Otsus dan DOB Boneka Bukan Solusi Akar Konflik Papua Barat Tetapi ‘Blunder’ Bagi Indonesia
Membangun Perspektif/Kesadaran
(Otsus dan DOB boneka adalah Indonesia menciptakan masalah baru dan memperbesar luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia)
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Pendahuluan ini, saya kutip Pepatah Belanda yang kerap diucapkan alm. Prof. Dr. Jacob Elfinus Sahetapy biasa disapa Prof. JE Sahetapy dalam setiap debat di forum-forum Hukum yang disiarkan TV, sebagai berikut:
MESKIPUN kebohongan itu lari secepat kilat, satu waktu kebenaran itu akan mengalahkannya”.
Apa artinya kata blunder? Kata blunder artinya Kesalahan ceroboh.
• Terjadi tanpa pikir panjang atau adanya pertimbangan matang.
• Pelakunya biasa merasa diri paling benar meski sebenarnya salah.
• Terjadi akibat kecerobohan dan kelalaian sendiri, biasanya tidak disengaja.
• Sangat merugikan diri sendiri, bangsanya secara politik dan timnya kalau dalam sepakbola dan anggotanya kalau dalam kesatuan aparat keamanan.
Jadi, yang saya maksudkan Otsus dan DOB Boneka Indonesia adalah BLUNDER dan sudah menjadi masalah baru bagi Indonesia di TANAH Papua Barat seperti luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia, yaitu:
TANAH menjadi masalah, karena bagi Penduduk Orang Asli Papua (POAP) TANAH adalah MAMA/IBU. Tanah sebagai kekayaan dan warisan sangat berharga dalam hidup penduduk orang asli Papua . Tanah sebagai sumber hidup POAP . Tanah sebagai Mama POAP. Tanah sebagai roh POAP. Tanah sebagai investasi dan modal hidup anak dan cucu POAP. TANAH tabungan masa depan anak dan cucu POAP. Karena itu, tidak ada alasan untuk jual tanah atau serahkan tanah kepada siapapun, alasan apapun dan kepentingan apapun.
Jadi, kalau menjual tanah berarti kita menyerahkan dan mengantungkan hidup kita di tangan orang-orang pendatang. Menjual tanah betarti kita menanam kemiskinan dan kemelaratan seumur hidup. Menjual tanah berarti kita menghancurkan masa depan anak dan cucu kami. Menjual tanah berarti kita membunuh masa depan anak dan cucu kami.
Indonesia berpenduduk 273 juta dan bangsa Papua Barat hanya 1.5 juta.
Pada saatnya POAP sudah minoritas dari TANAH leluhur mereka maka perhatian dan tekanan internasional kepada penguasa kolonial Indonesia, maka akan masuk dalam kriteria pemusnahan penduduk asli secara sistematis, masif, terstruktur, meluas dan kolektif yang dilakukan negara.
Menurut saya, keprihatinan komunitas internasional terhadap POAP akan terjadi karena instrumen internasional menjamin seperti yang dijelaskan dalam buku: “Internasional Human Rights In Context Law Politic Morals” karya Henry J. Steiner & Philip Alston: 2000:103).
“….Minoritas became a matter of formal internasional concern”.
Indonesianya: “..Minoritas menjadi perhatian formal internasional”.
Dalam artikel saya pada 22 Juni 2023 dengan topik : “OTSUS DAN DOB BONEKA BUKAN SOLUSI AKAR KONFLIK PAPUA BARAT” saya sampaikan keprihatinan saya seperti dikutip kembali ini.
“Saya merenungkan, mencermati, menganalisa dan mengamati serta menilai, DOB boneka Indonesia ini, menurut saya sangat kejam dan paling berbahaya bagi Penduduk Orang Asli Papua. Pengamatan saya tentang DOB boneka Indonesia ini saya gambarkan sebagai seperti berikut ini”.
(1) DOB boneka Indonesia seperti ular-ular piton besar sedang kelaparan yang siap menelan POAP.
(2) DOB boneka Indonesia seperti harimau-harimau liar, ganas dan jahat sedang kelaparan yang siap menerkam POAP.
(3) DOB boneka Indonesia seperti buaya-buaya darat yang sangat liar sedang kelaparan untuk menelan POAP.
(4) DOB boneka Indonesia seperti singa-singa jahat dan kejam sedang kelaparan untuk menerkam POAP.
(5) DOB boneka Indonesia seperti macan tutul yang ganas sedang kelaparan menerkam POAP.
(6) DOB boneka Indonesia seperti musibah bencana besar yang menimpa
POAP.
(8) DOB boneka Indonesia seperti ranjau yang ditanam dan sewaktu-waktu meledak dan menghancurkan POAP.
(9) DOB boneka Indonesia seperti anjing kurap yang tidak pernah puas dengan apa yang dimakannya dan selalu merampok hak anjing-anjing lain”.
