Komprador Dalam Upaya Pembelokan Akar Konflik Dan Edeologi Papua Barat
“Saya memiliki kesan pribadi bahwa “Pemerintah Republik Indonesia” sejak Presiden Pertama Ir. Soekarno sampai dengan Presiden sekarang Ir. Joko Widodo’ memang menghendaki “MANUSIA PAPUA HARUS HIDUP MENDERITA DI ATAS TANAH LELUHURNYA” (Pastor Izaak Bame, Pr Pastor Gereja Katolik Keuskupan Manokwari-Sorong)
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman
Para pembaca, terutama generasi muda akan bertanya, apa artinya Komprador?
Oleh karena itu, saya memberikan penjelasan singkat diawal tulisan ini.
Kata Komprador berasal dari bahasa Portugis yang artinya pembeli. Bahasa Latin artinya komparere artinya penyedia.
Jadi, Komprador artinya anak bangsa atau penduduk asli yang dibina khusus dan diindoktrinasi oleh penguasa kolonial atau dengan kerelaan dirinya untuk menjadi agen atau bekerja untuk kepentingan penguasa kolonial atau para kapitalis. Mereka bekerja menjual infosi tentang bangsa dan rakyatnya atau saudara-saudaranya sendiri demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Mereka orang-orang pribumi atau penduduk asli yang menjadi “pengkhianat” atau “penjilat” yang bekerja untuk bangsa kolonial dan kapitalis.
Penguasa,Indonesia lebih cerdik dalam membina dan mendoktrin para komprador dari beberapa Penduduk Orang Asli Papua (POAP) untuk melaksanakan dan memperkuat misi pendudukan dan penjajah Indonesia di Tanah Papua Barat
Komprador dibina untuk head to head ‘berkelahi’ atau ‘adu domba’ dengan rakyat dan bangsanya sendiri. Atau orang Papua berhadapan dengan orang Papua. Ini cara kerja dan watak bangsa kolonial yang sebenarnya.
Ketidaksadaran dan ketidakmampuan serta ketidakpekaan para komprador dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan para penguasa kolonial dan kaum kapitalis di wilayah koloni mereka. Para komprador tidak sadar bahwa mereka dipakai dan dimanfaatkan untuk berhadapan langsung ( head to head) dengan saudara-saudaranya sendiri.
Para komprador selalu tampil dengan vulgar, frontal, agresif, reaktif dan defensif dalam menghadapi saudara-saudara atau bangsanya sendiri.
Contoh orang-orang yang dikategorikan kaum komprador seperti; alm. Ramses Ohee, alm. Frans Albert Joku, Nick Messet, Hendrik Yance Udam, Ali Kabiay, Wempy W. Wetipo, Lenis Kogoya, Yan Mandenas, Moksen Sirfefa, Steve Mara dan masih banyak kaum komprador senior dan juga junior dalam daftar panjang. (Silahkan para pembaca isi sendiri nama-nama mereka).
Mereka ini seperti ‘boneka’ yang dipelihara di kantor pusat kekuasaan kolonial Indonesia di Jakarta untuk mempekokoh penguasa yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua Barat. Tugas para komprador ini selain berikan informasi tentang bangsanya kepada penguasa kolonial dan juga mereka berdiri di depan dengan tugas untuk melawan ‘berkelahi’ dengan saudara-saudaranya dengan vulgar, frontal, agresif, reaktif dan defensif karena dibelakang mereka ada penguasa yang memegang ‘remote control’ yang mengikat leher mereka. Kaum komprador benar-benar berada dalam ‘penjara dan kurungan’ para penguasa rasis yang menduduki dan menjajah bangsanya.
