Mimbar Gereja-gereja di Tanah Papua Harus Mendukung Dalam Doa Bagi Pejuang Papua Barat Merdeka dan Yang Mendukung NKRI
Membuka Mata, Hati, Pikiran Para Pemimpin Gereja, Pendeta dan Gembala
“Doa harus adil dan berimbang untuk semua umat Tuhan. Karena Pejuang Papua Barat Merdeka dan Pejuang NKRI harga mati adalah sama-sama umat TUHAN. Mereka semua adalah anak-anak Tuhan hanya yang berbeda dalam ideologi. Gereja harus jaga kemanusiaan dan kesamaan derajat mereka dan berdoa, gembalakan dan lindungi mereka semua.”
Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman,MA
“Saya tidak percaya apa yang Anda (penguasa Indonesia) katakan, sebab saya melihat apa yang Anda lakukan setiap hari di atas tanah leluhurku tidak seperti Anda katakan dan tulis di atas kertas.” (Gembala Dr. Socratez S.Yoman). Ita Wakhu Purom, Selasa, 5 November 2019.
“…setiap dusta harus dilawan. Menang atau kalah. Lebih-lebih dusta yang mengandung penindasan. Tulis semua yang kautahu mengenai bangsamu Tulisan bisa menjadi senjata.” (Mayon Soetrisno: Arus Pusaran Soekarno: Roman Zaman Pergerakan, 2001, 203, 392, )
Pada 11 Oktober 2022, saya tiba di Kepala Burung (Sorong). Pada 12 Oktober 2022, saya sampaikan dalam ibadah itu, bahwa:
“Saya datang di Sorong ini dari jantung Papua, yaitu Wamena. Hari ini, saya berdiri di Kepalanya Papua ini, atau otaknya Papua. Kalau jantungnya Papua berhenti, maka Papua lumpuh dan mati, dan juga kalau otaknya Papua tidak bekerja dengan normal, maka Papua ikut lumpuh dan mati.”
“Oleh karena itu, dari atas Kepala Burung, Tanah leluhur kami Penduduk Orang Asli Papua (POAP), saya menyerukan:
“MIMBAR GEREJA-GEREJA DI TANAH PAPUA HARUS MENDUKUNG DALAM DOA BAGI PEJUANG PAPUA BARAT MERDEKA DAN JUGA YANG MENDUKUNG NKRI.”
Pada 19 Oktober 2022, dari Tanah leluhur kami, Tanah Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dihadapan para undangan, jemaat dan peserta Konferensi Misi ke-4 Gereja Injili di Indonesia (GIDI), saya menyerukan:
“MIMBAR GEREJA-GEREJA DI TANAH PAPUA HARUS MENDUKUNG DALAM DOA BAGI PEJUANG PAPUA BARAT MERDEKA DAN JUGA YANG MENDUKUNG NKRI.”
Pada 28 Oktober 2022 di Abenaho-Pass Valey, Yalimo, pada saat ibadah Hari Injil ke-59 Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP), saya menyerukan:
“MIMBAR GEREJA-GEREJA DI TANAH PAPUA HARUS MENDUKUNG DALAM DOA BAGI PEJUANG PAPUA BARAT MERDEKA DAN JUGA YANG MENDUKUNG NKRI.”
Seruan sebagai pertanggungjawaban suara profetis, pastotal dan moral dan keilmuan saya ini merupakan sebuah terobosan baru untuk membuka mata, pikiran dan hati para pemimpin gereja, para pendeta dan para gembala yang selama ini hidup dalam penjara ketakutan dan kelumpuhan dan kepalsuan dalam melihat persoalan-persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan yang dihadapi warga gereja.
Seruan profetis, pastoral, dan moral ini sangat beralasan. Karena, Tuhan Allah tidak melarang Papua Merdeka. Alkitab tidak melarang Papua Merdeka. Gereja tidak melarang Papua Merdeka. Yang dilarang Tuhan, Alkitab, dan Gereja ialah jangan membunuh dan jangan mencuri” ( Keluaran 20:13, 15).
