Pendeta Socrates Yoman berpidato di APPG West Papua di Parlemen Inggris

SORONG, PAPUASPIRITNEWS.COM-Pendeta Socrates Yoman, Presiden Gereja Baptis West Papua, menyampaikan pidato di hadapan anggota parlemen hari ini (24 Maret 2025) dalam pertemuan dengan APPG West Papua di Parlemen Inggris.
Pendeta Yoman adalah seorang pemimpin agama, akademisi, penulis, aktivis, dan anggota Dewan Gereja West Papua (WPCC) yang sangat dihormati. Ia telah lama menjadi kritikus vokal pendudukan Indonesia, dan akibatnya dua bukunya dilarang di Indonesia.
Berikut adalah versi pidato yang disampaikan Pendeta Yoman kepada anggota parlemen dan dewan bangsawan.
Para hadirin yang terhormat, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Terima kasih telah mengundang saya pada kesempatan emas ini untuk berdiri dan berada di sini mewakili Dewan Gereja West Papua atas nama masyarakat adat saya di West Papua.
Saya menyampaikan salam hangat dari masyarakat adat West Papua.
Pada waktu yang berharga ini, saya ingin menarik perhatian Anda terhadap tantangan nyata rakyat saya atas warisan mereka sendiri, Tanah West Papua.
Faktanya, rakyat saya telah menjalani kehidupan yang panjang penuh penderitaan dan kemiskinan tanpa pengakuan, perlindungan, dan tindakan afirmatif yang layak dari dunia, lebih khusus lagi dari para penguasa Indonesia yang menduduki, menindas, dan menjajah penduduk asli West Papua.
Maka atas nama masyarakat adat West Papua saya ingin menyatakan fakta bahwa West Papua memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah, seperti gas, minyak, emas, dan hutan. Namun, untuk kehidupan sehari-hari, kami orang Papua adalah yang termiskin di dunia.
Pertanyaannya: Siapakah yang memperoleh manfaat dan keuntungan dari semua sumber daya alam yang melimpah ini?
Terdapat kesenjangan yang begitu besar antara kehidupan penduduk asli West Papua dan kehidupan para migran Indonesia di West Papua secara ekonomi, pendidikan, kesehatan, politik, budaya dan sejarah.
Kehidupan masyarakat saya saat ini jelas-jelas terkait dengan marginalisasi, kemiskinan yang pada akhirnya mengarah pada kemiskinan yang sangat parah dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak.
Lebih jauh, kehidupan masyarakat adat di West Papua berarti terpinggirkan di atas tanah warisan mereka sendiri, lumpuh, dan menghadapi proses degeneratif yang sistematis, luas, dan kolektif yang dilakukan oleh penguasa Indonesia.
Pihak berwenang Indonesia sebagai pengambil kebijakan melakukan kejahatan ekologi yang dahsyat, dan merusak seluruh kehidupan kita, harta benda kita, hutan kita, meracuni air kita, perampasan tanah untuk perkebunan kelapa sawit atas nama pembangunan nasional.
Sementara itu, taraf hidup penduduk asli West Papua secara ekonomi, pendidikan, medis, politik rata-rata 95% berada pada kemiskinan yang sangat parah.
Perusakan lingkungan adalah faktor lain yang kita hadapi setiap hari di West Papua. West Papua digambarkan sebagai paru-paru dan Negara Hijau dunia. Namun, saat ini sedang dihancurkan dan dirusak oleh otoritas Indonesia atas nama pembangunan nasional.
Misalnya, situasi terkini di Merauke yang merupakan Proyek Strategis Nasional Indonesia, yang merusak dan memusnahkan tanah sebagai mata pencaharian dan sumber kehidupan sehari-hari masyarakat adat West Papua. Masyarakat adat di Merauke setiap hari berdiri teguh dalam penolakan dan perlawanan untuk melindungi tanah warisan mereka demi masa depan anak cucu mereka. Sedikit angin segar, Wakil Menteri Hak Asasi Manusia Republik Indonesia mendukung perlawanan pemilik tanah adat.
Yang mulia, hadirin sekalian, sangat jelas bahwa rasisme, pelanggaran hak asasi manusia, operasi militer, marginalisasi, perusakan lingkungan, dan penghilangan orang-orang, semuanya merupakan proses kepunahan dan genosida massal, yang telah berlangsung bertahun-tahun di West Papua dan tidak pernah terselesaikan.
Kenyataan yang sangat menyedihkan itu terlihat jelas dalam pembiaran yang disengaja oleh pemerintah terhadap semua kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama enam puluh tahun, yang tidak dapat disentuh oleh mantan presiden Indonesia Ir. Joko Widodo, meskipun ia telah mengunjungi West Papua sebanyak sembilan belas kali.
