Mengapa Saya Tidak Ikut Menyanyi Lagu Indonesia Raya dan Tidak Menghormati Bendera Merah Putih
(Artikel untuk membangun kesadaran dari ketiduran panjang dalam kepalsuan sejarah dan ideologi)
(KARENA, saya TAHU, saya MENGERTI, saya SADAR, saya bukan orang Indonesia, tapi saya orang Lani yang BERDAULAT sejak leluhur, saya bangsa Papua, saya bangsa Melanesia. Saya tidak bisa dipaksa untuk menerima dan hidup dalam sejarah yang palsu, ideologi palsu dan nasionalisme palsu yang dibangun dengan kekejaman dengan moncong senjata dan kebohongan)
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socrates Yoman,MA
Saya tidak percaya apa yang Anda penguasa Indonesia katakan, karena saya tahu apa yang Anda lakukan setiap hari terhadap rakyat dan bangsa saya di atas TANAH leluhur mereka sendiri di Papua Barat dari Sorong-Merauke, Tapi, saya bersahabat demi kemanusiaan dan kesamaan derajat untuk perdamaian, tapi kita masing-masing tetap berbeda ideologi dan nasionalisme.
Sejak dulu 19 Desember 1961 sampai sekarang, di TANAH Papua Barat ini adalah persoalan militer yang berwatak rasisme bukan masalah sipil. Papua dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan kekejaman dan kekerasan moncong senjata untuk tujuan kepentingan merampok atau menjarah Sumber Daya Alam dan memusnahkan Penduduk Orang Asli Papua, maka moncong senjata juga menjadi solusi sampai sekarang dalam tahun 2023 ini, kemungkinan besar tetap berlanjut, karena di Papua Barat adalah kepentingan bisnis militer.
Perampokkan TANAH adat milik POAP hanya untuk memperluas dan mempekuat wilayah pendudukkan, penjajahan, perampokkan, pencurian dan pemusnahan POAP yang sudah mulai terbuka melalui para jenderal perampok, pencuri tambang emas di TANAH Papua Barat.
(1) Jenderal TNI Luhut Binsar Pandjaitan, M.P.A. adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Kabinet Kerja pada Juli 2016 dan dipilih kembali pada masa Kabinet Indonesia Maju pemerintahan Ir. Joko Widodo.
(2) Letnan Jenderal TNI Hinsa Siburian adalah seorang perwira tinggi TNI Angkatan Darat lulusan terbaik Akmil tahun 1986. Sejak 18 Agustus 2015 sampai dengan 25 April 2017 ia menjabat sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih menggantikan Mayjen TNI Fransen G. Siahaan.
(3) Letnan Jenderal TNI Drs. Muhammad Munir adalah seorang pensiunan tentara Indonesia. Terakhir berdinas ia menjabat sebagai Sekjen Wantannas. Munir pernah menjabat sebagai Wakasad pada tahun 2013 hingga 2015. Saat itu dia didapuk sebagai orang nomor dua di TNI-AD menggantikan Letjen TNI Moeldoko yang menjadi KSAD.
(4) Letnan Jenderal TNI Dr. Doni Monardo adalah seorang purnawirawan TNI-AD yang Sekarang Menjabat Sebagai Ketua umum PPAD Sebelumnya ia pernah menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Doni, lulusan Akademi Militer 1985 ini berpengalaman dalam bidang infanteri.
(5) Letnan Jenderal TNI Dr. H. Agus Surya Bakti, M.IKom. adalah seorang Purnawirawan perwira tinggi TNI-AD yang terakhir menjabat sebagai Sesmenko Polhukam. Agus SB, merupakan lulusan Akademi Militer tahun 1984 ini berpengalaman dalam bidang Infanteri.
(6 Komjen. Pol. Drs. Bambang Sunarwibowo, SH, M.Hum. adalah seorang perwira tinggi Polri yang sejak 3 Maret 2020 menjabat sebagai Sekretaris Utama Badan Intelijen Negara. Selain itu beliau juga menjabat Ketua Harian Pengurus Besar Esports Indonesia Bambang, lulusan Akpol 1988 ini berpengalaman dalam bidang intel.
