LBH Papua Menilai Praktek Kewenangan Pemerintah Pusat di Papua Menciptakan Kondisi Darurat HAM
JAYAPURA, PAPUASPIRITNEWS.com-Presiden Republik Indonesia, Gubernur Dan Bupati/Walikota Se-Tanah Papua diminta segera saya wujudkan Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Adalah Tanggung Jawab Negara, Terutama Pemerintah Sesuai Pasal 28i ayat (4), Undang Undang Dasar 1945 di Tanah Papua”
Pada prinsipnya kewenangan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, moneter dan fiskal, agama, dan peradilan serta kewenangan tertentu di bidang lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 4, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua.
Pada prakteknya pemerintah pusat lebih fokus menjalankan kewenangan bidang politik luar negeri dan pertahanan keamanan serta kebijakan Daerah Otonomi Baru di Papua yang ditolak oleh Mayoritas Masyarakat Papua tanpa menjalankan kewajiban Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), Undang Undang Dasar 1945 di Tanah Papua.
Setelah 2 (dua) tahun praktek penerapan Daerah Otonomi Baru yang dipaksakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan cara membentuk Propinsi Papua Selatan, Propinsi Papua Barat Daya, Propinsi Papua Pegunungan, Propinsi Papua Tengah berjalan rupanya hanya menjadikan jalan baru terjadinya Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Masyarakat Adat Papua di segala sektor baik disektor Sipil, Politik, Ekonomi,Sosial dan Budaya di seluruh Tanah Papua yang menunjukan papua menjadi DARURAT PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DAN HAK MASYARAKAT ADAT PAPUA sebagaimana terlihat dalam Kasus Pengembangan Proyek Strategis Nasional yang telah melanggar Hak Masyakat Adat Papua diseluruh Tanah Papua.
“Fakta tidak dijalankannya kewajiban Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara di sektor Sipil dan Politik terlihat dalam Kasus Pembubaran Aksi demostrasi yang dilakukan secara damai mengunakan prinsip-prinsip Demokrasi sesuai Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dibeberapa kota besar di Tanah Papua seperti di Merauke, Jayapura dan Manokwari dengan pendekatan Represif”,ujar Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay,dalam siaran pers yang diterima media ini Rabu, (11/12/2024)
Selain itu, kata Gobay masih tingginya Stiqma kepada Komite Nasional Papua Barat sehingga seluruh aktifitas kebebasan ekspresinya selalu berbuntut Pembubaran dengan pendekatan Represif dan Kriminalisasi Aktifisnya sebagaimana yang terjadi dalam Kasus Penetapan Tersangka Terhadap Dua Orang Aktivis KNPB pasca aksi di Expo pada tanggal 16 Agustus 2024 dan Pembubaran dan Penetapan Tersangka Atas Tiga Orang Aktivis KNPB pasca aksi di Lingkaran Abepura pada tanggal 15 November 2024 yang menujukan fakta Pelanggaran Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Pokok dan Standar HAM dalam tugas Kepolisian.
Selain itu, dalam konteks penyelesaian persoalan Politik antara Indonesia dan Papua yang diwujudkan melalui Politik Pertahanan Keamanan yang diwujudkan dengan cara Pendropan Pasukan tanpa mengikuti ketentuan Pasal 17 – Pasal 20, Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia telah memicu terjadinya Konflik Bersenjata Antara TNI-Polri dengan TPN PB yang berkepanjangan sehingga menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana terlihat dalam Kasus Pengungsian sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya ada 2.000 orang masyarakat Sipil Papua yang mengungsi Ke Gereja yang terjadi pada bulan Januari 2024, di Kabupaten Paniai ada 500 orang Masyarakat Sipil Papua yang mengungsi Ke Gereja yang terjadi pada bulan Januari 2024 dan di kabupaten Pengunungan Bintang ada 84 orang Masyarakat Sipil Papua
(1. Balita sekitar 54 jiwa, 2. Ibu hamil 5 jiwa, 3. Lansia 23 jiwa dan 4. Pasien berat 2 orang) yang mengungsi pada bulan Desember 2024 namun tidak ditangani oleh Palang Merah Indonesia yang bertugas menangani Pengungsi akibat Konflik Bersenjata sesuai prinsip dalam Konvensi Jenewa yang telah disahkan dalam Undang-undang Nomor 59 Tahun 1958 Tentang Ikut-Serta Negara Republik Indonesia Dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949 yang menjadi dasar pembentukan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan dan juga mingkatnya Kasus Penembakan, Pembunuhan dan Penyiksaan terhadap warga sipil di Kabupaten Puncak Papua yang terjadi pada bulan Maret 2024, Kasus Penangkapan dan Penyiksaan Terhadap Anak di Kabupaten Yahokimo yang terjadi pada Bulan Februari 2024, Kasus Penembakan terhadap Tobias Silak dan Naro Dapla oleh Oknum Anggota Satgas Damai Cartens Sekla pada tanggal 20 Agustus 2024 di Kabupaten Yahokimo.