Bertalian dengan nomor dua ini, para pekerja kemanusiaan, pekerja gereja dan orang-orang yang peduli dengan keberlangsungan POAP bekerja keras untuk melakukan riset dan pendataan bukti-bukti pemusnahan etnis POAP dari aspek kesehatan, ekonomi, pendidikan dan perampokkan TANAH dan pengusiran POAP dari TANAH asal mereka.
Ini sebenarnya jerat yang dipasang penguasa Indonesia sendiri. Alih-Alih mau menekan POAP dengan DOB bonekanya, justru menjadi blunder bagi Indonesia sendiri.
Ini masih berkaitan dengan bagian nomor 2, bahwa pada saat rekrutmen Penerimaan Pegawai Negeri Sipil, para Sarjana POAP tentu saja banyak tersingkir atau tergusur dalam kompetisi, bukan karena kalah kualitas, sekali lagi, bukan karena kalah kualitas, tapi karena alasan-alasan sebagai berikut:
(1) sistem dipegang dan dikendalikan oleh penguasa kolonial modern Indonesia;
(2) rasisme adalah akar kuat kehidupan bangsa Indonesia,
(3) dan dalam memenuhi misi politik dan pemusnahan POAP, sehingga tidak ada kompromi dengan penduduk minoritas, walaupun pemilik sah TANAH Papua Barat.
Kalau dalam keadaan sangat terdesak seperti ini, apakah POAP harus tunduk, mengalah dan menyerah?
Jawabannya: TIDAK.
Tidak ada alasan untuk menyerah (give up), tapi harus membangun dan memajukan diri banyak belajar, membaca buku untuk inovasi dan kreativitas dengan mengembangkan talenta, ilmu pengetahuan dan ketrampilan (skills) untuk meraih setiap peluang yang ada.
Otonomi Khusus lahir karena rakyat dan bangsa West Papua menuntut hak politik untuk merdeka sebagai berdaulat keluar dari Indonesia. Atau win win solution antara rakyat Papua dan Pemerintah RI yang didukung Pemerintah Uni Eropa dan Amerika & Negara-Negara asing lainnya).
Apakah Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 adalah pemberian cuma-cuma dari penguasa Indonesia?
Apakah Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 itu turun sendiri dari langit?
Negara jangan abaikan dan kaburkan latar belakang lahirnya Undang-undang Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001.
Pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 1998, seluruh rakyat dan bangsa West Papua merapatkan barisan dan membangun kekuatan bersama dan menuntut kemerdekaan bangsa West Papua dengan cara damai da bermartabat dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua. Banyak korban rakyat berjatuhan di tangan TNI-Polri dan juga anggota TNI/Polri menjadi korban dalam konflik.
(1) DELEGASI TIM 100
Delegasi Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa West Papua pertemuan dengan Prof. Dr. B.J. Habibie di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999.
“….dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi.”
Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua , maka;
(1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
(2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
(2) MUSYAWARAH BESAR (MUBES) 23-26 Februari 2000.
Dari 7 butir keputusan peserta MUBES, pada butir 4 dinyatakan:
“Bahwa kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961.”
(3) KONGRES NASIONAL II RAKYAT DAN BANGSA PAPUA BARAT Rakyat, 26 Mei – 4 Juni 2000
Kongres yang dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, Abdulrrahman Wahid ini diputuskan beberapa butir keputusan politik sebagai berikut:
(1) Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961.
(2) Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.
(3) Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil pepera, karena dilaksanakan dibawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969.
(4) Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
(5) Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan Internasional.
(6) PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
Para pembaca yang mulia dan terhormat. Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 tidak turun sendiri dari langit. Otonomi Khusus 2001 lahir karena ada tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat penuh secara politik di atas TANAH leluhur kami.
Menjadi jelas dan terang latar belakang lahir Otonomi Khusus melalui proses dari Tim 100, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres II Nasional rakyat dan bangsa Papua Barat pada 26 Mei-4 Juni 2000, yaitu rakyat dan bangsa Papua Barat menyatakan berhak atas kemerdekaan dan kedaulatan pada 1
Desember 1961.
Saya mengutip apa yang digambarkan oleh Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Akar konflik masalah Papua sudah menjadi luka MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia itu sudah berhasil dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang sudah diubah menjadi Badan Ruset Inovasi Nasional (BRIN) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai hasil dari kebijakan RASISME dan KETIDAKADILAN sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Penguasa Pemerintah Republik Indonesia jangan menghindar dan menyembunyikan latar belakang lahirnya Otsus dan 4 pokok masalah Papua Barat yang ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kini BRIN.
Ini sejarah singkat dan latar belakang lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001.
Yang jelas dan pasti: Otsus adalah alat win win solution antara Papua Merdeka dengan Pemerintah Indonesia untuk melindugi (protection), pengakuan (recognition), kebepihakan (affirmative action), pemberdayaan (empowering), tetapi, sayang, pemerintah Indonesia gagal total melaksanakan ini semua.
Selamat Membaca. Semoga berguna dan ada pencerahan. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 27 Juni 2023
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua
(WPCC).
(3) Anggota: Konferensi Gereja-Gereja Pasifik (PCC).
(4). Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Editor: Redaksi