Dan juga, para pemimpin gereja, pendeta dan gembala diberikan tugas dan tanggungjawab untuk menggembalakan umat Tuhan. “Gembalakalah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-20).
“Dan juga, doa harus adil dan berimbang dari mimbar gereja untuk semua umat Tuhan. Karena Pejuang Papua Barat Merdeka dan Pejuang NKRI harga mati adalah sama-sama umat TUHAN. Mereka semua adalah anak-anak Tuhan hanya yang berbeda dalam ideologi. Gereja harus jaga kemanusiaan dan kesamaan derajat mereka dan berdoa, gembalakan dan lindungi mereka semua.”
Dari mimbar gereja-gereja di Papua harus akhiri rasisme, fasisme, mutilasi, kriminalisasi, politisasi, stigmatisasi, militerisme, ketidakadilan, pelanggaran berat HAM, genocide, marginaliasi.
Saya sudah mempelajari dan menyelidiki selama 23 tahun sejak 1999 tentang sejarah penggabungan wilayah Papua ke dalam Indonesia. Fakta sejarah yang saya pelajari dan kesimpulannya ialah Papua Bukan Bagian dari Wilayah Indonesia.
Saya berbicara di sini dalam kapasitas saya sebagai berikut:
(1) Saya pemilik sah Tanah leluhur Papua Barat;
(2) Saya sudah SEKOLAH dan sudah belajar masalah-masalah yang dihadapi rakyat dan bangsa saya, termasuk sejarah palsu penggabungan Papua ke dalam Indonesia. Artinya saya sudah TAHU dan MENGERTI apa yang terjadi atas rakyat dan bangsa saya.
(3) Saya pemimpin Gereja yang harus menyatakan yang benar dan memperbaiki yang salah dan tidak memelihara kejahatan dan kekerasan negara.
Saya mau sampaikan para pembaca, bahwa Perjanjian New York 15 Agustus 1962, Perjanjian Roma 30 September 1962, Tanggal 1 Mei 1963, Pepera 1969 dan Otonomi Khusus 2001 adalah sejarah kolonial bangsa Indonesia yang berwatak rasialis yang berkultur militeristik. Artinya, semua proses politik ini bukan sejarah rakyat dan bangsa West Papua, itu semua sejarah kolonial Indonesia.
Gereja-gereja di Papua sepertinya tidak menterjemahkan maksud dan tujuan Yesus Kristus untuk umat Tuhan di Tanah Papua. Gereja-gereja membisu dari mimbar-mimbar dan tidak mendoakan TPN-PB, KNPB, ULMWP.
Dari mimbar-mimbar mengutuk TPN-PB, KNPB, dan ULMWP, tapi dari tempat atau mimbar yang sama mendoakan TNI-POLRI dan Pemerintah Indonesia yang melakukan kejahatan kemanusiaan atau pelanggaran HAM berat. Dari mimbar-mimbar Gereja tidak pernah mengutuk Negara, TNI-Polri yang memproduksi mitos-mitos, stigma, label: separatis, makar, opm,kkb, dan teroris yang merendahkan dan menghina martabat kemanusiaan orang-orang asli Papua.
Dari mimbar-mimbar gereja tidak protes akar kekerasan dan sejarah konflik di Papua seperti: rasisme, fasisme, militerisme, kolonialisme, kapitalisme, ketidakadilan, pelanggaran berat HAM, pemusnahan etnis Papua, perampasan Tanah dan sumber daya alam di Tanah Papua.
Dalam doa dari mimbar-mimbar gereja tidak pernah mendoakan para pejuang keadilan, perdamaian dan hak politik rakyat dan bangsa Papua. Tapi, lebih rajin berdoa untuk pemerintah dari pusat sampai di kampung-kampung. Gereja-gereja di Tanah Papua melestarikan, merawat dan memelihara pendudukan, penjajahan, perbudakan, kejahatan, kekerasan dilakukan Negara.
