Mengapa Penduduk Orang Asli Papua Dimutilasi, Gereja Distigmasisasi dan Para Pemimpin Papua Dikriminalisasi?
Membuka Tabir Misi Tersembunyi Penguasa Kolonial Indonesia di Papua
Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman
“Jangan takut tulis tentang sebuah kebenaran” (Barnabas Suebu, SH).
Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dimutilasi seperti yang telah terjadi pada 22 Agustus 2022 di Mimika, (Irian Nigiri, Arnold Lokbere, Lemaniol Nigiri, Atis Tini), Gereja distigmasisasi, dan para pemimpin Papua dikriminalisasi adalah agenda Negara. Tujuan dan misi utama Negara ialah POAP, Gereja dan Pemimpin harus dilumpuhkan, dihancurkan, ditiadakan dan dimusnahkan dari Tanah Papua secara sistematis, masif, meluas, dan kolektif.
1. Mengapa Gereja Dikriminalisasi Negara?
Penguasa Indonesia menyadari dan melihat bahwa keberadaan POAP sebagai hambatan, halangan, rintangan dan gangguan besar bagi penguasa Indonesia. Dalam keyakinan dan pandangan rasis dan fasis seperti ini, penguasa melihat dan juga mengerti bahwa Gereja dan Pemimpin Papua sebagai Benteng Terakhir Yang Kokoh selama ini berpihak pada POAP.
Karena Gereja sebagai Benteng Terakhir yang dengan setia berpihak, melindungi dan menjaga rakyat, sehingga gereja harus dilemahkan dan dilumpuhkan dengan cara Negara memberikan stigma atau stigmasisasi dengan Gereja pendukung Papua Merdeka. Keberpihakan Gereja terhadap POAP yang berjuang untuk Papua Barat Merdeka itu tidak menyalahi isi Kitab Suci, Alkitab. Keberpihakan Gereja pada POAP yang berjuang untuk Penentuan Nasib Sendiri (Self-Determination) itu bagian integral yang terpisahkan dari tugas-tugas utama pastoral Gereja. Gereja menghargai hak politik dan hak hidup masa depan POAP yang lebih baik dan damai. Karena Gereja diberikan mandat dan kuasa serta tugas dari Tuhan Yesus untuk memelihara, menjaga dan menggembalakan umat Tuhan. “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-17).
Gereja tidak bisa dilumpuhkan dengan kekuatan dan kekuasaan stigmasisasi.
<span;>Karena Gereja bukan didirikan oleh manusia, tapi Gereja didirikan dan dibangun oleh Tuhan Yesus di atas batu karang yang teguh dan alam maut tidak akan menguasainya.
“Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak menguasainya….”
<span;>(Matius 16:18).
Dalam posisi Gereja sebagai Benteng Terakhir yang memegang mandat dan kuasa TUHAN Yesus Kristus mengerti dan menyadari, bahwa TUHAN tidak melarang Papua Merdeka, Alkitab tidak melarang Papua Merdeka, Gereja tidak melarang Papua Merdeka. Karena, yang dilarang TUHAN, Alkitab, Gereja ialah jangan MEMBUNUH, JANGAN MEMUTILASI, JANGAN MENYIKSA umat Tuhan dan jangan MENCURI (Keluaran 20:13, 15).
Pemerintah dan beberapa Gereja selalu mengatakan Pemerintah adalah hamba Allah atau wakil Allah (Roma 13:1-6). Tapi, fakta di lapangan di Tanah Papua, pemerintah Indonesia seperti hamba Iblis. Terbukti mutilasi dan menyiksa serta membunuh POAP dari waktu ke waktu sejak 19 Desember 1961, 1 Mei 1963 sampai sekarang ini.
Jadi, operasi militer, mutilasi, penyiksaan, dan pembunuhan serta pemusnahakan POAP adalah perintah Negara. Bukti-bukti perintah Negara sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno keluarkan maklumat Trikora, 19 Desember 1961, mobilisasi umum, kibarkan merah putih di Irian Barat, bubarkan (aneksasi) negara Papua Barat buatan Belanda. Trikora itu perintah perang atau perintah Operasi Militer Indonesia di Papua Barat oleh presiden pertama Indonesia. Kekejaman dan kekejian Indonesia terlihat setelah maklumat ini. Banyak saksi POAP mengatakan kehadiran militer Indonesia di Tanah Papua itu seperti “neraka” di bumi.
