LBH Jakarta Siapkan Gugatan untuk Menkominfo Imbas Pemblokiran PSE
papuaspiritnews.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyiapkan gugatan untuk Menteri Komunikasi dan Informatika terkait pemblokiran sejumlah layanan digital/penyedia sistem elektronik (PSE) yang termuat dalam aturan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 5 Tahun 2020.
“LBH Jakarta bersama masyarakat akan mempersiapkan gugatan kepada Menkominfo (Johnny G Plate) untuk membatalkan tindakan dan kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang serta melanggar hukum dan HAM tersebut,” ungkap pengacara LBH Jakarta Teo Reffelsen dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (8/8/2022).
Dalam beberapa waktu ini, LBH Jakarta membuka pos pengaduan #SaveDigitalFreedom yang diperuntukan bagi masyarakat yang dirugikan akibat sejumlah pemblokiran sejumlah Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), yang termuat dalam aturan Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020.
Dari pos pengaduan yang dibuka selama sepekan ini, LBH Jakarta telah menghimpun 213 aduan, di mana 194 di antaranya melaporkan kerugian dengan nominal yang diprediksi lebih dari Rp 1,5 miliar akibat kebijakan tersebut.
Para pengadu, kata Teo, terdiri dari bidang pekerjaan beragam mulai dari yang terbanyak adalah freelancer (48 persen), karyawan swasta (14 persen), developer (12 persen), mahasiswa/ pelajar (12 persen) hingga lainnya seperti dosen, musisi dan entrepreneur.
LBH Jakarta berpandangan bahwa pemblokiran dengan alasan tidak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) justru mengorbankan masyarakat dengan timbulnya kerugian yang besar dan meluas khususnya pada pekerja industri kreatif.
Pemerintah dinilai tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan aspek kepentingan masyarakat sebelum melakukan tindakan pemblokiran.
“Hal tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana diatur dalam Pasal 52 juncto Pasal 10 Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan,” ujar Teo.
Ia melanjutkan, tindakan pemblokiran tidak sesuai dengan standar dan mekanisme HAM.
Pembatasan akses internet tidak dapat dilakukan sewenang-wenang karena prinsipnya akses internet adalah hak asasi manusia yang terkait dengan hak atas informasi, hak kebebasan berekspresi hingga hak memperoleh kehidupan yang layak.
“Tindakan upaya paksa pemblokiran dengan alasan tidak terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) tidak memiliki legitimasi pembatasan yang diatur dalam UU melainkan hanya pada level peraturan pelaksana Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 sehingga melanggar standar HAM,” jelas Teo.
“Pasal 40 ayat 2a, 2b UU ITE yang seringkali dicatut sebagai dasar hanya memberikan wewenang pemutusan akses bagi PSE yang memiliki muatan melanggar hukum yang didasarkan pada putusan pengadilan,” katanya.
Oleh karenanya, pemblokiran ini dinilai merupakan perbuatan melawan hukum oleh penguasa karena tidak sesuai dengan standar HAM, tidak terdapat alasan pembenar menurut hukum, bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
“Pasal 53 ayat 1 UU PTUN juncto Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan telah memberikan hak bagi siapapun yang dirugikan atas tindakan pemerintahan untuk melayangkan gugatan. Tindakan koreksi harus dilakukan untuk mencegah terulangnya pelanggaran dan kerugian masyarakat di masa mendatang,” pungkas Teo.
Sumber : nasional.kompas.com