Pastor Izak Bame: DOB Mare Hadir Membawa Kesejahteraan Bukan Penyakit Baru

SORONG, PAPUASPIRITNEWS.com-Pemerintah Pusat melalui Komisi II DPR RI pada 20 Maret 2023, telah menetujui 17 DOB di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya itu berdasarkan data intelejen bukan aspirasi masyarakat arus bawah untuk daerah otonomi tersebut.
“Tentu, kebijakan pemerintah untuk memperpendek renta kendali pembangunan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut. Tetapi dari kita didaerah salah melihatnya, kalau ada pemekaran, saya akan dapat jabatan itu dan ini. Karena pandangannya bahwa selama masih di kabupaten tertentu kita tidak dapat jabatan”,ujar Pastor Izak Bame, Pr kepada media ini Sabtu, (25/3/2023).
Hanya menjadi kendala di kita menurut Pastor Izak Bame, itu persoalan penduduk. Wilayah Mare secara riil belum mencapai 3000 jiwa. Daftar Pemilihan Tetap (DPT) pada pemilu 2019 itu dua juta sembilan ratusan lebih pemilih tetapi itu ditambah orang kita yang ada di Sorong, Jayapura, Timika dan lainya.
“Hal itu, bukan hanya terjadi di Mare tetapi di Kabupaten Tambrauw dan lainnya”,terangnya.
Menurut Pastor Izak Bame yang juga ketua Komisi Kerawam Keuskupan Manokwari Sorong ini bahwa DOB yang diperjuangkan katanya harga diri. Itu belum tentu ada kesejahteraan diterima masyarakat, yang ada hanyalah masalah.
“Dari sisi jangkauan, mare ke Ayamaru dan ke Kumurkek tidak sampe satu jam”,akuinya.
Untuk itu, dirinya berharap sebelum kabupaten Mare ada, sebaiknya semua elemen di mare bersatu untuk menyiapkan diri karena tujuan dari DOB di tanah Papua tetapi juga Politik Identitas, dan demarginalisasi. Meskipun demikian, proses ”pengawalan” terhadap manifestasi politik identitas di era DOB ini tetap perlu dilakukan untuk menghindari konflik.
“Saya melihat bahwa pembentukan DOB di tanah Papua berada dalam spektrum antara harapan dan polemik. Di satu sisi ada harapan bahwa DOB dapat mempercepat pembangunan dan pemerataan di tanah Papua. Selain itu, melalui DOB ada harapan bahwa sudah saatnya orang asli Papua (OAP) memegang kendali kepemimpinan di tanahnya sendiri serta upaya mempercepat pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Papua”,katanya.
Ia mengatakan situasi konflik yang masih terjadi di Papua akan menyulitkan upaya pemekaran wilayah atau DOB, meski pemerintah sudah membuat Undang-undang Nomor 2 tahun 2021 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua.
“Ada unsur ketergesaan di sini. yang diperhatikan pemerintah itu hanya pembangunan. Pembangunan itu bukan satu-satunya masalah. Ada masalah lain yang saling berkait, itu yang tidak pernah direspons secara terbuka.
Hadir DOB fokus kepada kegiatan pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat. Fokus pada pembangunan secara nyata, bukan narasi ataupun slogan politik.”pintanya.
Ditambahkan pastor Izak Bame keputusan soal pemekaran DOB ini dilakukan secara tidak transparan. Hal itu, kata dia, bisa memicu konflik lainnya, terutama yang berkaitan dengan masyarakat adat.
Papua memiliki tujuh wilayah adat. kalau pembagian wilayah itu tidak dilakukan secara jelas dan transparan, akan terjadi kesalahpahaman di masyarakat yang berujung pada konflik horisontal.
“Pihak akademisi dan pemerintah dalam panitia pemekaran ini sama sekali tidak ada transparansi dengan masyarakat adat dan itu akan terjadi. Kalau sudah terjadi maka orang akan bertahan di wilayahnya masing-masing dan saya pikir segala sesuatu akan berujung pada demo dan orang-orang akan ribut,” katanya.
Menurutnya, sejumlah pemekaran wilayah di tanah Papua terkesan dipaksakan, meskipun sebenarnya baik untuk dilakukan. Tetapi Daerah Otonomi Baru yang sudah berjalan belasan tahun, bukan menyelesaikan masalah melaingkan menghadirkan persoalan baru, penyakit baru,”ucap Izak
Dia menduga, pemekaran wilayah di Papua dilakukan untuk memudahkan investor masuk untuk mengelola sumber daya alam Papua yang keuntungannya bakal diambil oleh pemerintah pusat, bukan untuk membangun manusia Papua.
“Pemekaran ini hanya untuk memenuhi cita-cita pemerintah pusat untuk melunasi utang mereka. Utang ini kan hanya bisa dibayar dengan sumber daya alam di Papua.”
Sesuai hasil penelitian LIPI menemukan ada empat akar masalah utama yang menjadi permasalahan di Papua, yaitu soal marjinalisasi dan diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, kegagalan pembangunan, dan perdebatan soal sejarah politik.
“Itu (percepatan pembangunan) bisa dilakukan kalau masyarakat sudah berdaya, mereka bisa memanfaatkan infrastruktur, bisa mengembangkan potensinya, mereka bisa terlibat dalam kegiatan ekonomi, jadi SDM-nya sudah berkualitas. Kenyataannya kan tidak seperti itu. Belum semua seperti itu,”pungkasnya. [ES]