Mari, Kita Harus Mendidik Generasi Muda Indonesia dengan Menulis Tentang Kebenaran Sejati Persoalan Kemanusiaan dan Ketidakadilan yang dialami Bangsa Papua Barat Selama 60 Tahun Sejak 1 MEI 1963-Sekarang
“KARENA, menulis itu tidak merendahkan martabat kemanusiaan. Menulis itu tidak membunuh. Menulis itu mendidik, mencerdaskan dan membangun kesadaran. Menulis itu memberikan cahaya harapan hidup yang lebih baik, adil dan manusiawi”.
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socrates Yoman,MA
Saudara dan Saudari, para pembaca artikel yang mulia, menulis itu tidak melukai. Menulis itu tidak mencederai. Menulis itu tidak menyakiti. Menulis itu tidak merusak. Menulis itu tidak merendahkan martabat kemanusiaan. Menulis itu tidak membunuh. Tapi, menulis itu mendidik, mencerdaskan menguatkan, meneguhkan, membangun kesadaran, memberikan cahaya atau sinar harapan kehidupan yang lebih layak dan baik. Menulis menjadi seperti garam dunia dan terang dunia. Tergantung motivasi karya-karya agung dan mulia itu
Hampir belasan, ratusan, puluhan, bahkan ribuan pembaca setia karya-karya tulis saya selama 24 tahun sejak 1999, ada banyak komentar, dan komentar itu hampir 95% mendukung tulisan-tulisan saya. Mereka sampaikan terima kasih dengan berbagai bentuk ungkapan.
Dari banyak tanggapan itu, pagi ini cukup banyak respon, dari respon itu, saya kutip beberapa saja, yaitu komentar dari YLR sebagai berikut:
“Terimakasih untuk artikelnya Bapak Gembala. Jadilah lilin-lilin kecil yang menerangi lembah-lembah, gunung dan pesisir, rawa dan pulau-pulau dengan cahaya Kebenaran, nyalan lilin itu dengan ikhlas, sukacita dan kerelaan hatinya tanpa bosan dan jenuh untuk terus memberikan cahayanya tanpa menuntut balas jasa pengorbanannya. Lilin itu adalah Bapak Gembala sendiri. TUHAN Memberkati selalu. Amin.🙏🏾🙏🏾❤️ (YLR, Sabtu, 20 Mei 2023).
Berinisial KM berkomentar:
“Saya selalu ikuti bapa punya opini lewat buku, artikel, dan youtube. Sayang sekali, buku yang bapak tulis tidak semua dijual di toko buku. Saya ingin kasih ke anak-anak murid biar mereka baca juga.”
“Saya bisa merasakan ratapan dan jeritan hati bangsa West Papua melalui rangkaian kalimat yang ada dalam artikel bapak.” (2009)
“Tuhan dengar. Tuhan dengar. Tuhan Allah tidak tinggal diam.”
Ada seorang sahabat pembaca artikel-artikel saya yang berinisial AT berkomentar: “Bapa gembala Tulis saja apa yg baik menurut bapa gembala, Tuhan memberikan hikmat dan marifat….Siapa saja silahkan membaca dan menyimak, menyelamai, memahami…
KEPUTUSAN ada ditangan para pembaca…. to tulisan bapa gembala tidak memaksa orang untuk mengikuti…
“TETAPLAH MENULIS….
Saya terus mengikuti dan menyimak tulisan-tulisan bapa gembala…
Terimakasih..🙏 (AT, 20523).
Sementara yang kontra hanya satu orang pada Jumat, 19 Mei 2023, seorang teman diskusi saya mengirim pesan singkat kepada saya sebagai berikut:
“…Pak yoman seorang gembala tapi dari tulisannya bsnyak menulis dan berpendapat yang seperti mendukung Papua merdeka…”
Teman yang sama menanyakan saya, bahwa, “Pak Yoman binaan siapa?”
Teman saya ini rupanya tidak tahu atau belum mengerti tugas, peran, dan tanggungjawab seorang gembala atau pemimpin agama atau gereja.
