Pelangggaran HAM Berat di Tanah Papua Barat tidak Bisa Ditutupi dengan Skenario Kriminalisasi & Radikalisasi Sistematis dan Masif
(Mama/Ibuku TANAH Papua, jangan menangis, saya sudah SEKOLAH. Ilmu ini untukmu. Usia ini untukmu. Tenaga ini untukmu. Waktu ini untumu. Saya dengan setia tetap menulis tentang penderitaanmu. Saya TAHU, pada suatu hari nanti Mamaku tersenyum tulus dan indah dari lubuk hatimu yang sedang terluka ini. Tidak selamanya mendung meliputi hati. Ada waktunya Mamaku akan melihat matahari bersinar terang. Kekerasan dan kebohongan tidak pernah berumur panjang)
( Ada dua fase kekerasan Negara di Papua Barat, yaitu fase pelanggaran HAM berat dan fase skenario kriminalisasi dan radikalisasi sistimatis dan masif. Fase kekerasan Negara yang menyebabkan pelanggaran berat HAMÂ sejak 19 Desember 1961 sampai 2018 dan Fase skenario Kriminalisasi dan Radikalisasi sistematis dan masif 2018-2023 sekarang)
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman
“Bukan tidak mungkin dan jarang terjadi jika berbagai kerusuhan di berbagai daerah terlepas dari aktor intelektual dari Jakarta. Sangat mungkin kerusuhan ini didesain dari Jakarta dengan berbagai tujuan…..Ini tidak terlepas dari kepentingan elit di Jakarta” (Sumber: A.C. Manulang mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara-BAKIN, Indopos, Minggu, 04 November 2012).
1. Latar belakang fase Kriminalisasi dan Radikalisasi
PENYEBAB atau ALASAN skenario terjadinya fase kriminalisasi dan radikalisasi sistematis dan masif di Tanah Papua Barat dari Sorong-Merauke yang saya amati, nilai dan ikuti di Tanah sebagai berikut.
Terbentuknya wadah tunggal, rumah, perahu dan honai bersama perjuangan politik Penentuan Nasib Sendiri rakyat dan bangsa Papua Barat, yaitu United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Port Villa, Vanuatu pada 7 Desember 2014.
Kegagalan TOTAL pemerintah Indonesia karena tidak melaksanakan Otonomi Khusus Papua nomor 21 Tahun 2001 dengan konsisten & bertanggungjawab. Kesepakatan win win solution antara Indonesia dan Papua Barat meliputi:
(1) Recognition (pengakuan)
(2) Protection (perlindungan)
(3) Empowering (penguatan)
(4) Affirmation Action (keberpihakan).
Semua yang disahkan undang-undang Negara Republik Indonesia menjadi janji-janji manis dan janji-janji kosong di atas kertas dan penderitaan, tetesan dan cucuran darah dan air mata terus terjadi di Tanah Papua Barat.
Pada Juli 2015 di Honiara Solomon Islands (Kepulauan Solomon)Â ULMWP diterima sebagai Observer di MSG.
PM Solomon Islands (Kepulauan Solomon) dan PM Tonga mengangkat persoalan Papua Barat dalam Sidang Umum PBB yang berlangsung pada 29 September sampai 3 Oktober 2016.
Negara-Negara Anggota Kepulauan Pasifik (PIF) mengeluarkan komunike tentang masalah Papua Barat di Yaren, Nauru pada 3-6 September 2018, dan di Tuvalu pada 13-16 Agustus 2019.
Pada 1 Maret 2017 di PBB, Genewa, Swiss, tujuh Negara Pasifik Vanuatu, Tonga, Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall, Nauru dan Kepulauan Solomon mendesak pemerintah Indonesia menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Papua Barat.
Negara-negara anggota Uni Eropa mengangkat masalah kekerasan negara yang menyebabkan pelanggaran HAM di Papua Barat. Termasuk kegagalan Otonomi Khusus di Tanah Papua Barat.
Dalam Sidang PBB dari 84 Negara anggota PBB mendesak pemerintah Indonesia membuka akses dan mengijinkan Komisaris Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua Barat.
