Papua Adalah “Kangker Ganas, Tumor Kronis, Batu Kerikil, Duri, Luka Membusuk dan Bernanah” di dalam Tubuh Bangsa Indonesia
(Ibu Megawati Sukarno Putri, menghina dan merendahkan martabat Orang Asli Papua yang berwatak RASIS yang mengatakan John Wempy Wetipo “kopi susu.” Ini menusuk dengan “pisau” ke dalam luka lama yang semakin membusuk dan bernanah)
Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA
“Papua adalah LUKA MEMBUSUK di tubuh bangsa Indonesia…(Prof. Dr. Franz Magnis).
“Papua tetaplah LUKA BERNANAH di Indonesia.” (Pastor Frans Lieshout,OFM).
Tindakan diskriminasi rasial dengan cara barbar dan lalim dari penguasa Indonesia yang menggunakan aparat keamanan TNI-Angkatan Udara terhadap seorang sipil bisu yang bernama Steven Yadohamang pada 27 Juli 2021 di Merauke. Steven ditangkap, dibanting di Tanah, badan ditindis dan kepala diinjak sepatu. Kasus hampir sama yang menimpa orang kulit hitam di Amerika George Floyd yang tindis lehernya oleh polisi kulit putih pada 25 Mei 2020 di Amerika Serikat.
Tindakan biadab dan diskriminadi rasial yang dilakukan aparat TNI-Angkatan Udara di Merauke terhadap orang bisu Steven Yadohamang adalah peristiwa atau kejadian pengulangan saja karena rantai-rantai diskriminasi rasial ini belum diputuskan. Sebaliknya, penguasa Indonesia dan aparat keamanan TNI-Polri memelihara dan menyuburkan diskriminasi rasial.
Bukti lain ialah kasus diskriminasi rasial dilakukan oleh kepolisian Indonesia terhadap Obby Kogoya pada Jumat, 13 Juli 2016 di Asrama Kemasan Yogyakarta. Obby dikejar, ditangkap, dibanting di tanah, ditendang, dipukuli dan kedua hidung Obby ditarik oleh kedua jari seorang anggota polisi dan tangan Obby diborgol.
Peristiwa rasisme lain terjadi pada 16 Agustus 2019 terhadap mahasiswa asal Papua di Asrama Surabaya. Orang-orang Indonesia dan aparat keamanan Indonesia menghina dan merendahkan martabat kemanusiaan mahasiswa Papua dengan kata-kata ‘monyet.’ Hinaan dan ancaman itu seperti: “Keluar! Keluar!, ‘Bunuh Papua! Bunuh Papua!”
Perlakuan rasisme yang dialami tokoh nasional asal Papua, Natalis Pigai yang digandengkan dan disejajarkan dengan gambar Monyet yang sudah viral di media sosial, tapi negara dan aparat keamanan membisu dan diam.
Ada fakta lain, ujaran rasisme terhadap “pahlawan nasional ???????????” Frans Kaisiepo dalam mata uang Rp 10.000. Nurazisah Asril dalam akunya melontarkan ujaran kebencian dan rasismenya:
“Saya tidak setuju dengan gambar uang baru yang mukanya menyerupai monyet!!! Bukannya memasang wajah pahlawan malah memasang wajah seperti itu.”
Ujaran RASISME yang dilandasi kebencian ini yang sudah menjadi viral secara sistematis, meluas dan masif, tetapi para penguasa dan aparat keamanan membiarkannya dengan membisu dan diam.
Ada yang lebih kejam lagi ialah seorang pejabat publik, Menteri Sosial ( Mensos ) Tri Rismaharini sangat merendahkan dan menghinakan orang asli Papua, pada 13 Juli 2021.
“Sekarang saya enggak mau lihat seperti ini, kalau saya lihat lagi, saya pindahkan ke Papua, saya enggak bisa mecat kalau enggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua sana teman-teman.”
Pernyataan Risma yang rasis ini kemudian dikomentari banyak orang. Salah satunya budayawan Sudjiwo Tedjo karena dianggap merendahkan Papua. Sentilan Tedjo ini dicuitkan dalam akun Twitternya @SudjiwoTedjo.
“Maaf, Bu Risma, bila berita ini benar, apakah Bu Risma tidak sedang merendahkan Papua?,” demikian tulis Sudjiwo Tedjo pendek saja di akun Twitternya.