Tugas, peran dan tanggungjawab dan kewajiban seorang gembala dan pemimpin gereja ialah menjaga, melindungi dan menggembalakan umat Tuhan.
Mari, rakyat dan bangsa Papua Barat, kita HARUS dan BERKEWAJIBAN untuk mendidik saudara-saudara kita, rakyat dan bangsa Indonesia tentang kebenaran sejarah dan pelanggaran berat HAM sebagai tragedi kemanusiaan yang dilakukan Negara Indonesia sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang.
Saya beriman dan percaya, bahwa saudara-saudara kita di Indonesia mempunyai telinga, mata, hati nurani dan masih memiliki martabat kemanusiaan. Mereka tentu saja mau mendengarkan dan melihat tentang penderitaan rakyat dan bangsa Papua Barat yang sudah berlangsung lama ini.
Tidak semua rakyat dan bangsa Indonesia berpikiran kerdil, jongkok dan primitif seperti saudara Djoko Edhi Abdurahman dan ibu Tri Rismaharini dan para penguasa Indonesia lalim yang sedang berkuasa saat ini.
“Papua benua yang menyeramkan…”
(Djoko Edhi Abdurrahman, 16/7/2021)
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini atau Risma mengancam ASN Kementerian Sosial yang tak cekatan saat membantu di dapur umum untuk dipindahkan ke Papua.
“Sekarang saya nggak mau lihat seperti ini, kalau saya lihat lagi, saya pindahkan ke Papua, saya nggak bisa mecat kalau enggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua sana teman-teman.” (Tempo.Co, Selasa 13 Juli 2021).
Salah satu ciri khas dan watak bangsa kolonial yang sesungguhnya ialah ia tidak pernah mendengarkan suara rakyat dan bangsa yang diduduki, dijajah dan ditindas. Bangsa kolonial selalu berusaha memiskinkan, melemahkan dan menghancurkan semua yang dimiliki bangsa terjajah. Bangsa kolonial selalu mengabaikan dan mengesampingkan serta meniadakan semua yang dimiliki rakyat dan bangsa yang diduduki dan ditindas.
Siasat jitu bagi bangsa kolonial biasanya membuat rakyat dan bangsa serta wilayah diduduki dan dijajah dibuat tidak nyaman dan menakutkan dengan berita-berita negatif yang dikampanyekan secara terus-menerus melalui media-media utama yang dikontrol militer dan penguasa kolonial. Salah satu contoh perilaku RASIS seperti yang disampaikan Djoko Edhi Abdurrahman dan Tri Rismaharini.
Banyak bukti-bukti historis yang sulit dibantah bahwa Indonesia benar-benar sebagai bangsa kolonial dalam era modern dan globalisasi ini. Penjajahan bangsa Indonesia terhadap bangsa Papua Barat berjalan telanjang di depan mata kita.
Bangsa Indonesia sebagai kolonial modern diakui dan ditegaskan oleh generasi muda Indonesia. Seperti Dr. Veronika Kusumaryati, dalam disertasi Program S3 yang berjudul: Ethnogaphy of Colonial Present: History, Experience, And Political Consciousness in West Papua menyatakan:
“Bagi orang Papua, kolonialisme masa kini ditandai oleh pengalaman dan militerisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kolonialisme ini juga dirasakan melalui tindak kekerasan yang secara tidak proporsional ditujukan kepada orang Papua, juga narasi kehidupan mereka. Ketika Indonesia baru datang, ribuan orang ditahan, disiksa, dan dibunuh. Kantor-kantor dijarah dan rumah-rumah dibakar. Kisah-kisah ‘kekerasan dan kekejaman Negara’ ini tidak muncul di buku sejarah, tidak di Indonesia, tidak juga di Belanda. Tindakan ini pun tidak berhenti pada tahun 1960-an” (2018:25).