Dengan demikian untuk mengakhiri persoalan politik antara Indonesia dengan Papua perlu dipikirkan alternaitif lain seperti yang pernah di Pemerintah Republik Indonesia lakukan dalam Kasus Penyelesaian Politik antara Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka atau dalam Kasus Kasus Penyelesaian Persoalan Politik antara Indonesia dengan Fretelin (Timor Timor) untuk mengurangi lonjakan jumlah Pengungsi akibat Konflik Bersenjata di papua dan meningkatnya Kasus Impunitas di Papua.
Disektor Ekonomi Pemerintah Pusat dan Propinsi serta Kabupaten/Kota lebih memberikan ruang lebar kepada Perusahaan baik Badang Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Swasta yang ditunjukan dengan praktek pemberian Ijin kepada berbagai Perusahaan bahkan Negara melalui Kementrian terkait sibuk melakukan Lelang Eksploitasi Sumber Daya Alam Papua kepada berbagai Perusahaan namun Pemerintah mengabaikan Perjuangan Buruh di Papua sebagaimana terlihat jelas dalam Kasus 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia yang melakukan Mogok Kerja dari tanggal 1 Mei 2017 sampai Desember 2024 yang belum kunjung diselesaiakan oleh Mentri Ketenagakerjaan Republik Indonesia sampai saat ini. Diatas itu, mayoritas Buruh Perusahaan Sawit di Tanah Papua yang status ketenagakerjaannya sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) sehingga mereka hanya mendapatkan Upah yang dihitung perhari kerja dimana dalam sebulan Upahnya sangat dibawah dari Upah Minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Dengan kondisi status Buruh Harian Lepas (BLH) juga membuat Hak-hak buruh yang dijamin dalam BPJS tidak terkafer yang menyulitkan buruh untuk mendapatkan hak-haknya. Kondisi itu semakin terpelihara akibat Dinas Ketenagakerjaan Propinsi maupun Kabupten Kota mengabaikan tugasnya untuk mendesak Perusahaan membentuk Serikat Pekerja dilingkungan Perusahaan, Perusahaan mendaftarkan seluruh Buruh sebagai anggota BPJS dan membayarkan Upah sesuai Upah Minimum sesuai kebijakan Propinsi dan Kabupaten Kota didalamnya. Sikap Dinas Ketenagakerjaan Propinsi dan Kabupaten Kota didalamnya yang memberikan ruang lebar bagi Manajemen Perusahaan dengan seenaknya melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sewenang-wenang terhadap Buruhnya sebagaimana dialami oleh beberapa Buruh PT. Rimba Matoa Lestari dan Buruh PT. Pos Indonesia Cabang ayapura atau bahkan dengan cara mengkriminalisasi buruh selanjutnya menetapkan PHK dengan dalil Mangkir sebagaimana yang dialami oleh Buruh PT. Tandan Sawita Papua dan Buruh PT. Rimba Matoa Lestari yang dikriminalisasi dengan Kasus Penggelapan dan disidangkan di PN Jayapura.