Anggota Parlemen dan House of Lord Inggris terus meneruskan menyuarakan dan mendesak pemerintah Indonesia untuk mengijinkan Komisaris Tinggi HAM PBB untuk berkunjung ke Papua Barat.
Gereja-gereja dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM/NGO) dari komunitas internasional mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka akses untuk Komisi Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua Barat.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) menemukan 4 akar konflik Papua Barat dan Negara atau Pemerintah didesak menyelesaian 4 akar konflik yang sudah dirumuskan LIPI.
Benny Wenda Ketua UMLWP mendeklarasikan Pemerintahan Sementara Papua Barat di Oxford, Inggris pada 1 Desember 2020 dan diliput media-media internasional secara masif dan meluas.
2. Mengapa negara-negara anggota PBB menekan dan medesak Indonesia?
Jawaban pertanyaan ini ialah jejak-jejak kekerasan dan kejahatan Negara yang disoroti PBB yang tidak menjadi rahasia umum ialah sebagai berikut:
1. Biak Berdarah pada 6 Juli 1998;
2. Abepura (Abe) berdarah pada 7 Desember 2000.
3. Wasior berdarah pada 13 Juni 2001.
4. Kasus Theodorus (Theys) Hiyo Eluay dan Aristoteles Masoka pada 10 November 2001.
5. Wamena berdarah pada 4 April 2003.
6. Kasus Musa (Mako) Tabuni 14 Juni 2012.
7. Kasus Paniai berdah pada 8 Desember 2014.
8. Kasus Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 November 2020.
9. Kasus empat warga sipil ditemukan tewas ditemukan dengan kondisi tubuh tidak lengkap atau korban mutilasi di Mimika, Papua Barat pada Jumat 26 Agustus 2022. Mereka adalah Arnold Lokbere (AL), Irian Nirigi (IN), Lemaniol Nirigi (LN), dan Atis Tini (AT) diketahui berasal dari Kabupaten Nduga, Papua Barat.
10. Masih banyak pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang.
2. Analisa data Intelijen atau umumkan ke publik data Setingan/Scenario para aktor?
Pada 29 Desember 2022, Kapolda Papua Irjen Pol Mathius D. Fakhiri mengumumkan 6 wilayah kabupaten yang dinyatakan daerah berponsi konflik. Enam kabupaten yang dimaksud adalah Kabupaten Nduga, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang di Papua Pegunungan, serta Kabupaten Puncak, Puncak Jaya, dan Intan Jaya di Papua Barat.
Kekerasan Negara di Papua Barat adalah wajah krisis moral bangsa Indonesia, krisis kemanusiaan, krisis keadilan, krisis nilai kebenaran dan tragedi kemanusiaan terlama yang berjalan telanjang sejak tahun 19 Desember 1961 sampai sekarang.
Ada beberapa skenario kriminalisasi dan radikalisasi di Tanah Papua Barat yang dinilai secara kritis.Â
Peristiwa pembakaran Pesawat Susi Air Pilatus Porter PC6/PK-BVY dan menahan Capt. Pilot Philip Mahrthens pada 7 Februari 2013 di Distrik Paro-Ndugama yang dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) membakar Pesawat MAF PK-MAX di piloti Capt. Alex Luferchek berkebangsaan Amerika pada 6 Januari 2020 di Bandara Kampung Pagamba, Distrik Biandaga-Intan Jaya, Papua Barat. Pesawat yang dibakar TPNPB itu ada dua orang penumpang.
Ada juga peristiwa penembakan yang menyebabkan kematian Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha pada 25 April 2020 di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua Barat sampai saat ini masih misteri siapa penembak sang Jenderal ini. Negara menuduh pelakunya ialah pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Ada peristiwa hampir sama penyerangan pos TNI di kampung Kisor Distrik Aifat Selatan kabupaten Maybrat, Papua Barat. Penyerangan pada Kamis 21 September 2021 yang menewaskan empat anggota TNI AD. Keempat anggota TNI AD yang ditemukan meninggal dunia tersebut masing-masing Serda Amrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari, dan Lettu Chb Dirman.