Kaum komprador ini membuat pernyataan-pernyataannya di media massa sama persis seperti pernyataan penguasa pemerintah, TNI-Polri yang provokatif yang penuh dengan kebohongan, ketidakbenaran dan ketidakjujuran. Kumpulan komprador ini juga seperti juru bicara yang ditugaskan untuk membuat keonaran dimana-mana tanpa mereka sadari bahwa mereka penyebar hoax, label, stigma dan mitos-mitos yang diproduksi penguasa kolonial.
CONTOH perilaku kaum komprador yang vulgar, frontal, agresif, teaktif dan defensif terlihat dalam pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Boneka di Tanah Papua Barat, Yan Mandenas dan Wempy W. Wetipo ditampilkan di depan media dan juga disuruh oleh boss mereka untuk maju di front line (garis depan) untuk berhadapan dengan bangsanya sendiri/saudara-saudaranya sendiri. Sementara yang mempunyai program DOB boneka mereka hanya melihat, menonton dan menyaksikan kekacauan dan perkelahian antara komprador dengan bangsanya atau saudara-saudara sendiri.
Pada 15 Juni 2022, di Wouma, ratusan massa aksi yang terdiri dari masyarakat adat suku Wio Mukoko distrik Wouma bersama masyarakat Wamena lainnya dan Lapago melakukan aksi demo damai ke kantor DPRD Jayawjaya yang menolak, bahwa TANAH adatnya tidak boleh digunakan untuk pembangungan Kantor Gubernur Provinsi boneka Pegunungan Tengah. Aksi demonstrasi damai yang dilakukan dengan membawa tanaman yang dirusak karena digusur paksa itu diawali dengan sambutan ratapan sesuai adat budaya Masyarakat Lapago.
Benyamin Lagowan Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Wouma Dave Tanah Adat Wio mengatakan:
“Kami menyayangkan sikap keras kepala dan tak berperi kemanusiaan yang ditunjukkan Rombongan Wamendagri Cs. Kami minta hentikan upaya penempatan dan pembangunan kantor Gubernur secara sepihak dan militeristik.”
Sarana untuk penyemaian untuk menyediakan bibit-bibit para kaum Komprador yang nyata di depan mata kita di Tanah Papua Barat sebagai berikut:
(1) Papua Christian Center (PCC).
(2) Papua Youth Creative Hup ( PYCH).
(3) Papua Street Carnaval (PST).
(4) Analisis Strategis Papua (ASP).
Pertanyaannya sebagai berikut:
(1) Apakah program-program yang kelihatannya bagus ini adalah niat baik dari penguasa pemerintah Indonesia?
(2) Mengapa pemerintah Indonesia sibuk membuat program-program overlap atau tumpang tindih?
Persoalan konflik dan ideologi Papua Barat Merdeka tidak bisa diselesaikan dengan cara pemerintah Indonesia membina dan mengindoktrinasi para komprador generasi muda Penduduk Orang Asli Papua untuk melawan bangsanya sendiri. Persoalan konflik dan ideologi Papua Barat Merdeka tidak bisa diselesaikan dengan cara pemerintah Indonesia membentuk banyak wadah yang tumpang tindih yang telah disebutkan.
Semua pendekatan ini tidak menyentuh substansi masalah, lebih baik negara menyelesaikan akar konflik masalah Papua sudah menjadi luka MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia yang sudah berhasil dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang sudah diubah menjadi Badan Ruset Inovasi Nasional (BRIN) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai hasil dari kebijakan RASISME dan KETIDAKADILAN sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Saya secara konsisten dan terus-menerus mengutip apa yang digambarkan oleh Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
(1) Papua Christian Center (PCC). (2) Papua Youth Creative Hup ( PYCH).(3) Papua Street Carnaval (PST).(4) Analisis Strategis Papua (ASP) bukan untuk membalut luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Akhir dari tulisan ini, saya mengutip pernyataan iman dan suara profetis seorang Pastor yang dikutip oleh Theo van den Broek dalam laporan Papua Juni 2023 tertanggal, 13 Juli 2023. Seruan pastoral dari seorang Pastor terdiri empat pokok masalah seperti inilah yang sering tidak dilihat dan diteliti dengan baik oleh kebanyakan Penduduk Orang Asli Papua dan masalah-masalah inilah yang ditutupi dan dikaburkan oleh para komprador yang dibina dan dipelihara para penguasa kolonial modern Indonesia.