(7) PT IJS milik Tito Karnavian kuasai 18.587,05 hektar lahan sawit di Merauke, izin diteken Bupati Merauke pada HUT Bhayangkara ke-67.28 Oktober 2022.
Mendagri Tito Karnavian yang dikenal sebagai sosok paling radikal dalam memperjuangkan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua, ternyata menguasai tanah di Merauke seluas 18.587,05 hektar yang dijadikan lahan perkebunan Kelapa Sawit.
Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B. Ponto mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (KABAIS) TNI sejak tahun 1996-2014 dan Laksmana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul melalui saluran Iskandar Sitompul Publika-Poscast membongkar rahasia operasi militer dan mitos, stigma dan label yang diproduksi militer Indonesia di Papua Barat.
Laksamana Muda (TNI) Soleman B. Ponto mengatakan:
“Kita (TNI) yang memberi nama KKB, KSB. Sekarang ini, suka-suka memberi nama..”
Ditambahkan di Papua itu “ada hanya nyamuk-nyamuk, pakai semprot baigon bukan pakai senjata. Ada belalang di sana, tidak cocok gunakan baigon.”
Laksamana Muda TNI (Purn) Iskandar Sitompul mengatakan:
“Seperti dulu, kami kasih nama GPK. Saya masih ingat di kepala saya sampai sekarang.”
Ini kejahatan Negara. Ini kejahatan kemamusiaan. Telah menjadi jelas dan terang bagi kami, bahwa Pemerintah Indonesia berniat buruk dengan kami Penduduk Asli Papua, ras Melanesia.
Pembunuhan POAP terus berlangsung karena ada perintah Negara. Perintah itu disampaikan Presiden Republik Indonesia yang dodukung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Perintah itu belum dicabut sampai saat ini. Perintah itu digunakan TNI-Polri di Tanah Papua.
1. Ir. Joko Widodo mengeluarkan perintah Operasi Militer pada 5 Desember 2018 sebagai berikut:
“Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar.” (Detiknews, 5/12/2018).
2. Wakil Presiden (mantan) Haji Jusuf Kalla mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:
“Kasus ini, ya, polisi dan TNI operasi besar-besaran…” (Tribunnews.com, 6/12/2018).
3. Ketua MRP RI Bambang Soesatyo mendukung operasi militer di Papua sebagai berikut; h
“…MPR usul pemerintah tetapkan operasi militer selain perang di Papua”
(Kompas.com, 13/12/2018).
4. Wiranto (Mantan Menkopolhukam) mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:
“Soal KKB di Nduga Papua, kita habisi mereka” (Kompas.com, 12/12/2018).
5. Mahfud MD melabelkan dan menempatkan POAP dengan label teroris. Pernyataan primitifnya Mahfud MD pada 29 April 2021, sebagai berikut:
“Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris.”
Tidak heran, militer dan kepolisian Indonesia diberikan legitimasi Negara untuk operasi militer di Papua dan untuk orang-orang di Papua dikagegorikan sebagai teroris. Karena label teroris, maka mutilasi dan penyiksaan dan pembunuhan POAP dianggap sah, tidak berdosa, tidak bersalah dan pelaku kejahatan dilindungi, ada impunitas dan dihargai sebagai pahlawan.
Pendekatan kekerasan militer tidak pernah berubah dan tidak menyelesaikan akar konflik Papua Barat dan kekerasan militer itu memperpanjang penderitaan dipihak Penduduk orang asli Papua sampai sekarang ini. Karena militer adalah sumber dan penyebab kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengaku sedang menyiapkan satu markas komando daerah militer (kodam) baru di daerah otonomi baru (DOB) Papua. Saat ini, tambah Yudo, pasukan teritorial TNI sedang mencari lokasi untuk dijadikan markas Kodam baru tersebut.