Hal itu dibuktikan dengan terjadinya pelanggaran HAM berat pada Kasus Biak, 6 Juli 1998; Kasus Abepura, 7 Desember 2000; Kasus Wasior, 13 Juni 2001; Kasus Wamena, 3 April 2003; Kasus Paniai, 8 Desember 2014; penculikan dan penghilangan paksa Aristitoles Masoka, sopir almarhum Theys Eluay pada 10 November 2001; serta mutilasi empat orang tak berdosa di Timika, 26 Agustus 2022 serta ribuan kasus lainnya.
Faktanya, semua pelaku adalah orang-orang yang tidak tersentuh hukum. Mereka memiliki kekebalan hukum khusus dari para pengambil keputusan dan pejabat tinggi di pemerintahan. Para pelaku pelanggaran HAM berat ini juga telah dianugerahi dan dipuji sebagai pahlawan nasional.
Jelaslah, kebijakan Indonesia dalam menghancurkan, memusnahkan, melumpuhkan dan memusnahkan masyarakat adat dari tanah warisan mereka sendiri melalui perluasan jumlah provinsi boneka bertindak sebagai peluru diam.
Pengalaman serupa terjadi di Afrika Selatan di bawah pemerintahan apartheid, ketika Peter W. Botha menjadi Perdana Menteri pada tahun 1978, Botha secara sengaja membagi Afrika Selatan menjadi 4 negara boneka: Transkei; Bophutha Tswana; Venda; dan Ciskei; meskipun pada akhirnya hal ini membawa Afrika Selatan memperoleh kemerdekaan.
Kita memahami betul tujuan utama pemekaran provinsi-provinsi boneka Indonesia di tanah warisan kita, Tanah West Papua, yaitu ekspansi orang-orang Indonesia untuk menguasai, menguasai, dan memonopoli kehidupan sosial dan ekonomi di Tanah West Papua.
Banyak sekali pendatang yang datang secara spontan dan tak terkendali setiap hari dengan pesawat terbang dan setiap minggu dengan kapal laut. Misalnya: Realita saat ini setiap hari ketika kita ingin pergi ke Wamena atau tempat-tempat lain di sekitar Tanah West Papua dengan pesawat terbang, banyak penumpangnya adalah ratusan orang pendatang Indonesia dan di antara mereka hanya lima orang Papua. Akibatnya, masyarakat adat Tanah West Papua akhirnya kehilangan kepemilikan tanah dan menjadi terpinggirkan.
Dan juga, para migran mendominasi dan memonopoli posisi politik dan pemerintahan sebagai bagian dari pendudukan dan kolonialisasi West Papua. Misalnya: Anggota parlemen lokal seluruh West Papua mayoritas didominasi oleh para migran, tak pelak setiap lima tahun terjadi perubahan ekstrem pada persentase anggota parlemen.
Kandidat dari penduduk asli West Papua sebagai akibatnya kehilangan pemilih mereka selama masa pemilihan karena penduduk asli secara bertahap menjadi minoritas dari waktu ke waktu. Ini adalah situasi nyata, genosida yang merayap atau genosida gerak lambat.
Termasuk di dalamnya adalah pendirian dan penguatan pengerahan militer dan kepolisian di West Papua demi menjaga keamanan nasional, keutuhan wilayah dan perlindungan negara berdaulat Indonesia.
Lebih jauh, saya terus terang ingin mengatakan bahwa Otonomi Khusus adalah tawar-menawar politik antara West Papua dan Indonesia. Namun, Otonomi Khusus pada tahun 2001 GAGAL total. Otonomi Khusus bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan konflik West Papua. Karena itu adalah bagian dari Resolusi Pembangunan dan bukan Resolusi Konflik.
Mengapa Otonomi Khusus diberikan dan didukung penuh oleh Uni Eropa termasuk Pemerintah Inggris? Masyarakat adat West Papua dengan suara bulat mendukung untuk memperoleh kemauan politik mereka untuk merdeka sesuai dengan 1 Desember 1961. Kemerdekaan politik ini dianeksasi oleh konspirasi internasional melalui Perjanjian New York 15 Agustus 1962 dan Undang-Undang No Choice 1969.
Pada era Otonomi Khusus, pelanggaran hak asasi manusia di West Papua telah meningkat secara signifikan, termasuk pembunuhan terhadap orang asing, anggota militer, anggota polisi dan warga sipil.
Saya punya pertanyaan mendasar sebagai berikut:
1. Siapa yang menembak mati Thomas Graeme Wall seorang warga negara Selandia Baru di Kuala Kencana, Timika Tembagapura pada 30 Maret 2020?
2. Siapa yang menembak mati Pilot Glenn Malcolm Conning, warga negara Selandia Baru pada tanggal 5 Agustus 2024, di distrik Alama, Timika, West Papua?