Kesan seperti “neraka” di bumi ini benar adanya dan dalam buku berjudul: Pastor Frans Lieshout, OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua dikisahkan:
“Pada tamggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dipinggir jalan. Mungkin benar-benar begitu.” (Markus Haluk: 2020:593).
2. Ir. Joko Widodo mengeluarkan perintah Operasi Militer pada 5 Desember 2018 sebagai berikut:
“Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar.” (Detiknews, 5/12/2018).
3. Wakil Presiden (mantan) Haji Jusuf Kalla mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:
“Kasus ini, ya, polisi dan TNI operasi besar-besaran…” (Tribunnews.com, 6/12/2018).
4. Ketua MRP RI Bambang Soesatyo mendukung operasi militer di Papua sebagai berikut;
“…MPR usul pemerintah tetapkan operasi militer selain perang di Papua”
<span;>(Kompas.com, 13/12/2018).
5. Wiranto (Mantan Menkopolhukam) mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:
“Soal KKB di Nduga Papua, kita habisi mereka” (Kompas.com, 12/12/2018).
6. Mahfud MD melabelkan dan menempatkan POAP dengan label teroris. Pernyataan primitifnya Mahfud MD pada 29 April 2021, sebagai berikut:
“Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris.”
Tidak heran, militer dan kepolisian Indonesia diberikan legitimasi Negara untuk operasi militer di Papua dan untuk orang-orang di Papua dikagegorikan sebagai teroris. Karena label teroris, maka mutilasi dan penyiksaan dan pembunuhan POAP dianggap sah, tidak berdosa, tidak bersalah dan pelaku kejahatan dilindungi, ada impunitas dan dihargai sebagai pahlawan.
Contoh nyata, Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu menganggap anggota Kopassus yang dihukum karena melakukan pembunuhan terhadap Ketua Presidium Dewan Papua Theodorus (Theys) Hiyo Eluay sebagai pahlawan.
Pembunuh Theys, Letkol Inf. Hartomo dihormati dan dinobatkan sebagai pahlawan.
“Hukum mengatakan mereka bersalah. Okelah dia dihukum. Tetapi bagi saya dia pahlawan.” (Sumber: Tempo Interaktif: 19/21 Agustus 2003).
Pembunuh yang dihormati sebagai pahlawan ini menempati jabatan Gubernur Akmil, Hartomo dimutasi menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) pada akhir 2016. Pada Oktober 2017, Hartomo menjadi Komandan Pusat Teritorial Angkatan Darat (Pusterad).
2. Mutilasi Penduduk Orang Asli Papua (POAP)
Dalam pandangan Orang Indonesia, POAP yang hitam, keriting adalah penghalang, penghambat, gangguan besar, dan manusia kelas dua, maka pantas dimonyetkan, dimutilasi,dikopi-susukan (kawin campur untuk hilangkan ras hitam) dan dimusnahkan dari Tanah leluhur mereka Papua.
Pengejaran, penangkapan, penyiksaan, pemerkosaan, pemenjaraan, pembunuhan, pemusnahan POAP adalah wajib hukum bagi penguasa Indonesia dan sebagaian besar rakyat Indonesia. Karena, bagi penguasa Indonesia, untuk merampok dan memiliki Tanah dan Sumber Daya Alam kaya raya dan yang melimpah adalah agenda atau misi utama. POAP bukan urusan bagi penguasa Indonesia.
Fakta di depan mata kita, mutilasi 4 warga sipil di Timika pada 22 Agustus 2002 dan penyiksaan 3 warga sipil di Mappi pada 30 Agustus 2022 dan 1 orang meninggal dunia merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari Operasi Militer Indonesia untuk pemusnahan POAP secara sistematis, terstruktur, terprogram, meluas, masif dan kolektif. Ratusan bahkan ribuan POAP menjadi korban kekerasan dan kejahatan Negara dari waktu ke waktu selama ini.
Mutilasi 4 POAP di Mimika dan penyiksaan 3 warga sipil di Mappi dan satu orang tewas merupakan kejahatan Negara dan pelanggaran berat HAM. Ini perilaku Negara yang kejam, brutal, tidak manusiawi dan sangat keji dan terkutuk.