Paling kejam lagi ialah Ibu Megawati Sukarno Putri, menghina dan merendahkan martabat Orang Asli Papua yang berwatak RASIS yang mengatakan John Wempy Wetipo “kopi susu.” Ini menusuk dengan “pisau” ke dalam luka lama yang semakin membusuk dan bernanah.
Yang paling tidak bermoral dan tidak manusiawi dari Jenderal TNI Prof. Dr. Abdullah Mahmud Hendropriyono, S.T., S.H., M.H atau sering disebut A.M. Hendropriyono menghina dan merendahkan Orang Asli Papua, bahwa;
“….pindahkan saja dua juta orang asli Papua ke Manado dan orang-orang Manado dipindahkan ke Papua, supaya dengan sendirinya hilang…”
Yang berwatak barbar dan kejam serta rasis juga datang dari Jenderal TNI Luhut Binsar Pandjaitan, M.P.A. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia Kabinet Kerja dan Kabinet Indonesia Maju, pernah menghina Orang Asli Papua;
“Pergi saja ke Melanesia sana, jangan tinggal di Indonesia.”
Perilaku diskriminasi rasial atau rasisme dari waktu ke waktu, berada pada posisi Status Quo (tidak pernah berubah) seperti ini benar-benar melengkapi dan menyempurnakan kekejaman dan kebiadaban penguasa kolonial modern Indonesia Indonesia yang menduduki dan menjajah terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat.
Kebrutalan dan kelaliman penguasa Indonesia ini juga mengungkapkan dan menyempurnakan bahwa akar konflik atau akar masalah Papua ialah DISKRIMINASI RASIAL/RASISME, FASISME, MILITERISME, KAPITALISME, KOLONIALISME, KETIDAKADILAN, DAN PELANGGARAN BERAT HAM SELAMA 58 TAHUN SEJAK 1 MEI 1963-SEKARANG
Masalahnya sudah seperti kanker kronis atau tumor ganas, seperti pembekuan “pembulu darah” dan LUKA MEMBUSUK dan LUKA BERNANAH, batu kerikil, dan duri di dalam tubuh bangsa Indonesia, maka pisau bedahnya bukan pisau Otsus Jilid II dan pemekaran provinsi baru. Pisau bedah yang tepat dan relevan dan cocok ialah jalan perundingan damai antara Indonesia dan ULMWP.
Pendekatan pembangunan di Papua dari awal sudah salah dan tidak benar, yaitu sejak 1 Mei 1963, penguasa kolonial modern Indonesia memproduksi mitos, stigma dan label negatif terhadap rakyat dan bangsa Papua Barat atau orang asli Papua (OAP). Mitos, label dan stigma seperti: separatis, makar, opm, kkb, teroris. Semua mitos, stigma dan label ini diciptakan sebagai topeng, tameng dan wayang untuk melindungi, menjaga, memelihara dan menyembunyikan kanker atau tumor ganas yang menjadi akar konflik atau akar masalah Papua sebagai mesin-mesin penjajahan dan pembunuhan serta pemusnahan orang asli Papua.
Kanker atau tumor ganas yang menjadi akar konflik sebagai mesin-mesin pembunuh orang asli Papua selama ini disembunyikan. Penyakit kanker atau tumor ganas ini telah belangsung lama 58 tahun sejak 1 Mei 1963, maka sudah merusak dan menghancurkan “pembulu darah” sehingga terjadi pembekuan yang menyembabkan penyumbatan saluran-saluran darah, maka konsekwensi logisnya ialah di dalam tubuh bangsa Indonesia dan Papua telah menjadi LUKA MEMBUSUK dan LUKA BERNANAH.
Untuk melancarkan dan menyembuhkan pembekuan dan penyumbatan pembulu darah yang telah menjadi penyakit kanker atau tumor ganas selama 58 tahun ini, TUHAN telah menghadirkan orang-orang hebat untuk mencari jalan damai dan terhormat dengan menganalisa dan diagnosa penyakit kronis yang menyebabkan tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung di era modern dan berperadaban tinggi saat ini.