“Iya, nanti akan ada penambahan Kodam. Nanti tempatnya, kita cek dulu tempatnya, yang memungkinkan bisa melingkupi dari empat provinsi yang baru tadi,” kata Yudo usai Rapim TNI yang digelar di Museum Satria Mandala, Jakarta Selatan, Kamis (9/2/2023).
Seperti diketahui, terdapa 4 provinsi baru di Papua. Yudo menyebut langkah terkini TNI adalah menyiapkan satu kodam dulu di antara 4 provinsi baru Papua.
Jenderal (Purn) TNI Prof. Dr. Ir. Drs. H.Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H. S.E., S.I.P., M.B.A., M.A., M.H., lebih dikenal A.M. Hendropriyono adalah salah satu tokoh intelijen dan militer Indonesia pernah mengatakan:
“Kalau dulu ada pemikiran sampai 7 provinsi. Yang diketengahkan selalu syarat-syarat untuk suatu provinsi. Yah, ini bukan syarat suatu provinsi, syarat untuk meredam pemberontakan. Itu. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Bukan begini. Ini masalah keamanan dan masalah politik. Jadi, syarat-syarat administratif seperti itu, ya, nanti kalau sudah aman bikin syarat-syarat administratif. Begitu loh. Tidak sampai dua juta pak. Seluruh Irian, tidak sampai dua juta. Makanya saya bilang, usul ini, bagaimana kalau dua juta ini kita transmigrasikan. Ke mana? Ke Manado. Terus, orang Manado pindahin ke sini. Buat apa? Biarkan dia pisah secara ras sama Papua New Guinea. Jadi, dia tidak merasa orang asing, biar dia merasa orang Indonesia. Keriting Papua itukan artinya rambut keriting. Itu, itukan, istilah sebutulnya pelecehan itu. Rambut keriting, Papua, orang bawah. Kalau Irian itukan cahaya yang menyinari kegelapan, itu Irian diganti Papua…”
Pastor Frans Lieshout memberikan kesaksian tentang pengalaman hidupnya sebagai berikut:
“Pada tanggal 1 Mei 1963 datanglah orang Indonesia. Mereka menimbulkan kesan segerombolan perampok. Tentara yang telah diutus merupakan kelompok yang cukup mengerikan. Seolah-olah di Jakarta mereka begitu saja dipungut dari pinggir jalan. Mungkin benar-benar demikian.”( Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, 2020, hal. 593).
Tulisan Pastor Lieshout diperkuat dengan Sintong Panjaitan membuka boroknya ABRI yang menghancurkan masa depan bangsa Papua Barat dengan merusak Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dalam proses pelaksanaan Pepera 1969) dan dibaca ulasan dibawah.
Jim Elmslie dalam kata pengantar buku alm. Filep S. Karma yang berjudul: “SEAKAN KITORANG SETENGAH BINATANG: RASISME INDONESIA DI TANAH PAPUA” (Karma:2014) sebagai berikut:
“Faktanya, hingga hari ini, orang Papua Barat diperlakukan ‘setengah binatang di seluruh pelosok negeri dari Jayapura hingga Wamena di Pegunungan Tengah” (hal.viii):)
“….bahwa jantung persoalan di Papua Barat adalah RASIALISME. Tak hanya RASIALISME Indonesia, namun juga RASIALISME negara-negara Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengijinkan Penentuan Pendapat Rakyat atau Act of Free Choice pada 1969 hanya 1025 orang. Sekitar 800 ribu warga Papua tak diberikan hak menentukan masa depan mereka” (2014: hal.x).
Diskriminasi rasial dan ketidakadilan serta kekerasan penguasa Indonesia dimulai sejak 1 Mei 1963. Karena itu, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam Surat Gembala pada 26 Juni 2021 memberikan kesimpulan:
“… “akar persoalan konflik Papua dan Negara adalah Rasisme sebagai “jantung” dan “nada dasar “yang menjadi landasan terjadinya kekerasan dan penindasan terhadap orang Papua oleh negara.”
