Kebohongan/Hoax & Kejahatan Indonesia Berjalan Telanjang di Tanah Papua Barat
APAKAH BENAR IR. JOKO WIDODO MENGATAKAN 99% AMAN & TIDAK ADA MASALAH DI PAPUA BARAT?
( Pemerintah Indonesia HARUS menyelesaikan 4 akar konflik yang sudah dirumuskan LIPI/kini BRIN. Di Tanah Papua Barat ada masalah besar sulit, dan berat tentang ketidakadilan dan pelanggaran HAM berat).
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman
“Guru kencing berjalan dan murid kencing berlari”.
Peribahasa klasik ini paling cocok untuk Presiden RI Ir. Joko Widodo.
Presiden Ir. Joko Widodo membuat hoax terbuka ke publik dan para menterinya memproduki kebohongan/penipuan terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat dan rakyat Indonesia menjadi penikmat dan pendengar setia kebohongan para penguasa mereka.
Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo pada 7 Juli 2023 di Jayapura mengatakan 99% di Papua Barat aman dan tidak ada masalah.
“Jangan dilihat (negatif). Karena memang secara umum, 99 persen itu gak ada masalah. Jangan masalah kecil dibesar-besarkan. Semua di tempat, di manapun, di Papua kan juga aman-aman saja”.
“Kita karnaval juga aman, kita ke sini juga gak ada masalah, ya kan? Kita malam makan di restoran juga gak ada masalah. Jangan dikesankan justru yang dibesarkan yang negatif-negatif. Itu merugikan Papua sendiri,”
Ada tiga pokok yang ada dalam pernyataan Ir. Joko Widodo yang saya lihat sebagai berikut.
1. Melihat positif dan jangan lihat negatif-negatif
Ajakan Presiden RI, Ir. Joko Widodo benar dan baik. Kita harus melihat hal-hal positif yang dilakukan Negara untuk menyelesaikan 4 akar konflik yang dirumuskan LIPI atau sekaran BRIN.
Negara sudah dan sedang berjuang salah satu dari 4 akar konflik hasil rumusan LIPI/BRIN, yaitu Kegagalan Pembangunan. Sementara 3 akar konflik belum satupun disentuh, bahkan Negara berusaha menghindari untuk menghilangkan substansi akar konflik terlama dan berkepanjangan di Papua Barat.
Saya setuju apa yang dikatakan Ir. Joko Widodo, tapi saya juga setuju dengan apa yang disampaikan Pastor Izaak Bame, Pr Pastor Gereja Katolik Keuskupan Manokwari-Sorong, yaitu:
“Saya memiliki kesan pribadi bahwa “Pemerintah Republik Indonesia” sejak Presiden Pertama Ir. Soekarno sampai dengan Presiden sekarang Ir. Joko Widodo’ memang menghendaki “MANUSIA PAPUA HARUS HIDUP MENDERITA DI ATAS TANAH LELUHURNYA” (Sumber: Theo van den Broek, Papua Juni 2023, 13 Juli 2023).
Pastor Izaak Bame sampaikan empat alasan mendasar, sebagai berikut:
Mengapa saya berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia punya niat untuk membuat Manusia Papua menderita di atas leluhurnya? Hal ini didasarkan beberapa fakta.
Pertama: Pemerintah tidak membuka diri untuk berdialog dengan Manusia Papua.
Kedua: Pemerintah Indonesia mobilisasi Manusia dari Maluku sampai Aceh berduyun-duyun ke Papua supaya jumlah mereka lebih banyak dan lebih gampang membunuh Manusia Papua dengan alasan atas nama NKRI harga MATI.
Ketiga: Masuk menguasai seluruh Aset Pemerintahan maupun Swasta yang ada di tanah Papua dengan argumen MURAHAN MANUSIA PAPUA BELUM SIAP.
Keempat: Mencaplok tanah-tanah Adat Manusia Papua dengan alasan Murahan demi KESEJAHTERAAN RAKYAT pada hal hanya untuk para Jenderal Pensiunan untuk mengisi waktu tua dengan kesibukan jual beli tanah hasil “CURIAN” dari PEMILIK MANUSIA PAPUA. Masih banyak hal yang kalau didaftarkan’ namun dengan empat hal yang saya sebutkan ini bisa membuka mata para Petinggi Negara Republik Indonesia yang tidak punya NURANI lagi bisa melihat DIRI.
Kepada Presiden Ir. Joko Widodo saya mau sampaikan bahwa kunjungan mu di Papua berapa kali itu TIDAK MEMBAWA DAMPAK SEDIKIT PUN BAGI HIDUP MANUSIA PAPUA’ justru menghabiskan anggaran untuk membiayai TNI-POLRI yang menjaga kedatangan Presiden.