DPR RI bersama dengan penguasa bangsa Indonesia mengesahkan kelanjutan Otsus pada 15 Juli 2021 itu sebagai bukti nyata untuk memperpanjang dan mengkekalkan penderitaan, air mata dan tetesan darah dengan sistem kolonialisme Indonesia terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat. Wajah kejahatan ini diperlihatkan dan dipertontonkan kepada seluruh rakyat Indonesia dan rakyat Papua bahwa anggota DPR RI dan Pemerintah Indonesia bertelinga tuli, mata buta dan tidak punya hati nurani dan manusia-manusia yang telah kehilangan martabat kemanusiaan. Ini bukti RASISME dan KOLONIALISME serta KETIDAKADILAN.
Penguasa Pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI benar-bebar bertelinga tuli, mata buta dan tidak punya hati nurani dan manusia-manusia yang telah kehilangan kemanusiaan, karena mereka dengan terang-terangan mengabaikan suara rakyat dan bangsa Papua yang tidak setuju dan menolak keberlanjutan Otonomi Khusus yang telah gagal total itu.
Suara 714.000 dari 112 organisasi yang menolak Otonomi Khusus itu dianggap tidak nilainya oleh penguasa pemerintah Indonesia dan anggota DPR RI pada 15 Juli 2021. Ini mimpi buruk dan masa depan rakyat dan bangsa Papua Barat yang suram. Karena bagi rakyat dan bangsa Papua Barat tidak ada masa depan dalam kekuasaan bangsa kolonial modern Indonesia yang berwatak RASIS, barbar, kriminal dan brutal berkultur militer.
Ada pandangan RASISME dan bagian dari kolonialisme dari mantan anggota DPR RI, Djoko Edhi Abdurrahman menyatakan: ” Papua Benua yang menyeramkan…” (Sumber: Benteng Sumbar.Com, 16 Juli 2021).
Para penguasa kolonial modern Indonesia dan anggota DPR RI yang mengesahkan keberlanjutan Otonomi Khusus pada 15 Juli 2021 adalah HANYA TOPENG atau TAMENG untuk pembelokkan atau menyembunyikan akar konflik persoalan Papua yang sebenarnya, yaitu: RASISME, MILITERISME, KAPITALISME, KOLONIALISME dan KETIDAKADILAN dengan misi utama untuk memperpanjang penderitaan rakyat dan bangsa Papua Barat dan pemusnahan serta penghilangan etnis orang asli Papua dari Tanah leluhur mereka.
Akar konflik ini sudah lama disembunyikan oleh penguasa kolonial Indonesia dengan memproduksi mitos-mitos, label-label, stigma-stigma, topeng-topeng dan tameng-tameng selama ini dipromosikan oleh pemerintah dan TNI-Porli, yaitu topeng separatis, topeng makar, topeng opm, topeng kkb, dan topeng teroris dan sekarang ditambah topeng Undang-undang Otonomi Khusus yang disahkan pada 15 Juli 2021.
Rakyat dan bangsa Papua Barat diarahkan dan disibukkan serta digiring ke mitos-mitos dan topeng-topeng serta tameng-tameng yang diproduksi oleh penguasa kolonial Indonesia yang menyembunyikan akar konflik sebagai substansi persoalan yang sesungguhnya, yaitu RASISME, MILITERISME, KAPITALISME, KOLONIALISME DAN KETIDAKADILAN.
Akar konflik Papua ini telah melahirkan atau menghasilkan Papua menjadi LUKA MEMBUSUK DAN BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia. Bukan saja LUKA MEMBUSUK dan BERNANAH tapi kehidupan orang asli Papua TIDAK NORMAL, TIDAK BERADAB, MEMALUKAN dan orang-orang asli Papua dibuat sama seperti hewan dan binatang.
Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan: “Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Jadi, solusi relevan dan realistis untuk menyelesaikan akar konflik Papua, yaitu Rasisme, Militerisme, Kapitalisme dan Kolonialisme, serta Ketidakadilan ialah Pemerintah RI- ULMWP duduk setara di meja perundingan yang dimediasi pihak ketiga yang netral.