Ada penembakan terhadap tenaga kesehatan Suster Gabriella Meilan (22)di Distrik Kiwirok-Pegunungan Bintang, Papua Barat pada 13 September 2021 dan anggota TNI Prada Beryl Kholif Al Rahman ditembak mati pada 29 Juni 2022.
Ada juga penembakan terjadi di Dekai, Yahukimo, Papua Barat pada 13 Maret 2023. Komandan Kodim atau Dandim 1715/ Yahukimo, Letkol Inf J.V. Tethool menjadi satu dari lima anggota TNI yang ditembak. Akibat penembakan ini ada 4 prajurit TNI tertembak, salah satunya yakni Pratu Lukas Worambai meninggal dunia,” dan tiga prajurit lainnya yakni, Sertu roby, Pratu Niko dan Pratu Jakonias terluka”.
Pada 15 April 2023 di Kabupaten Nduga, Papua Barat, ada penembakan keempat prajurit TNI dan meninggal dunia adalah Prajurit Satu (Pratu) Miftahul Arifin, Pratu Ibrahim, Pratu Kurniawan, Prajurit Dua (Prada) Sukra. Keempat prajurit ini berasal dari Satuan Tugas Batalion Infanteri (Yonif) Raider 321/Galuh Taruna Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat.
Ada masih banyak benang merah kekerasan Kriminalisasi dan Radikalisasi sistematis dan masif yang sedang terjadi di seluruh TANAH Papua Barat.
Dari benang kekerasan kriminalisasi dan radikalisasi ini, timbul pertanyaan kunci yang saya ajukan dalam tulisan ini.
Pertanyaan ini saya sampaikan tanpa saya mengurangi rasa hormat dari saya kepada pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang berdiri kokoh dan gigih berjuang untuk hak penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa Papua Barat.
Pertanyaan kunci dari saya sebagai berikut:
Apakah benar semua kekerasan, kriminalisasi dan radikalisasi ini dibuat oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-TPNPB?
Apakah kriminalisasi dan radikalisasi ini adalah skenario negara sebagai bentuk kepanikan karena adanya desakan dan tekanan anggota PBB untuk kunjungan Komisaris Tinggi HAM PBB ke Papua Barat?
Apakah kriminalisasi dan radikalisasi ini adalah skenario negara untuk menutupi pelanggaran berat HAM yang dalakukan negara sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang ini (2023?)
Apakah kriminalisasi dan radikalisasi ini adalah usaha negara sebagai bahan atau materi kampanye di Sidang PBB untuk menutupi seluruh pelanggaran berat HAM yang dilakukan Negara selama ini?
Empat pertanyaan kunci ini, kita bandingkan dengan kutipan komentar ini:
“Bukan tidak mungkin dan jarang terjadi jika berbagai kerusuhan di berbagai daerah terlepas dari aktor intelektual dari Jakarta. Sangat mungkin kerusuhan ini didesain dari Jakarta dengan berbagai tujuan…..Ini tidak terlepas dari kepentingan elit di Jakarta” (Sumber: A.C. Manulang mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara-BAKIN, Indopos, Minggu, 04 November 2012).
Seirama dengan A.C. Manulang, (Alm.) DR. George Junus Aditjondro menyatakan sebagai berikut:
“…Jadi yang menghidupkan OPM juga tentara. Sekali lagi, maksudnya adalah biar ada uang operasi yang bos-bos atau jenderal-jenderalnya bisa makan. Kalau yang prajurit-prajurit, makannya cukup hasil tukar burung kuning. Yang bos-bos, makan jutaan duit operasi. Kalau tidak ada situasi genting, maka tidak akan keluar uang dari Negara….Salah satu problem yang sering menghantui rakyat Papua, yaitu ‘OPM bayaran’ atau ciptaan aparat. OPM bayangan bentukan ini tidak segera dihilangkan, maka keberadaan Papua sebagai bagian terpadu dari Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terus dipermasalahkan atau digugat…” (George, 2000:174,175).
Empat pertanyaan kunci yang saya ajukan ini sangat mengganggu pikiran dan hati nurani saya selama ini. Pasalnya, mengingat banyak peristiwa krisis kemanusiaan dan ketidakadilan di Tanah Papua Barat yang berkepanjangan dan juga banyak korban nyawa manusia dari pihak rakyat sipil POAP, saudara-saudara Pendatang dan juga anggota TNI-Kepolisian.