3. Kriminalisasi Para Pemimpin Papua
Sejarah Sejak 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963 sampai sekarang membuktikan bahwa POAP diberikan stigma atau label GPK, GPK, OPM, Separatis, Makar, KKB dan Teroris. Stigma dan label ini diproduksi dan diciptakan dan digunakan oleh penguasa kolonial modern Indonesia yang menduduki, menjajah dan menndas POAP. Stigma dan label ini memberikan legitimasi kepada aparat keamanan TNI-Polri untuk merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan POAP dengan berbagai bentuk kekejaman dan kekejian.
Kebanyakan POAP terjebak dalam siasat dan skenario jahat dari penguasa Indonesia. POAP belum banyak yang berfikiran kritis, karena POAP sudah dilumpuhkan dan hidup dalam kelumpuhan dan kepalsuan ideologi, nasionalisme dan sejarah Indonesia. POAP dikurung dalam “zona nyaman semu, hampa dan kosong.” Sebagian pikiran dan hati POAP diisi dengan pikiran palsu atau asing sehingga daya kritis dan analisa terkurung atau terpenjara dalam penjara pikiran kolonial.
Saya mau sampaikan, bahwa kriminalisasi para pemimpin Papua seperti: Lukas Enembe gubernur Papua, Eltimus Omaleng bupati Mimika, Ricky Ham Pagawak bupati Mamberamo Tengah, Barnabas Suebu, John Ibo, dan masih banyak yang lain, ini bagian dari siasat penguasa Indonesia untuk menebang dan melumpuhkan semua pilar-pilar penting dan kuat bagi POAP. Cara penguasa kolonial yang paling efektif ialah kriminalisasi dengan tuduhan korupsi.
Barnabas Suebu, salah satu tokoh kunci dan tokoh besar POAP pernah menyatakan penyesalannya atas kriminalisasi terhadap dirinya. Pernyataan beliau, saya kutip sebagai berikut:
“Saya sebagai orang Papua menyesal ikut bergabung ke NKRI. Di pengadilan saya juga tidak terbukti satu sen pun korupsi. Tapi saya masih dizolimi. Jadi saya menyesal.Tulis itu ya, jangan pernah takut tulis tentang kebenaran.”
Semua POAP jangan lihat secara sempit kata “Korupsi” yang dipakai oleh para penguasa Indonesia. POAP harus berpikir kritis dan analisa mendalam serta luas untuk mengetahui agenda-agenda rahasia penguasa kolonial modern Indonesia jangka pendek, menengah dan panjang dibalik kata “korupsi”. Rakyat kecil atau warga sipil dilabel separatis, makar, opm, kkb, dan teroris, dan gereja distigma pendukung Papua Merdeka, para pejabat dikriminalisasi dengan senjata “korupsi.”
Pertanyaan POAP ialah tujuan apa penguasa kolonial modern Indonesia mutilasi, kriminalisasi, stigmatisasi rakyat sipil, para pemimpin dan gereja?
Jawaban dari pertanyaan ini ialah dalam pandangan Orang Indonesia, POAP yang hitam, keriting adalah penghalang, penghambat, gangguan besar, dan manusia kelas dua, maka pantas dimonyetkan, dimutilasi, dikopi-susukan (kawin campur untuk hilangkan ras hitam) dan dimusnahkan dari Tanah leluhur mereka.
4. Siasat-siasat penguasa kolonial modern Indonesia
Ada siasat-siasat dan strategi dari penguasa kolonial modern Indonesia yang memutilasi, OPK-kan, Separatis-kan, Makar-kan, KKB-kan, Monyet-kan, Separatis-kan, Kriminalkan, Teroris-kan POAP dengan misi dan tujuan tersembunyi sebagai berikut.
1. Negara berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara wajar atau tidak wajar, untuk membelokkan, menguburkan dan menghilangkan sejarah akar konflik Papua yang sudah ditemukan atau dirumuskan 4 akar masalah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan sekarang diganti dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Jadi, Indonesia bekerja keras untuk “mencuci” tangan dari kejahatan pelanggaran berat HAM.