Dalam bukunya, alm. Filep Karma mengabadikan:
“Saya dengar dari A. Rumpaisum, tete saya. Ia menjadi anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) dan dikarantina di asrama STM Dok VII Tanjung. Setiap hari dia didoktrin dan diawasi gerak-geriknya. Waktu Pepera 1969 dilaksanakan, tete saya diancam, kalau memilih opsi Papua Merdeka, maka mulutnya akan disobek dan kekuarganya akan dibunuh” (2014:3).
Terlihat dalam dokumen militer Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radiogram MEN/PANGAD No: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, Perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan Darat maupun dari lain angkatan.
Berpegang teguh pada pedoman, referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR.
“Pada 14 Juli 1969, Pepera dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir.” ( Laporan Resmi PBB, Annex 1, Paragraph 189-200).
Pada masa Kodam dipimpin oleh Brigjen R. Kartidjo (1965 – 23 Maret 1966), dilaksanakan ‘Operasi Sadar’ yang bertugas melakukan kegiatan intelijen, menyadarkan para kepala suku, dan melakukan penangkapan terhadap para pemimpin OPM (Organisasi Papua Merdeka) serta menangkap orang-orang Papua yang menolak integrasi dengan Indonesia.
Kemudian, ketika Brigjen R. Bintoro ditunjuk sebagai Pangdam (23 Maret 1966-25 Juni 1968), memimpin ‘Operasi Bratayudha’ yang melakukan operasi untuk menghancurkan aktivitas OPM yang dipimpin Ferry Awom di Manokwari dan menguasai wilayah Papua Barat secara keseluruhan. Pangdam berikutnya, Brigjen Sarwo Edhi Wibowo, memimpin tugas ‘Operasi Sadar’ yang bertujuan menghabisi sisa-sisa OPM, merangkul orang-orang Papua untuk memenangkan Pepera 1969, dan melakukan konsolidasi kekuasaan pemerintah Indonesia di seluruh wilayah (Raweyai, 2002:33-34).
Adapun surat rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Komando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan Pepera di Merauke. Inti dari isi surat rahasia tersebut adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai Ketua Dewan Musyawarah Daerah dan Muspida akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk menggabungkan Papua dengan Republik Indonesia.” (Dutch National Newspaper, NRC Handelsbald, March 4, 2000).
Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja ‘sendiri, sendiri’. Untuk menangani ini, tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan mereka ke dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh Lunn, salah seorang wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang Indonesia sementara dia mengambil foto demonstrasi orang Papua. (Dr. John Saltford. Irian Jaya: United Nations Involment with The Act of Self-Determination in West Papua (Indonesia West Niew Guinea) 1968-1969, Mengutip Laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, 21 Agustus 1999).
Sintong Panjaitan, pimpinan Tim Irian Barat Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang tiba di Manokwari pada 6 Januari 1967 dalam operasi territorial untuk memenangkan PEPERA 1969 dalam bukunya “Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando” memberikan bukti-bukti keterlibatan langsung aparat keamanan Indonesia memenangkan PEPERA 1969 dengan istilah Operasi Teritorial, Operasi Tempur, Pembinaan dan Pembentukan DMP. DMP singkatan dari Dewan Musyawarah PEPERA bentukan ABRI (kini: TNI).
Anggota DMP adalah orang-orang yang dipilih oleh ABRI dan Pemerintah dan diawasi ketat dibawah intimidasi, teror dan ancaman pembunuhan hanya untuk menggabungkan Papua Barat secara paksa ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia dengan PEPERA 1969 yang cacat moral, hukum dan tidak demokratis. Para pembaca ikuti kutipan-kutipan di bawah ini.