Ada orang-orang hebat yang merupakan “anugerah” atau “pemberian” TUHAN untuk bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat di era ini, yaitu alm. Dr. Muridan Satrio Widjojo, Ibu Dr. Adriana Elisabeth, Prof. Dr. Cahyo Pamungkas, Suma Riella, Rusdiarti, telah menemukan penyakit kanker atau tumor ganas yang menyebabkan penyumbatan dan pembekuan pembulu darah dan menimbulkan LUKA MEMBUSUK & LUKA BERNANAH dalam tubuh bangsa Indonesia.
Dari perspektif iman penulis, TUHAN sudah berbicara kepada penguasa kolonial modern Indonesia melalui orang-orang hebat ini dengan menunjukkan empat akar persoalan Papua sebagai akar konflik yang perlu diselesaikan antara pemerintah Indonesia dan rakyat Papua. Yang diselidiki dan dipetakkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yaitu empat akar persoalan, sekarang didukung oleh Dewan Gereja Papua (WPCC) supaya Indonesia dengan ULMWP duduk dan menyelesaikan empat akar konflik ini dengan jalan damai dan bermartabat yang dimediasi pihak ketiga yang netral, seperti Indonesia sudah buktikan GAM dijadikan mitra dialog pada 15 Agustus 2015 di Helsinki.
Empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Karena penguasa kolonial modern Indonesia berusaha menghindar dan menghilangkan dengan berbagai bentuk dan siasat dari hasil penelitian LIPI, namun, yang terjadi situasi terbalik, yaitu akar konflik Papua dan mesin-mesin pembunuh yang disembunyikan selama 58 tahun dengan moncong senjata dan stigma, mitos dan label: separatis, makar, opm, kkb, teroris, ini semua muncul ke permukaan.
Penguasa kolonial modern Indonesia dan aparat TNI-Polri melakukan kekeliruan dan kesalahan berulang-ulang. Bangsa ini tidak pernah sadar kesalahannya. Bangsa ini juga tidak pernah belajar dari kesalahannya, tapi ia bangun di atas landasan yang keliru dan salah. Artinya Pepera 1969 sudah tidak demokratis dan dimenangkan oleh ABRI (kini: TNI). Otsus Papua tahun 2001 dilaksanakan dengan paksa dan membunuh Theodorus Hiyo Eluay dan menghilangkan sopirnya Aristoteles Masoka pada 10 November 2001 dan Otsus jilid II dimenangkan oleh pemerintah, TNI-Polri disahkan pada 15 Juli 2021 tanpa melihatkan dab mendengarkan rakyat dan bangsa Papua.
Jadi, keberadaan Pepera 1969, Otsus Tahun 2001 dan Otsus jilid II 2021 bahwa tidak ada legitimasi politik dan moral dari rakyat dan bangsa Papua. Penguasa Indonesia berada di Papua tanpa restu orang asli Papua, maka semua yang dilakukan penguasa Indonesia ialah ilegal dan liar. Terbukti bahwa kehidupan orang asli Papua selama 58 tahun sudah tidak normal dibandingkan dengan masa jaman pemerintahan Belanda, semuanya teratur dan ada kemajuan-kemajuan luar biasa dalam kehidupan rakyat dan bangsa Papua. Fakta sejarah bahwa Belanda sukses atau berhasil membangun orang asli Papua dan sebaliknya penguasa Indonesia menghancurkan, memiskinkan, dan memusnahkan orang asli Papua.
Melihat fakta dan realitas yang kejam, brutal dan tidak sehat seperti ini, Theo van den Broek menyatakan: “Masa depan orang Papua terlihat sangat suram.” ( Sumber: Tuntut Martabat, Orang Papua Dihukum: 2020: 52
Yang jelas dan pasti, rakyat dan bangsa Indonesia, rakyat dan bangsa Papua Barat dan komunitas internasional mulai mengetahui dan mengerti bahwa akar konflik sebagai penyakit kanker dan tumor ganas yang membunuh dan memusnahkan orang asli Papua dari Tanah leluhur mereka ialah DISKRIMINASI RASIAL atau RASISME; FASISME; MILITERISME; KAPITALISME; KOLONIALISME;KETIDAKADILAN; dan PELANGGARAN BERAT HAM.
Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
Sedangkan Pastor Frans Lieshout, OFM, mengatakan:
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat pencerahan.
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Waa…..Waa…..Kinaonak Nowe Nawot.
Ita Wakhu Purom, 25 Agustus 2022
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja Baptis West Papua;
2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC)
3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
4. Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).