, mata keadilan, mata kebenaran, mata kejujuran.
Pada 30 Desember 1999 dimulai jam 8 malam dialog dengan berbagai elemen dilakukan di gedung pertemuan gubernuran di Jayapura. Meskipun dengan cara perwakilan, tetapi banyak sekali yang datang karena penjagaan tidak ketat.”
Di gedung Negara, kediaman gubernur, pada 30 Desember 1999 terlihat duduk setara, bermartabat dan terhomat:
Alm. Gus Dur duduk sejajar dengan Pdt. Dr. Benny Giay, Dr. Leo Laba Ladjar, Pdt. Heman Saud, Pdt. alm Andreas Ayomi, alm Haji Zubeir Daeng Husein Ketua MUI Papua dan Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman.
Kami duduk setara, sejajar, bermartabat dan terhormat. Pada momentum penting dan bersejarah itu, Pdt. Dr. Benny Giay dengan gayanya yang pelan dan santun memawakili kami para pemimpin dan rakyat dan bangsa Papua Barat, seperti ini:
“Bapak Presiden Gus Dur, hampir mayoritas rakyat Papua berjuang untuk merdeka dan berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa merdeka dan berdaulat”.
Alm. Gus Dur dengan gayanya yang santai dan elegan menyampaikan kepada kami sebagai jawabannya:
“Saya ini disuruh konstitusi Negara Republik Indonesia untuk menjaga kedaulatan negara. Kalau lain-lain silahkan, saya ijinkan”.
Pada 1 Januari 2000, alm. Abdurrahman Wahid mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua dan ijinkan Bintang Kejora boleh berkibar.
Beda alm. Gus Dur, beda SBY dan juga beda Ir. Joko Widodo. Perbedaannya ialah alm. Abdurrahman Wahid melihat persoalan Papua dari dimensi kemanusiaan dan keadilan. Dan juga, Gus Dur melihat masalah Papua dengan hati.
SBY melihat akar konflik Papua dengan pendekatan damai, tapi, sayang, ada kelompok hardliner (kelompok garis keras) yang menghantuinya selama dua periode dan hanya ia menghasilkan UP4B dengan PP Nomor 66 Tahun 2011 sebagai upaya SBY menghindari dari tekanan kuat internasional atas kegagalan Otonomi Khusus nomor 21 Tahun 2001.
Sekarang ini, Ir. Joko Widodo melihat akar konflik Papua dari perspektif keamanan, politik, dan kepentingan ekonomi. Ir. Joko Widodo banyak sandiwara, pencitraan. Jokowi diatur oleh militer dan berada dibawah ketiak militer dan kepolisian Indonesia hampir sama seperti Ibu Megawati Sukarnoputri waktu menjadi presiden.
Saya yakin, kalau 4 akar konflik yang ditemukan LIPI/BRIN pada saat alm. Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia, maka bara api dan luka membusuk dan bernanah ini dapat diselesaikan dengan bermartabat, setara dan terhormat.
Alasannya, alm. Gus Dur melihat POAP dengan hati dan juga melihat masalah konflik Papua Barat adalah persoalan ketidakadilan yang mengancam kemanusiaan.
BRAVO alm. Gus Dur pada 30 Desember 1999 di Numbay, Tanah Tabi, Papua Barat.
Rakyat dan bangsa Papua Barat selalu mengenang jasamu, walau hanya satu kali kunjunganmu.
Bagi kami, rakyat dan bangsa Papua Barat tidak butuh banyak kunjungan dan banyak retorika, tapi bagi kami, Gus Dur sudah cukup mengasihi kami dari hatimu yang tulus dan murni, sudah menghormati kami, menghargai martabat kami sebagai sebuah bangsa.
Kami berdoa supaya di Indonesia lahir pemimpin yang mendekati hampir sama seperti Gus Dur karena tidak pernah ada orang yang sama dan pikiran yang sama. Tapi yang selalu dan pasti ada yang mendekatinya.
3. Haji Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
Pada 16 Desember 2011 ada pertemuan Presiden RI SBY dengan para pemimpin Gereja di Tanah Papua Barat dan pertemuan ini dimediasi oleh Persekutuan Gereja Indonesia ( PGI).