Kita semua bisa tahu siapa pelaku sesungguhnya secara adil, benar, jujur dan transparan apabila peristiwa penembakan Jenderal Gusti Putu Puncak, penembakan 4 anggota TNI di Maybrat Pembakaran Pesawat di Intan Jaya, Pembakaran Pesawat di Nduga diinvestigasi oleh Tim independen yang kredibel.Â
Selama ini rakyat Papua, rakyat Indonesia dan komunitas internasional mengkonsumsi informasi yang disebarkan dari satu pihak yaitu dari pihak pemerintah, TNI dan Polri.
Kalau diteliti secara cermat seluruh kekerasan dan kejahatan kriminalisasi dan radikalisasiv ini sepertinya kanker kejahatan “by design” seperti yang dikatakan A.C. Manulang untuk beberapa tujuan seperti yang sebagai berikut:
Upaya sistematis untuk pengusiran Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dari Tanah leluhur supaya Tanah yang dikosongkan itu diambil oleh kaum Kapitalis atau kaum pemodal untuk operasi kapitaliame dalam pertambangan emas dan minyak. Kaum kapitalis dan pemodal pasti dilindungi oleh militer dan kepolisian dengan alasan perusahaan aset fital negara.
Tanah dikosongkan oleh POAP itu dibangun markas militer dan kepolisian yang lebih luas pembangunan Kodam-Kodam dan Polda dengan alasan wilayah tidak aman dan untuk melindungi rakyat.
Wilayah atau kampung-kampung yang dikosongkan itu didatangkan penduduk dari Indonesia untuk menduduki dan menempati kampung-kampung yang sudah kosong. Dengan jelas dan pasti TNI dan Polri menjadi penjaga dan pelindung orang-orang pendatang itu.
Kekerasan kriminalisasi dan radikalisasi ini juga bertujuan untuk memberikan label ‘teroris” kepada Penduduk Orang Asli Papua (POAP), terutama kepada para pejuang keadilan, hak politik, kesamaan derajat, martabat kemanusiaan dan perdamaian.
Kekerasan radikalisasi dan kriminalisasi ini juga mempunyai tujuan untuk menutupi kekerasan dan lejahatan Negara selama ini yang menyebabkan pelanggaran HAM berat yang sudah menjadi persoalan kemanusiaan dan ketidakadilan di forum-forum internasional dan termasuk dalam forum PBB. Penguasa Indonesia berusaha mencuci tangan dengan menghilangkan kekerasan Negara dan dituduhkan kepada Pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).
Kekerasan dan kejahatanÂ
kriminalisasi dan radikalisasi ini bagian integral yang tak terpisahkan dari pemusnahan etnis Penduduk Orang Asli Papua secara sistematis, terstruktur, terpogram, terpadu, masif dan kolektif yang dilakukan Negara.
Akhirnya, disimpulkan, bahwa solusi militer tentang persoalan Papua selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang ini belum pernah menyelesaikan akar persoalan Papua, tapi sebaliknya, memperpanjang kekerasan dan kejahatan Negara yang mengakibatkan penderitaan Penduduk Orang Asli Papua.
Semua penindasan, penjajahan dan kejahatan negara, kriminalisasi dan radikalisasi yang berbasis rasisme ini harus kita akhiri. Mari, kita bersama-bersama dalam posisi kita masing-masing MENULIS dan MENULIS untuk suarakan, bahwa masalah kejahatan kemanusiaan, marjinalisasi, diskriminasi, ketidakadilan dan rasisme yang terjadi sebelum dan selama ini harus diselesaikan. Untuk penyelesaian semua persoalan di Papua ada empat pokok akar konflik yang sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI: sekarang Badan Riset Inovasi Nasional -BRIN) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Doa dan harapan penulis, para pembaca mendapat pencerahan.Â
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Waa…..Waa…..Kinaonak Nowe Nawot.
Ita Wakhu Purom, Rabu, 21 Juni 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Editor: Redaksi