Menurut keyakinan saya, untuk membelokkan, menguburkan, dan menghilangan dan Indonesia “mencuci” tangan dari kejahatan kemanusiaan yang menimbulkan tragedi kemanusiaan itu tidak mungkin atau tidak akan dihilangkan. Karena, persoalan Papua sudah menjadi seperti: Luka membusuk dan bernanah, penyakit kanker ganas, duri dan kerikil si dalam tubuh bangsa Indonesia. Luka membusuk dan bernanah, kanker ganas harus disembuhkan dan duri dan kerikil harus dicabut dan dibuang dengan jalan perundingan damai antar dua bangsa di meja perundingan yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
2. Indonesia berjuang dan bekerja keras untuk “kubur” kan atau hilangkan persoalan Papua pada 1 Mei 2023 setelah genap 60 tahun terhitung sejak 1 Mei 1963. Indonesia bermimpi mau tampil sebagai penguasa di Asia dan Pasifik sebagai bangsa yang seakan-akan tidak ada dosa dan noda kejahatan kemanusiaan di dalam rumahnya sendiri. Tapi, Indonesia akan berhadapan dengan para generasi muda Indonesia yang lebih moderat, kreatif, inovatif, berwawasan global. Generasi muda Indonesia tidak menghendaki mewarisi dan memikul beban “luka membusuk dan bernanah” tentang sejarah gelap dan kelam Papua. Indonesia juga akan dan selalu berhadapan dengan POAP terdidik yang sangat paham tentang persoalan ketidakadilan dan kejahatan dan kekejaman penguasa bangsa Indonesia selama ini.
3. Penguasa Indonesia menebang dan merobohkan para pemimpin Papua yang berpotensi dan lebih berpihak kepada rakyat seperti: Barnabas Suebu, John Ibo, Lukas Enembe, Ricky Ham Pagawak, Eltinus Omaleng dan masih banyak lain. Para pemimpin POAP ini harus dilumpuhkan dan dibuat tidak berdaya dengan label korupsi. Ini bentuk kriminalisasi para pemimpin yang paling ampuh dan jitu. Supaya dalam provinsi-provisi boneka Indonesia di Tanah Papua dipimpin oleh orang-orang asli Papua yang sudah “dilumpuhkan” yang mendukung agenda-agenda Hendropriyono, Tito Karnavian, Mahfud MD, Luhut Binsar Panjaitan, Ibu Megawati Sukarnoputri dan penguasa rasis dan fasis yang lain.
4. Ada agenda tersembunyi lain yang belum disadari oleh POAP dan para pemimpin ialah Jakarta atau Indonesia tahu dan sadar bahwa setelah 5-10 tahun pemimpin POAP akan memimpin di Papua, tapi selanjutnya seluruh pemimpin di provinsi-provinsi boneka 99,9% akan dikuasai oleh orang asing Indonesia. Karena pemekaran provinsi boneka Indonesia adalah misi pendudukan, misi militer, misi migran dan misi ekonomi.
Untuk memenuhi dan mendukung ini, penguasa kolonial modern Indonesia dari waktu ke waktu melakukan Operasi Militer secara sistematis, terstruktur, terprogram, meluas, masif dan koletif dengan mengejar, menangkap, menembak mati, mutilasi, penyingksaan, pengusiran POAP dari kampung halaman mereka. Ada upaya pembersihan terhadap POAP yang dilakukan Negara dalam keadaan sadar.
Penguasa kolonial modern Indonesia sadar dan tahu dan mempunyai perhitungan waktu, bahwa POAP akan musnah dengan pengabaikan pelayanan kesehatan, pendidikan dihancurkan, ekonomi dihancurkan, Tanah sumber pendapatan POAP dirampok, POAP diusir dari kampung halaman dan dibuat tidak punya Tanah dan di atas Tanah yang dikosongkan dibangun pos-pos militer dan kepolisian.
5. Pemerintah Indonesia mengkriminasi para pemimpin Papua dengan kepentingan politik tahun 2024. Ada partai politik tertentu memboncengi atau mengompori KPK untuk mengganggu dan mengkriminalisasi para pemimpin Papua dengan tuduhan korupsi.
Contohnya, pada Rabu, 14 September 2022, saya bertemu dengan gubernur Papua, bapak Lukas Enembe dikediamannya di Koya Timur dan beliau sampaikan kepada saya:
“Pak Yoman, masalah sekarang sudah jelas. Ini bukan masalah hukum, tapi ini masalah politik. Pak Budi Gunawan Kepala BIN dan PDIP menggunakan KPK kriminalisasi saya. Pak Yoman harus tulis artikel supaya semua orang harus tahu kejahatan ini. Lembaga Negara koq bisa menjadi alat partai politik tertentu.”