Para pemimpin Gereja di Tanah Papua Barat yang ikut dalam pertemuan ini adalah Ibu Pendeta Jemima J. Krey, S.Th., Pdt. Dr. Benny Giay, alm Pdt. Dr. Marthen Luther Wanma, Pdt. Dr. Phil Karel Erari, Pdt. Dr. Andreas A. Yewangoe, Pdt. Gomar Gultom M.Th., ibu Fredrika Korain dan Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman
Kami sampaikan persoalan konflik di Tanah Papua Barat yang dialami POAP dengan satu paper berjudul: “Separatis Papua adalah Bayi Nasionalisme Hasil Kawin Paksa melalui Pepera 1969”.
Pada kesempatan itu, SBY menyampaikan kepada kami sebagai berikut:
“Saudara-saudara, saya mempunyai keinginan untuk menyelesaikan persoalan Papua dengan jalan damai, tapi ada kelompok hardliner (kelompok garis keras) tidak setuju dan menekan saya”.
“Walaupun begitu, kita harus menyelesaikan konflik kekerasan di Papua dengan jalan damai. Kita akan mulai adakan pertemuan lima sampai tujuh kali dari bulan Februari 2012”.
Tujuan mulia dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini dibajak oleh Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) dengan membentuk Tim besar tanpa melibatkan kami, Pendeta Jemima J. Krey, S.Th., Pdt. Dr. Benny Giay, alm Pdt. Dr. Marthen Luther Wanma, Pdt. Dr. Phil Erari, dan Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman. Tim besar yang dibentuk dari PGGP ini berangkat ke Jakarta pertemuan dengan Presiden SBY di Istana Negara.
Akibat dari pembajakan kelompok PGGP ini, akhirnya, pintu atau jalan dan peluang mulia untuk mau dimulai pertemuan lima sampai tujuh kali oleh Presiden SBY itu tertutup atau
<span;> dihilangkan dengan sia-sia.
Kesimpulan:
Presiden Ir. Joko Widodo berhasil mengadakan pertemuan dengan Pemerintah Australia pada 4-5 Juli dan Pemerintah PNG pada 5 Juli 2023, tetapi Presiden Ir. Joko Widodo belum berhasil pertemuan dengan rakyat dan gereja-gereja di Australia dan PNG.
Pernyataan Ir. Joko Widodo ini benar, yaitu:
“Saya sudah berbicara dari hati ke hati, informal baik kepada Australia maupun kepada Papua Nugini dan kita harapkan dengan dua kunjungan yang telah kita lakukan itu bisa meredam konflik-konflik, keinginan-keinginan (Papua merdeka)”
Tapi, apa yang seperti dikatakan Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti adalah benar dan tepat, yaitu:
“Sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya (Papua) bukan hanya persoalan antara Indonesia dan penduduk Papua, melainkan juga persoalan yang menyangkut internasional. Ia bukan hanya mengaitkan hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dan pemerintah, antar pemerintah dan pemerintah, tetapi juga antar GEREJA….”.
Ir. Joko Widodo belum menyentuh wilayah masyarakat dan Gereja-gereja di Australia dan di PNG di wilayah MSG dan wilayah Pasifik.
KARENA, Persoalan konflik Papua Barat berdimensi KEMANUSIAAN yang benturan dua ideologi dan nasionalisme antara bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat yang diperburuk dengan operasi militer, ketidakadilan, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, rasisme, pemusnahan etnis, peminggiran atau marginalisasi, diskriminasi, perampokkan dan pencurian sumber daya alam, semua kekejaman, kebrutan penguasa Indonesia terhadap Penduduk Orang Asli Papua.
Saya mengutip apa yang digambarkan oleh Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Akar konflik masalah Papua sudah menjadi luka MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia itu sudah berhasil dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang sudah diubah menjadi Badan Ruset Inovasi Nasional (BRIN) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai hasil dari kebijakan RASISME dan KETIDAKADILAN sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November 2022 diserukan, sebagai berikut:
“Meminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”
“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”
“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”
=============
Ita Wakhu Purom, Minggu, 9 Juli 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Kontak: 08124888458///08128888712