Selain itu, adapula Kasus Perburuhan atau Ketenagakerjaan yang telah diputuskan agar Perusahaan mengembalikan Buruh untuk bekerja Kembali dalam Mediasi dan telah terterah dalam Risalah Mediasi yang dibuat oleh Dinas Ketenagakerjaan Propinsi atau Kabupaten namun Perusahaan tetap mengajukan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dan dalam keputusannya Hakim Pengadilan ubungan Industrial mengabaikan putusan Mediasi terkait perintahkan Buruh dipekerjakan Kembali dan Menerima Gugatan Perusahaan sehingga Buruh di PHK mengunakan Putusan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana dialami oleh beberapa Buruh PT. Freeport Indonesia yang terjadi di Tahun 2024 yang menunjukan kesan bahwa hakim Pengadilan Hubungan Industrial menjadi tangan Panjang Perusahaan karena mengabaikan ketentuan Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur pada Pasal 151 ayat (1), Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Melalui situasi diskriminasi dalam perlakukan terhadap Perusahaan yang dispesialkan sementara Buruh yang diabaikan oleh pemerintah Pusat maupun Propinsi dan Kabupaten/kota diseluruh Tanah Papua yang didukung dengan adanya Undang Undang Cipta Kerja secara langsung dapat memberikan Gambaran bahwa Buruh di Papua akan dikuras tenaganya demi peningkatan modal pemilik saham dalam persuahaan dan Negara melalui Pajak dengan status bukan sebagai Pekerja Tetap atau Buruh Tetap dan dapat diperlakukan seenaknya oleh Perusahaan yang akan didukung oleh Hakim Pengadilan Hubungan Industrial maupun pihak Kepolisian dalam Kasus kriminalisasi Buruh yang dilakukan oleh Manajemen Perusahaan.
Disektor Sosial melalui kebijakan Politik Pertahanan Keamanan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang diartikan dengan Pendropan Pasukan tanpa mengikuti ketentuan Pasal 17 – Pasal 20, Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang telah memicu terjadinya Konflik Bersenjata Antara TNI-Polri dengan TPN PB telah melahirkan Pengungsian Internal yang mayoritas diisi oleh Anak-Anak akhirnya terpaksa Putus sekolah karena tidak terfasilitasi sebagaimana yang dialami oleh anak-anak Pengungsi dari Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak Papua, Kabupaten Maybrat dan lain sebagainya.
“Diatas kondisi itu, sampai saat ini ada ribuan bahkan ratusan ribu Guru honorer diseluruh Tanah Papua sedang berjuang agar Pemerintah mengangkatnya menjadi Pegawai Negeri Sipil namun belum dijawab oleh pemerintah sebagaimana yang dialami oleh beberapa Perjuangan Guru Honorer dibeberapa Kabupaten dan Kota di seluruh Propinsi di Tanah Papua yang belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil sampai hari ini semakin menunjukan kondisi pemenuhan hak atas pendidikan yang sangat memprihatinkan”,terangnya.
Sementara itu, dalam rangka pengembangan kepentingan Ekonomi Politik dalam pengolahan Sumber Daya Alam Papua mengunakan pendekatan skema Proyek Strategis Nasional di Pangan dan Energi di Kabupaten Merauke yang dilakukan tanpa memiliki AMDAL dan Ijin Lingkungan yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (1), Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengolahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup menjadi bukti sedang dan akan terjadi pelanggaran hak atas lingkungan yang sehat bagi Masyarakat Sekitarnya. Melalui fakta Proyek Strategis Nasional Pangan dan Enegeri di Merauke akan mengalihkan Hutan Adat Papua dan lahan gambut papua di Merauke menjadi lahan Sawah dan kebun Tebu maka jelas-jelas menunjukan bukti bahwa Proyek Strategis Nasional akan melahirkan Banjir yang akan membahayakan Masayarat sekitar dan tentunya akan semakin meningkatkan Pemanasan Bumi.
Pada prinsipnta pengembangan kepentingan Ekonomi Politik dalam pengolahan Sumber Daya Alam Papua dengan skema Proyek Strategis Nasional di seluruh Tanah Papua (Kabupaten Merauke, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Sorong, Kabupaten Kerom, Kabupaten Bintuni dan Kabupaten Fak-Fak) dilakukan dengan cara mengabaikan ketentuan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat (Baca: Pasal 18b ayat (2), Undang Undang Dasar 1945) dan ketentuan “Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku.
Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan” (Baca : Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021) sehingga berdampak pada terjadinya pelanggaran Hak Masyarakat Adat seperti a. hak atas hutan adat; b. hak atas pembangunan; c. hak atas spiritual dan kebudayaan; d. hak atas lingkungan hidup; e. hak untuk menyelenggarakan pemerintahan adat; f. hak atas kekayaan intelektual; dan g. hak atas wilayah kelola Kawasan perairan.
Selain itu, Hak Atas Tanah Adat dan Hak Atas Sumber Daya Alam sebagaimana diatur pada Pasal 14, Pasal 15 dan Pasal 16, Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Di Provinsi Papua sebagaimana dialami oleh Masyarakat Adat Marind khususnya Marga Gebze, Marga Moiwend, Marga Balagaise, Marga Kwipalo yang beberapa waktu lalu melakukan aksi protes mengunakan busana tradisional baik di tempat tinggalnya hingga ke Jakarta.
Melalui fakta selurun Masyarakat Adat Papua khususnya Masyarakat Adat Marind khususnya Marga Gebze, Marga Moiwend, Marga Balagaise, Marga Kwipalo selama ini memenuhi kebutuhan Pokok (makan, tempat tinggal dan pakaian) mengunakan pengetahuan tradisional dari Wilayah Adat Miliknya sehingga dengan melihat fakta kepentingan Ekonomi Politik dalam pengolahan Sumber Daya Alam Papua dengan skema Proyek Strategis Nasional di Kabupaten Merauke yang telah mengalihkan fungsikan Hutan Adat Papua dan lahan gambut di Merauke menjadi lahan Sawah dan kebun Tebu akan mengarahkan terjadinya Tindakan “setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; dan/atau menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya” sebagaimana diatur pada Pasal 8 huruf b dan huruf c, Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia atau Tindakan Genosida.
Sesuai dengan tugas pendirian 5 (lima) Batalion yaitu 1. Yonif 801/Kesatria Yuddha Kentswuri bermarkas di Kabupaten Kerom, Propinsi Papua, 2. Yonif 802/Wimane Mande bermarkas di Kabupaten Sarmi, Propinsi Papua, 3. Yonif 803/Nduka Adiyatma Yuddha bermarkas di Kabupaten Boven digoel, Propinsi Papua Selatan, 4. Yonif 804/Dharma Bakti Asasta Yuddha bermarkas di Kabupaten Merauke, Propinsi Papua Selatan dan 5. Yonif 805/Kesatria Satia Waninginap bermarkas di Kabupaten, Sorong, Propinsi Papua Barat Daya sebagai penyangga daerah rawan di lima daerah Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah melalui Proyek Strategis Nasional di seluruh Tanah Papua maka secara langsung menunjukkan bukti TNI akan melakukan tugas diluar dari perintah Pasal 7 ayat (1), ayat (2), Undang Undang Nomor 35 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia dan jelas-jelas menunjukan fakta TNI melakukan tindakan yang dilarang yaitu Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan Bisnis sebagimama diatur pada Pasal 39 angka 3, Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Dengan melihat fakta Proyek Strategis Nasional telah melanggar berbagai peraturan perundang-undangan dan bahkan berdampak pada terjadinya dugaan Tindakan genosida sehingga dikhawatrikan semua pelanggaran hukum dan Hak Asasi Manusia itu akan dilakukan secara sistematik dan struktura oleh Tentara Nasional Indonesia yang ditugaskan untuk mendukung Proyek Strategis Nasional di Tanah Papua.
Sesuai dengan fakta Gugatan Frengky Woro (Masyarakat Adat Awyu) melawan Pemerintah Propinisi Papua atas penerbitan Surat Rekomendasai Kepada PT. Indo Asiana Lestari yang ditolak oleh Mahakama Agung Republik Indonesia serta melaihat pengalaman Kasus pelanggaran HAM Berat Paniai yang diputuskan bebas oleh Hakim Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Makasar sudah dapat menunjukan bukti bahwa Pemerintah Republik Indonesia tidak memiliki niat untuk MEMBERIKAN HAK ATAS KEADILAN KEPADA MASYARAKAT ADAT PAPUA KORBAN PELANGGARAN HAK MASYARAKAT ADAT sebagaimana perintah ketentuan Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana diatur pada Pasal 28i ayat (4), Undang Undang Dasar 1945 di Tanah Papua.