3. Siapa yang menembak mati Jenderal I Gusti Putu Danny Karya Nugraha pada 24 April 2021?
4. Siapa yang menembak mati Michelle Kurisi Doga pada tanggal 29 April 2023?
Selama belum ada investigasi independen yang kredibel dengan melibatkan masyarakat internasional untuk mengusut kasus pembunuhan Thomas Grame Wall, Pilot Glenn Malcolm Conning, Jenderal I Putu Danny Karya Nugraha, Michelle Kurisi Doga diatas maka segala tuduhan negara dan aparat keamanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia terhadap Tentara Pembebasan Nasional West Papua (TNPB) adalah tidak benar dan tidak dapat dipercaya.
Dalam situasi tuduhan yang tidak jelas dan tidak pasti seperti ini, diperlukan bukti, sehingga untuk membuktikan siapa pelaku penembakan sebenarnya, diperlukan investigasi yang netral dan kredibel. Selama tidak ada tim investigasi yang independen dan adil, tuduhan kedua belah pihak yang berselisih tidak dapat diterima dan tidak dapat dibenarkan.
Situasi masyarakat adat Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang dan Maybrat saat ini masih hidup mengungsi dan belum kembali ke tanah air.
Di samping itu, saya sependapat dan merekomendasikan keempat akar konflik hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk dijadikan kerangka kerja dan acuan dalam membangun Resolusi Konflik West Papua.
Empat akar utama konflik tersebut dirumuskan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Peta Jalan Papua: Menegosiasikan Masa Lalu, Meningkatkan Masa Kini dan Menjamin Masa Depan (2008), yaitu:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia berat sejak tahun 1961 yang belum terselesaikan;
(3) Diskriminasi dan marginalisasi penduduk asli Papua di tanahnya sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan perekonomian masyarakat Papua.
Hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia terdiri dari dua bagian yang sangat penting, pertama adalah Resolusi Pembangunan dan kedua adalah Resolusi Konflik.
Secara fundamental, menurut pemahaman kami, otonomi khusus, pemberian dana, pemekaran provinsi boneka di West Papua BUKAN bagian dari penyelesaian akar konflik, melainkan bagian dari kewajiban negara dan sama dengan provinsi lain di Indonesia, sepanjang Indonesia mengakui West Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Namun, pemerintah sengaja mengabaikan penyelesaian konflik West Papua.
Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah strategis untuk mengakomodasi penyelesaian akar kronis konflik West Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral di tempat yang netral. Misalnya, pemerintah telah menjadikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai mitra dialog di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Selanjutnya saya mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut.
1. Mengapa Indonesia tidak mengizinkan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia mengunjungi West Papua?
2. Mengapa pemerintah Indonesia tidak memberikan akses kepada diplomat dan jurnalis asing untuk mengunjungi West Papua?
3. Apa yang disembunyikan Indonesia di West Papua?
4. Apa yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap penduduk asli West Papua?
Saya ingin menyerukan hal-hal berikut ini:
1. Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia akan segera mengunjungi West Papua;
2. Diplomat dan jurnalis asing diizinkan mengunjungi West Papua;
3. Pembicaraan damai tanpa syarat antara Pemerintah Indonesia dan Presiden Sementara Gerakan Pembebasan Bersatu untuk West Papua, yang dimediasi oleh pihak ketiga dan diadakan di tempat netral;
4. Meninjau kembali PEPERA tentang Penentuan Nasib Sendiri tahun 1969 yang secara hukum dan moral bertentangan dengan hukum internasional dan konspirasi internasional;
5. Masyarakat internasional agar dengan tulus dan jujur mengakui dan menerima tanggal 1 Desember 1961 sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa West Papua. Alasan kuatnya adalah keterwakilan lima negara: Inggris, Prancis, Australia, Belanda dan PNG yang hadir dan menyaksikan 1 Desember 1961 di Jayapura, West Papua;
6. Hentikan Proyek Strategis Nasional Indonesia di Merauke yang merampas tanah air masyarakat adat West Papua dan kembali menjerumuskan masyarakat adat ini ke dalam lingkaran setan kemiskinan ekstrem.
Akhirnya, sebagai penutup saya ingin mengingatkan bahwa mayoritas penduduk asli West Papua pada tahun 1969 sebagian besar memberikan suara 95% menolak integrasi menjadi bagian dari Indonesia, dan mereka berdiri teguh pada kemauan politik mereka sebagai negara merdeka di atas tanah warisan mereka sendiri. Bahkan hingga hari ini, 95% harapan aspirasi untuk merdeka itu tidak pernah padam selama lima setengah dasawarsa sejak tahun 1969 hingga sekarang.
Terima kasih banyak atas kebaikan dan perhatiannya. Semoga Tuhan memberkati kita semua.
[Redaksi]