Saya berharap sebelum Presiden masa jabatan berakhir pada tahun 2024 coba melihat kembali dengan jujur tujuan Pemerintah Indonesia memasukkan WILAYAH PAPUA dengan NKRI’ 1963 dan puncak pada PEPERA 1969′3 dengan melihat kembali pasti ada langkah-langkah baru yang akan diambil oleh Pemerintah yang berpihak kepada manusia PAPUA DIATAS TANAH LELUHURNYA. Hormat saya”.
2. Papua Barat aman-aman saja
Barometer apa yang dipakai Ir. Joko Widodo bahwa di Papua Barat aman-aman saja?
Apakah barometer/ukuran keamanan dari perspektif militer dan kepolisian?
Kalau perspektif/ukuran keamanan dari perspektif militer dan kepolisian berarti 100% benar, saya setuju. Karena Papua Barat aman-aman saja itu keamanan semu, hampa, dan kosong. Papua Barat aman-aman saja karena moncong senjata.
Dalam realitas di Papua Barat secara antropologis, sosiologis, psikologis, 100% tidak aman. Penduduk Orang Asli Papua (POAP) hidup seperti di dalam Neraka karena tidak ada kenyamanan, ketenangan, dan tidak ada jaminan perlindungan dari Negara.
Contoh terbaru, pada Jumat, 14 Juli 2023, TNI membakar perumahan rakyat sipil di Dogiyai. Tepat jam 11.48, ada sebanyak 8 truk telah tiba di Kantor Kapolres Moanemani. Mereka mau perang melawan rakyat. Sekarang, ada penembakan secara membabi buta”.
Sampai saat ini, para pengungsi Nduga, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan Maybrat berada dalam ketakutan, kelaparan dan kesehatan yang sangat buruk.
Kalau pak Ir. Joko Widodo melihat dan mengukur rasa aman bagi orang-orang Melayu, Indonesia yang datang untuk memperbaiki kehidupan ekonomi di Tanah Papua Barat yang ada di pasar-pasar, tokoh, hotel dan rumah makan dan restoran itu pantas dan wajar. Mereka semua 100% dilindungi dengan moncong senjata TNI/Kepolisian. Sebaliknya, Penduduk Orang Asli Papua dibantai dengan moncong senjata TNI/Kepolisian Indonesia.
KALAU Papua Barat aman-aman saja, mengapa seluruh rakyat dan bangsa Papua Barat tidak pernah menyambut kunjungan Presiden RI Ir. Joko Widodo tidak seperti daerah lain, dan biasa-biasa saja, tidak ada yang peduli dan hanya dijemput oleh TNI-Polri dan pejabat? Ini ukurannya, rakyat dan bangsa Papua Barat sudah tidak percaya kepada Indonesia.
3. Tidak ada masalah
Presiden RI Ir. Joko Widodo menggunakan ukuran apa sehingga memberikan kesimpulan bahwa di Papua Barat 99% tidak ada masalah?
Saya tidak kaget dan tidak heran, karena saya tahu, belajar dan mengerti bahwa watak asli para kolonial adalah memproduksi hoax dan menyebarkan kebohongan ke publik. Negara pada saat mengampangkan dan menyepelekan persoalan yang sebenarnya, Negara itu berada dalam kerusakan dan menuju pada kehancuran dari bangsa itu sendiri. Apalagi kalau kebohongan itu disampaikan oleh pemimpin.
Ir. Joko Widodo katakan di Papua Barat tidak ada masalah, tapi bagaimana dengan berbagai bentuk pelanggaran berat HAM dan ketidakadilan di Papua, sebagai berikut:
1. Biak Berdarah pada 6 Juli 1998;
2. Abepura (Abe) berdarah pada 7 Desember 2000.
3. Wasior berdarah pada 13 Juni 2001.
4. Kasus Theodorus (Theys) Hiyo Eluay dan Aristoteles Masoka pada 10 November 2001.
5. Wamena berdarah pada 4 April 2003.
6. Kasus Musa (Mako) Tabuni 14 Juni 2012.
7. Kasus Paniai berdah pada 8 Desember 2014.
8. Kasus Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 November 2020.
9. Kasus mutilasi 4 warga sipil di Timika pada pada 22 Agustus 2022. Empat korban adalah Arnold Lokbere, Leman Nirigi, Iran Nirigi, dan Atis Titini. Saat itu empat korban bertemu dengan sembilan pelaku (5 anggota TNI dan 4 warga sipil).
10.Bagaimana dan sejauh mana penguasa kolonial Indonesia bertanggungjawab untuk penggembalian 60.000 penduduk orang asli Papua ke kampung halaman mereka dan sampai saat ini masih berada di dearah-daerah pengungsian akibat operasi militer besar-besaran di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybrat dan Pegunungan Bintang.
11. Kasus sandera pilot Mark Philip Merhthen pada 7 Februari 2023 di Nduga yang dilakukan oleh TPNPB sampai sekarang belum dibebaskan.