6. Penguasa Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk menghindar dari tekanan-tekanan internasional yang dimotori United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang berjuang untuk hak politik untuk penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa Papua Barat.
Saya ikuti dengan baik tentang perjuangan Papua Barat Merdeka yang dimotori ULMWP. Sebelum ULMWP didirikan pada 7 Desember 2014 di Port Villa, Vanuatu, yang menyatukan tiga arus utama perjuangan Papua Barat Merdeka, yaitu NRFPB, WPNCL, NPWP, bahwa dulu, OPM ada di PNG, di Vanuatu, di Australia, di Swedia, di Senegal. Keberadaan OPM tidak bisa didukung oleh pemerintah, gereja dan LSM, karena OPM dianggap dan wadah yang indentik dengan kekerasan.
Persoalan Papua mulai dikenal secara luas di komunitas global setelah LSM dan Gereja bersuara dan mengangkat masalah pelanggaran berat HAM yang terjadi di Tanah Papua. Sekarang, yang menjadi kepanikan besar dan kebingungan bagi penguasa Indonesia ialah persoalan Papua dibicarakan ditingkat Negara berdaulat dalam dimensi internasional dan ULMWP diterima secara luas dimana-mana.
7. Untuk memperkuat posisi pendudukan dan penjajahan di Papua, penguasa Indonesia merangkul, membina dan memelihara beberapa dari POAP dan mereka dijadikan “topeng” atau “tameng” untuk meloloskan agenda-agenda Indonesia di Papua. Saya tidak menyebut nama-nama mereka karena dunia ini terbuka, dan tahu siapa-siapa yang dijadikan “boneka” penguasa Indonesia. Orang-orang ini tidak sadar, mereka mendukung dan memperkuat program penguasa Indonesia untuk pemusnahan POAP. Kita melihat sekarang muncul berbicara di TV dimana-mana tentang Papua itu POAP yang diangkat menjadi jurubicara para pembohong, pembunuh dan pencuri. Sayang sekali, POAP dijadikan seperti perwayangan Jawa.
8. Penguasa Indonesia tidak mengijinkan Komisi Tinggi HAM PBB, Wartawan Asing dan Diplomat Asing ke Papua dengan dua alasan, yaitu:
(1) Indonesia berusaha dan berjuang untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, tapi justru terjadi sebaliknya, yaitu ada mutilasi POAP yang mempekuat kejahatan Negara dimata komunitas internasional. Untuk memperbaiki ini menurut saya sangat berat, karena masalah Papua sudah menjadi seperti “luka membusuk dan bernanah.” Jadi, perlu hati yang jujur dan memiliki jiwa kemanusiaan serta rasa keadilan.
(2) Indonesia menghadapi persoalan pelanggaran berat HAM di Papua seperti makan “buah simalakama” yaitu, anak makan buah ini berarti ibu mati dan tidak dimakan buah ini berarti ayahnya mati. Dalam keadaan seperti ini dibutuhkan hikmat, hati yang jujur dan adil.
9. Ada yang harus dipahami untuk seluruh POAP ialah di Papua tidak ada Otsus Jilid II. Tapi, yang benar dan ada ialah Ostus SENTRALISASI kekuasaan. Semua kewenangan diambil di Jakarta untuk pendudukan, penjajahan, penindasan dan pemusnahan POAP lebih terpusat dan terawasi. Adanya Ostus Sentralisasi kekuasaan ini menempatkan POAP dan para pemimpin pemerintah di Papua poweless leaders (para pemimpin tak berdaya). Para pemimpin di Papua ada seperti orang-orang yang kaki dan tangan sudah “dimutilasi” karena semua kewenangan diambil dipusat penguasa pemerintah kolonial Indonesia di Jakarta.
Yang jelas dan pasti: Tidak ada masa depan Penduduk Orang Asli Papua di dalam rumah kolonial Indonesia. Mari, kita sadar, bersatu, berjuang dan melawan kekerasan, ketidakadilan dengan cara-cara bermartabat.
Terima kasih. Selamat membaca. Tuhan memberkati.
<span;>Penulis
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC),
3. Anggota: Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC);
4. Anggota Alliance Baptis Dunia (WBA).
===========
Nomor kontak: 08124888458