Ada Gereja-gereja yang lebih ekstrim memvonis TPN-PB, KNPB, ULMWP sebagai pergerakan Iblis yang melawan pemerintah Indonesia sebagai wakil Allah (Roma 13:1-7).
Gereja-gereja tidak sadar, bahwa penguasa Indonesia, TNI-Polri membunuh dan mutilasi orang asli Papua dengan alasan melawan Negara. Perlakuan penguasa Indonesia, TNI dan Polri ini perilaku jahat. Karena Alkitab mengatakan jangan membunuh (Keluaran 20:13).
Ada beberapa pertanyaan kepada para pemimpin gereja, para pendeta dan gembala, sebagai berikut:
1. Apakah para pemimpin gereja, para pendeta dan gembala setuju dengan umat Tuhan dimutilasi, ditembak mati, ditangkap, dipenjarakan, disiksa dan dimusnahkan label dan stigma separatis, makar, opm, kkb, dan teroris?
2. Mengapa para pemimpin gereja, para pendeta dan para gembala takut dan tidak pernah berdoa Papua Barat merdeka di mimbar-mimbar gereja?
3. Mengapa para pemimpin gereja, para pendeta dan para gembala setia berdoa NKRI tapi takut dan tidak pernah berdoa Papua Barat merdeka di mimbar-mimbar gereja?
4. Apakah warga gereja yang pro Merdeka itu bukan bagian dari anggota gereja sebagai tubuh Kristus sehingga perjuangan mereka tidak pernah didoakan di mimbar-mimbar gereja?
Para pemimpin gereja, para pendeta dan para gembala harus sadar dan bangkit untuk berdoa Papua Barat Merdeka dan juga NKRI di mimbar-mimbar gereja. Karena, dalam gereja ada dua kelompok pro NKRI dan juga pro Papua Barat merdeka. Pro Papua Barat Merdeka sudah lama diabaikan dari mimbar-mimbar gereja selama 59 tahun sejak 1 Mei 1963 sampai sekarang. Kesan kuat dari fakta ini, bahwa para pemimpin gereja, para pendeta dan para gembala memelihara kekerasan dan kejahatan Negara yang dialami umat Tuhan, khusus Penduduk Orang Asli Papua (POAP) di atas Tanah Papua leluhur mereka.
KESIMPULAN:
Para pemimpin gereja, para pendeta dan para gembala di Tanah Papua sudah lama dilumpuhkan oleh negara supaya dari mimbar-mimbar memusuhi umat Tuhan yang pro-Papua Barat Merdeka dan mendukung umat Tuhan yang pro NKRI. Gereja-gereja di Tanah telah menjadi kaki dan tangan penguasa NKRI. Gereja-gereja di Tanah Papua tidak melihat, memelihara, merawat dan menggembalakan umat Tuhan secara tidak utuh yang pro Merdeka dan Pro NKRI. Kesan kuat selama ini, bahwa gereja-gereja di Tanah Papua mendukung penguasa Indonesia yang memusuhi umat Tuhan yang berjuang Papua Barat Merdeka.
Keadaan para pemimpin gereja, para pendera dan para gembala seperti ini, kita lihat dari trias teologi, yaitu: (1)Teologi Negara; (2) Teologi Gereja Negara; (3) Teologi Profetis. Gereja-gereja di Tanah Papua dikuasai dan didominasi oleh Teologi Negara dan Teologi Gereja Negara, sehingga Teologi Profetis belum banyak yang berperan untuk berdiri dalam memelihara umat Tuhan yang pro-M dan pro-NKRI.
Doa dan harapan saya, artikel pendek ini mengubah dan memperbaiki cara pandang dan juga cara tafsir teologi para pemimpin gereja, pendeta dan gembala.
Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.
Ita Wakhu Purom, 25 Oktober 2022
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3 Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
NO WA: 08128888712;
No HP: 08124888458