Berikut kutipan suara Pastor:
“Pemerintah Indonesia tidak ada niat untuk Manusia Papua hidup Damai”
Dalam kerangka perjuangan perdamaian, kami memuat suatu refleksi publik, lagi ‘seruan hati’, dari seorang tokoh Gereja Katolik (TvdB):
“Saya Pastor Izaak Bame, Pr Pastor Gereja Katolik Keuskupan Manokwari-Sorong, membaca sebuah berita terkait dengan pendapat atau Pandangan dari Pa Yan Christian Warinusi, SH tentang “Dialog” sebagai langkah untuk mengakhiri atau mengurangi KONFLIK panjang di tanah Papua yang berjalan sejak tahun 1963 sampai dengan Juni 2023.
Saya memiliki kesan pribadi bahwa “Pemerintah Republik Indonesia” sejak Presiden Pertama Ir. Soekarno sampai dengan Presiden sekarang Ir. Joko Widodo’ memang menghendaki “MANUSIA PAPUA HARUS HIDUP MENDERITA DI ATAS TANAH LELUHURNYA” pendapat saya ini pasti dibantah oleh petinggi Indonesia baik itu Petinggi yang berasal dari luar Papua dan juga para BONEKA yang berasal dari Papua.
Mengapa saya berpendapat bahwa Pemerintah Indonesia punya niat untuk membuat Manusia Papua menderita di atas leluhurnya? Hal ini didasarkan beberapa fakta.
Pertama: Pemerintah tidak membuka diri untuk berdialog dengan Manusia Papua.
Kedua: Pemerintah Indonesia mobilisasi Manusia dari Maluku sampai Aceh berduyun-duyun ke Papua supaya jumlah mereka lebih banyak dan lebih gampang membunuh Manusia Papua dengan alasan atas nama NKRI harga MATI.
Ketiga: Masuk menguasai seluruh Aset Pemerintahan maupun Swasta yang ada di tanah Papua dengan argumen MURAHAN MANUSIA PAPUA BELUM SIAP.
Keempat: Mencaplok tanah-tanah Adat Manusia Papua dengan alasan Murahan demi KESEJAHTERAAN RAKYAT pada hal hanya untuk para Jenderal Pensiunan untuk mengisi waktu tua dengan kesibukan jual beli tanah hasil “CURIAN” dari PEMILIK MANUSIA PAPUA. Masih banyak hal yang kalau didaftarkan’ namun dengan empat hal yang saya sebutkan ini bisa membuka mata para Petinggi Negara Republik Indonesia yang tidak punya NURANI lagi bisa melihat DIRI.
Kepada Presiden Ir. Joko Widodo saya mau sampaikan bahwa kunjungan mu di Papua berapa kali itu TIDAK MEMBAWA DAMPAK SEDIKIT PUN BAGI HIDUP MANUSIA PAPUA’ justru menghabiskan anggaran untuk membiayai TNI-POLRI yang menjaga kedatangan Presiden.
Saya berharap sebelum Presiden masa jabatan berakhir pada tahun 2024 coba melihat kembali dengan jujur tujuan Pemerintah Indonesia memasukkan WILAYAH PAPUA dengan NKRI’ 1963 dan puncak pada PEPERA 1969′ dengan melihat kembali pasti ada langkah-langkah baru yang akan diambil oleh Pemerintah yang berpihak kepada manusia PAPUA DIATAS TANAH LELUHURNYA. Hormat saya”.
Selamat membaca. Tuhan Yesus memberkati.
=============
Ita Wakhu Purom, 13 Juli 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Editor: Redaksi