Di Jayapura Panglima Kodam XVII/Tjenderawasih Brigjen TNI Sarwo Edhie, memikul tanggungjawab sangat besar atas keberhasilan PEPERA dalam pelaksanaan Pepera, Sarwo Edhi diangkat sebagai Ketua Proyek Pelaksana Daerah.Tugasnya mengendalikan, mengerahkan dan melakukan koordinasi seluruh kegiatan aparat pemerintah daerah, sipil dan swasta, serta seluruh unsur ABRI di Irian Barat. Di Jayapura Brigjen Sarwo Edhi kepada penulis mengemukakan, Kalau Pepera gagal, kegagalan itu terletak di pundak saya. Sebaliknya kalau nanti PEPERA berhasil, akan banyak pihak yang mengaku bahwa keberhasilan itu hasil jerih payah mereka. ( 2009: 169).
Kodam XVII/Tjenderawasih melancarkan Operasi Wibawa dengan mengerahkan pasukan organic setempat dan pasukan yang didatangkan dari luar Irian Barat, termasuk Kopasgat (Pasukan Gerak Tjepat AURI) , Brimob serta satu Karsayudha dengan kekuatan seluruhnya sebanyak 5.220 orang. Operasi Wibawa bertujuan mengamankan Pepera, menghancurkan pemberontak OPM di bawah pimpinan Ferry Awom, serta menumbuhkan dan memelihara kewibawaan pemerintah. (2009:hal. 169).
Tujuh bulan sebelum pelaksanaan PEPERA, satu Karsayudha dengan nama Karsayudha Wibawa, di bawah pimpinan Kapten Feisal Tanjung dibawah perintah-kan (B/P) Pandang XVII/Tjenderawasih ditugaskan di Irian Barat untuk memenangkan PEPERA. Karsayudha Wibawa yang bermarkas di Jayapura, berkekuatan tiga Prayudha. Prayudha 1 di bawah pimpinan Lettu Saparwadi, AMN angkatan 64, ditempatkan di Kabupaten Sorong. Lettu Kuntara memimpin Prayudha 2 di Kabupaten Biak. Prayudha 4 di bawah pimpinan Lettu Wismoyo Arismunandar ditempatkan di Kabupaten Merauke. Lettu Sintong Panjaitan memimpin Prayudha 3 berkekuatan 26 orang di bawah perintah (B/P) Komandan Korem 171/Manokwari selaku Komandan Operasi Wibawa 1 di Kabupaten Manokwari. Ia dibantu oleh Sujudi yang berpangkat calon perwira (capa) sebagai wakil komandan. (2009:169-170).
“Sintong sebagai perwira yang ikut dalam diskusi tentang PEPERA di Jayapura, mengatakan bahwa secara langsung atau tidak lamgsung antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Irian Barat, terdapat semacam kontrak politik. Kapten Feisal Tanjung, Komandan Karsayudha Wibawa berpendapat, jika rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Republik Indonesia, terdapat dua janji yang harus dipenuhi.
Pertama, keadaan Irian Barat akan lebih baik dan dibangun setara dengan propinsi di Indonesia lainnya dengan jalan peningkatan pembangunan.
Kedua, aspirasi penduduk Irian Barat selalu dilindungi baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya maupun agama, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
ABRI tampil seperti Iblis yang menggodai Tuhan Yesus di padang gurun supaya batu menjadi roti dan Iblis meminta Tuhan Yesus menyembah Iblis supaya dikasih kekayaan dunia. Tetapi, semua omong kosong ini terbukti dengan kekejaman dan kejahatan bangsa Indonesia selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961. LIPI atau BRIN telah menyatakan bahwa ada pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara.
Di Merauke, pada 14 Juli 1969, Jenderal TNI (Purn.) Amir Machmud kelahiran Cimahi, Bandung, Jawa Barat, 21 Februari 1923, orang pertama yang menanamkan bibit kebohongan atau penipuan kata “KESEJAHTERAAN Palsu” kepada rakyat dan bangsa Papua melalui peserta Pepera 1969 yang diseleksi dan diawasi ABRI, kini TNI.