Perundingan damai dan setara ini untuk penyelesaian akar konflik Papua, seperti luka membusuk dan bernanah di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar konflik yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar konflik Papua, yaitu:
1) Sejarah dan status politik pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1963 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
“Sukmatari, kau sudah melangkah. Jangan mundur. Tulis sebanyak-banyaknya tentang bangsamu. Bangsa tertindas yang selama berabad-abad membisu. Tulis, umumkan, jangan sampai tak melakukan perlawanan. Ingat gadis Jepara itu, ingat Mutatuli, ingat Hatta, ingat Suwardi Suryoningrat, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, semua menggoncangkan sendi-sendi pemerintah kolonial dengan tulisan.
Ya, dengan TULISAN! Menulis dan menulis sangat berbeda, ada orang menulis untuk klangenan, ada orang menulis untuk memperjuangkan sesuatu. Dan semua patriot yang kusebut, mereka menulis untuk memperjuangkan asas. Menulis hanya sebuah cara! Tulis Sukma.Tulis semua yang kau ketahui mengenai bangsamu. Tulis semua gejolak perasaanmu tentang bumi sekitarmu. Karena dengan menulis kau belajar bicara. …” (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Sukarno, Roman Zaman Pergerakan: 2001:201).
Saya menulis untuk rakyat dan bangsaku. Saya menulis untuk kemuliaan dan kehormatan bangsaku. Saya menulis untuk martabat bangsaku. Saya menulis untuk sampaikan pesan tentang penderitaan bangsaku kepada siapa saja. Saya menulis untuk nyalakan cahaya lilin kecil untuk bangsaku. Saya menulis untuk umumkan secara terbuka kepada semua orang tentang krisis dan tragedi kemanusiaan berkepanjangan yang dialami bangsaku.
Saya menulis dengan visi kebangsaan. Saya menulis dengan tujuan. Saya menulis digerakkan dengan kekuatan visi, tujuan dan target. Saya menulis dengan keadaan sadar. Saya menulis apa yang saya tahu. Saya menulis apa yang saya mengerti. Saya menulis apa yang saya lihat. Saya menulis apa yang saya saksikan. Saya menulis apa yang saya alami. Saya menulis apa yang saya pikir. Saya tulis apa yang saya rasakan.
Saya menulis untuk melawan rasisme, ketidakadilan, kolonialisme, kapitalisme, neo imperialisme, diskriminasi, marginalisasi, pemusnahan etnis Penduduk Orang Asli Papua (POAP) secara sistematis, terprogram, terstruktur, masif, kolektif, meluas dan kolektif yang dilakukan oleh penguasa kolonial modern Indonesia yang bertangan besi dan kejam dan tidak mengenal rasa kemanusiaan.
Saya menulis menyuarakan yang tak bersuara. Saya menulis untuk bangsaku yang tertindas dan terjajah. Saya menulis untuk bangsaku yang terabaikan. Saya menulis untuk bangsaku yang dibuat tidak berdaya. Saya menulis untuk bangsaku yang terpinggirkan dari tanah leluhur mereka. Saya menulis untuk melindungi bangsaku yang merasa ketakutan. Saya menulis untuk menyelamatkan bangsaku yang sedang dimusnahkan oleh penguasa Indonesia sebagai Firaun dan Goliat moderen.
Saya menulis tentang sejarah bangsaku. Saya menulis tentang harga diri dan identitas bangsaku. Saya menulis pengalaman bangsaku. Saya menulis tentang harapan masa bangsaku.
Saya menulis untuk bebaskan bangsaku dalam rasa ketakutan. Saya menulis untuk sadarkan bangsaku yang sudah dilumpuhkan kesadaran oleh bangsa kolonial Indonesia. Saya meneguhkan dan menguatkan bangsaku yang ragu-ragu, kecewa dan bimbang
Menulis merupakan tugas, kewajiban, pertanggungjawanan iman dan ilmu pengetahuan serta panggilan hati nurani untuk rakyat dan bangsaku Melanesia di West Papua.
Tugas dan kewajiban saya dengan jalan menulis dapat mengubah cara pandang dan berpikir orang Melayu Indonesia, terutama penguasa, TNI-Polri yang menduduki dan menjajah bangsaku.
Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat pencerahan. Waa…Waa….
Ita Wakhu Purom, Sabtu, 20 Mei 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA)
Editor : Redaksi