12. Rakyat dan bangsa Papua Barat melakukan demo damai pada 12-14 Juli 2023 untuk mendukung ULMWP sebagai anggota penuh MSG. Ini adalah masalah besar bukan tidak ada masalah.
13. Dan masih ratusan, bahkan ribuan korban orang asli Papua ditangan penguasa kolonial modern Indonesia.
Persoalan konflik berkepanjangan, ketidakadilan, tragedi kemanusiaan ini tidak bisa diselesaikan pernyataan hoax 99% aman dan tidak ada masalah.
Semua pendekatan ini tidak menyentuh substansi masalah, lebih baik negara menyelesaikan akar konflik masalah Papua sudah menjadi luka MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia yang sudah berhasil dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang sudah diubah menjadi Badan Ruset Inovasi Nasional (BRIN) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai hasil dari kebijakan RASISME dan KETIDAKADILAN sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Saya secara konsisten dan terus-menerus mengutip apa yang digambarkan oleh Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Di Papua Barat ada kejahatan Negara. Ada kejahatan kemamusiaan. Kebohongan & Kejahatan Indonesia Berjalan Telanjang di Tanah Papua Barat.
Telah menjadi jelas dan terang bagi kami, bahwa Pemerintah Indonesia berniat buruk dengan kami Penduduk Asli Papua, ras Melanesia.
Pembunuhan POAP terus berlangsung karena ada perintah Negara. Perintah itu disampaikan Presiden Republik Indonesia yang dodukung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Perintah itu belum dicabut sampai saat ini. Perintah itu digunakan TNI-Polri di Tanah Papua. Ini ada masalah kekerasan militer. Ini ada persoalan berat. Perintah Joko Widodo yang disebutkan di bawah ini adalah masalah nyata yang merupakan kekejaman Negara.
1. Ir. Joko Widodo mengeluarkan perintah Operasi Militer pada 5 Desember 2018 sebagai berikut:
“Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar.” (Detiknews, 5/12/2018).
2. Wakil Presiden (mantan) Haji Jusuf Kalla mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:
“Kasus ini, ya, polisi dan TNI operasi besar-besaran…” (Tribunnews.com, 6/12/2018).
3. Ketua MRP RI Bambang Soesatyo mendukung operasi militer di Papua sebagai berikut;
“…MPR usul pemerintah tetapkan operasi militer selain perang di Papua”
(Kompas.com, 13/12/2018).
4. Wiranto (Mantan Menkopolhukam) mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:
“Soal KKB di Nduga Papua, kita habisi mereka” (Kompas.com, 12/12/2018).
5. Mahfud MD melabelkan dan menempatkan POAP dengan label teroris. Pernyataan primitifnya Mahfud MD pada 29 April 2021, sebagai berikut:
“Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris.”
Tidak heran, militer dan kepolisian Indonesia diberikan legitimasi Negara untuk operasi militer di Papua dan untuk orang-orang di Papua dikagegorikan sebagai teroris. Karena label teroris, maka mutilasi dan penyiksaan dan pembunuhan POAP dianggap sah, tidak berdosa, tidak bersalah dan pelaku kejahatan dilindungi, ada impunitas dan dihargai sebagai pahlawan.
Pendekatan kekerasan militer tidak pernah berubah dan tidak menyelesaikan akar konflik Papua Barat dan kekerasan militer itu memperpanjang penderitaan dipihak Penduduk orang asli Papua sampai sekarang ini. Karena militer adalah sumber dan penyebab kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat.
Ironis, manusia Penduduk Orang Asli Papua dibantai, dimutilasi atau dimusnahkan seperti hewan dan binatang. “Pemerintah Indonesia hanya berupaya menguasai daerah ini, kemudian merencanakan pemusnahan Etnis Melanesia dan menggantinya dengan Etnis Melayu dari Indonesia. Dua macam operasi yaitu Operasi Militer dan Operasi Trasmigrasi menunjukkan indikasi yang tidak diragukan lagi dari maksud dan tujuan menghilangkan ras Melanesia dari Tanah ini.” (Alm. Herman Wayoi, Februari 1999)
Kekayaan sumber daya alam dirampok.
Benarlah apa yang ditulis Made Supriatma dalam artikel berjudul: “KOLONIALISME PRIMITIF DI PAPUA,” dan kutip sebagai berikut:
“Orang Indonesia mau kekayaannya. Tetapi tidak mau dengan manusianya. Orang Indonesia tidak pernah peduli pada nasib orang Papua. Tujuan hadirnya aparat kolonial di Papua adalah untuk melakukan penjarahan. Dan, semua yang dibangun di sana pun untuk tujuan memudahkan penjarahan.”
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Waa…..Waa……Kinaonak!
Ita Wakhu Purom, 14 Juli 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Editor: Redaksi