Kebohongan atau penipuan dengan kata “Kesejahteraan Palsu” itu diabadikan dalam laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz, diplomat dari Bolivia yang mewakili Sekretaris Jenderal PBB, Maha Thray Sithu U.Thant, sebagai berikut:
“Menteri Dalam Negeri Indonesia (Jenderal TNI-Purn, Amir Machmud) menyatakan: pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk KESEJAHTERAAN rakyat Papua Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia.”
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 18, p. 2).
“Pada dasarnya Karsayudha 3 di Kabupaten Manokwari bertugas memenangkan Pepera, mencegah para pegawai negeri, pemuda pelajar dan penduduk masuk hutan. (hal. 178). Menurut Sintong, salah satu faktor yang sangat penting untuk memenagkan Pepera, ialah dengan jalan pembinaan terhadap penduduknya lewat operasi territorial. (hal. 182). Di keempat KPS itu, Prayudha 3 menugaskan anggotanya untuk melakukan pembinaan para calon DMP. Pembinaan di setiap KPS dilakukan oleh tiga orang Sandiyudha. Mereka terdiri dari para prajurit Sandiyudha yang telah memiliki banyak pengalaman tempur.” (2009: hal.183).
“Pada tanggal 30 Maret Sintong didampingi oleh Sertu Salam menghadiri rapat pembentukan DMP Persiapan yang dipimpin oleh S.D. Kawab, Bupti Manokwari, di kantor kabupaten. Rapat membicarakan pembentukan DMP Manokwari yang akan diputuskan berdasarkan konsultasi dengan Pemerintah Pusat yang diwakili oleh Soedjarwo Tjondronegoro SH dari Departemen Luar Negeri RI. Sebelum rapat dimulai, para anggota DPRD yang akan berbicara dalam rapat telah melakukan latihan sebanyak empat kali, dengan disaksikan oleh anggota Prayudha 3 sebagai Pembina. Rapat tetap menolak dilaksanakannya kebebasan memilih secara one man one vote.
Kemudian dibentuklah Panitia Persiapan Pembentukan DMP yang kemudian disingkat menjadi Panitia 9 dengan ketua S.D. Kawab. Prayudha 3 mendapat tugas membantu Panitia 9 untuk bertindak sebagai pengaman dan penghubung antara para Pembina di daerah-daerah dengan Panitia 9. Disebabkan kerja Panitia 9 kurang lancar hingga Prayudha 3 yang melakukan pekerjaan itu. Hasilnya diserahkan kepada Panitia 9″. (2009: hal.183-184).
Para anggota DMP dikumpulkan di kota Manokwari dengan disertai dua orang Pembina, masing-masing Letda Renwaren, seorang Perwira Rochani Katolik, dan Serta Abdul Hamid. (hal. 184). Dalam pelaksanaan Pepera di kabupaten Manokwari, Sintong bertindak sebagai koordinator intelijen dan mengawasi anggota DMP bernama Rumajom yang diperkirakan akan melakukan tindakan negatif. Capa Suyudi, Wadan Prayudha 3 bertindak sebagai Komandan Sektor A di dalam ruang sidang, sedangkan Letda Monthe sebagai Komandan Sektor B.
Sementara itu Prayudha 3 mendapat tugas mengerahkan massa sebanyak 5.000 orang untuk menghadiri sidang. Sersan Kepala Simon dibantu oleh tiga orang bertugas mengerakkan massa dari daerah pedalaman dan Sertu Wagimin beserta tiga orang lainnya menggerakkan masa dari daerah pantai. Pengerahan massa menjadi tanggungjawab Prayudha 3 mulai dari pengangkutan sampai ke tempat sidang. (2009:hal. 185). Puncak keberhasilan Prayudha 3 adalah berperan serta sangat besar dalam menyukseskan Pepera”. (hal. 186).
Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan mengakui:
“seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi-operasi Tempur, Teritorial dan Wibawa sebelum dan paska pelaksanaan PEPERA dari Tahun 1965-1969, maka saya yakin PEPERA 1969 di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Pro Papua Mereka.”