Berdasarkan uraian sudah dapat disimpulkan bahwa setelah 2 (dua) tahun Proyek Daerah Otonomi Baru (DOB) Ala Jakarta di Papua telah menjadi jalan raya terjadinya Pelanggaran HAM dan Hak Masyarakat Adat di Tanah Papua demi mewujudkan kepentingan Ekonomi Politik atas Pengolahan Sumber daya alam Papua yang dilakukan oleh Pemrintah Pusat bekerJa sama dengan Perusahaan atas beck-up-an Tentara Nasional Indonesia sesuai Kebijakan Perkawinan Antara Kepentingan Pertahanan Keamanan Wilayah Papua dengan Kepentingan Ekonomi Politik Pengolahan Sumber Daya Alam Papua yang telah disatukan dalam Proyek Strategis Nasional yang didukung oleh lima Batalion di Papua yang merupakan kewenangan Pemerintah Pusat sesuai Pasal 4, Undang Undang Nomor 2 Tahun 2021. Atas dasar itu secara langsung telah menunjukan bukti bahwa PRAKTEK KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DI PAPUA PASCA PENERAPAN PROYEK DAERAH OTONOMI BARU PAPUA MENCIPTAKAN KONDISI DARURAT HAM DAN HAK MASYARAKAT ADAT PAPUA.
Dengan demikian maka bersama dengan perayaan Hari Hak Asasi Manusia sehingga kami Lembaga Bantuan Hukum Papua mengunakan kewenangan Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia (Pasal 100, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Aksasi Manusia) menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Presiden Republik Indonesia, Gubernur Dan Bupati/Walikota Se-Tanah Papua Segera Wujudkan Perlindungan, Pemajuan, Penegakan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia Adalah Tanggung Jawab Negara, Terutama Pemerintah Sesuai Pasal 28i ayat (4), Undang Undang Dasar 1945 di Tanah Papua;
2. Mahkama Agung Republik Indonesia wajib melindungi Hak Masyarakat Adat Papua dari acaman Proyek Strategis Nasional dengan Pendekatan Militer di Papua;
3. Ketua DPR RI dan DPD RI segera mengkaji ulang Kebijakan Pertanahan Keamanan dan Kebijakan Ekonomi Politik Pengolahan Sumber daya Alam Papua dalam Proyek Strategis Nasional yang telah melanggan HAM dan Hak Masyarakat Adat Papua;
4. Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia segera cabut Proyek Strategis Nasional di Merauke yang dijalankan tanpa AMDAL yang telah melanggan HAM dan Hak Masyarakat Adat Papua dan akan meningkatkan Krisis Iklim Dunia;
5. Mentri HAM Republik Indonesia segera mengusulan Kebijakan Penyelesaiakan Persoalan Politik Antara Indonesia dan Papua sesuai Pengalaman Aceh atau Pengalaman Timor Timur untuk mengakhiri Konflik Bersenjata yang melahirkan Pengungsi di Papua;
6. Panglima TNI segera bubarkan 5 (lima) Batalion Penyangga Daerah Rawan Di Lima Daerah Papua Untuk Mendukung Program Ketahanan Pangan Pemerintah dalam Proyek Strategis Nasional di seluruh Tanah Papua sebagai bentuk pemenuhan ketentuan Prajurit Tidak Terlibat Kegiatan Bisnis;
7. Mentri Ketenagakerjaan Republik Indonesia segera selesaikan Persoalan 8.300 Buruh PT. Freeport Indonesia yang melakukan Mogok Kerja dari tanggal 1 Mei 2017 sampai Desember 2024;
8. Kapolri segera perintahkan Kapolda Papua beserta Penyidiknya segera tangkap dan proses hukum oleh Oknum Anggota Satgas Damai Cartens Sekla pelaku penembak Tobias Silak dan Naro Dapla di Kabupaten Yahokimo;
9. Kapolda diseluruh Tanah Papua wajib melindungi Kebebasan Berekspresi Di Tanah Papua sesuai Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Perakap Nomor 8 Tahun 2009.
Demikian siaran pers ini dibuat, semoga dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya disampaikan terima kasih.
Editor: redaksi