Sintong Panjaitan mengakui perlawanan dari pemuda dan mahasiswa: Pada tanggal 19 Juni, 30 orang pelajar yang akan melakukan demonstrasi, dapat ditangkap dari tingkat pimpinan sampai tingkat bawah. Pimpinan mereka seorang mahasiswa Universitas Tjenderawasih. Dalam sidang terjadi demonstrasi kecil oleh 17 anak sekolah yang membuat kegaduhan, tetapi mereka segera ditangkap dan di bawah ke Posko Prayudha 3. (2009:hal. 185).
Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
Yang jelas dan pasti, telah diketahui bahwa hasil PEPERA 1969 itu menuai hujan kritik dan protes yang keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Karena, hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional , maka dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat.
Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Itu terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat: 156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral. (Sumber: Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).
Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat. yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke.
Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Jenderal.”
Contoh: kami dapat bertanya:
1. Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
2. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
3. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
4. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
5. Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
6. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
7. Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa, hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
8. Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkumpul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?
Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever menggambarkan sebagai berikut:
Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua (hal. 784).
Prof. J.P. Drooglever memberikan bukti kebenaran sejarah keterlibatan militer Indonesia dalam memenangkan PEPERA 1969. Dengan kedatangan Ortiz Sanz pada bulan Agustus 1968, di pihak Indonesia dilakukan persiapan-persiapan untuk memperkuat jangkauan terhadap wilayah itu. Tugas ini dipercayakan kepada Sarwo Edhie, orang kepercayaan Soeharto. Menurut kata-katanya sendiri, ia pada waktu itu memiliki tidak lebih daripada 6.000 orang pasukan. Dalam bulan-bulan pertama tahun 1969 kekuatan itu menurut menteri Amir Machmud ditingkatkan menjadi 10.000 orang, sementara kekuatan ini pada waktu Kegiatan Pemilihan Bebas menurut pemberitaan Malik sudah ditingkatkan menjadi 16.000 orang. Itu sangat cukup untuk mengendalikan kekacauan yang mungkin. (2010:711).
Drooglever mengemukakan: Mengintegrasikan orang-orang Papua ke dalam Negara Indonesia tetap menjadi masalah. Kesempatan bagi orang Papua untuk maju sangat terbatas. Penduduk Papua adalah kelompok yang paling miskin di Indonesia. Integrasi mental dan organisasional ke dalam Negara Indonesia tidak tercapai. Satu hal yang pasti adalah: Indonesia tidak berhasil memenangkan hati orang-orang Papua. Dalam pada itu kesadaran nasional orang-orang Papua meningkat dengan tajam. Dengan disiplin mereka sendiri, para tokoh Papua dalam organisasi gereja maupun di masyarakat mampu mengelola keadaan ini sehingga kerusuhan dapat dicegah, bahkan mampu membawa suara orang Papua untuk didengar oleh pemerintah Indonesia dan dunia melalui cara yang terhormat namun tegas. (2010:hal.786-787).
Dari fakta-fakta kekejaman dan kejahatan ini, Amiruddin menggambarkan ini dengan sangat tepat dan indah, sebagai berikut:
“Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan satu sikap yang khas di Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggota ABRI yang menjadi repesentasi Indonesia bertahun-tahun di Papua. …Orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI.” (Sumber: Heboh Papua: Perang Rahasia, Trauma Dan Seperatisme: 2020: 43).
Indonesia sebaiknya menyelesaikan luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia yaitu 4 pokok akar masalah Papua. Terlihat bahwa Pemerintah dan TNI-Polri bekerja keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI ) dan sekarang Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008). Empat akar persoalan sebagai berikut:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
“Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua” (Sumber: Franz Magnis:Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015: 255).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
“Meminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”
“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”
“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”
Doa dan harapan saya, para pembaca mendapat pencerahan.
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Waa…..Waa…..Kinaonak!
Ita Wakhu Purom, Sabtu 17 Juni 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
===========
Kontak: 08124888458 (WA)
08128888712 (HP)