Pernyataan Presiden Ir. Joko Widodo Menjadi Blunder SepertiPeribahasa Nila Setitik Merusak Susu Sebelangga Atau Panas Setahun Dihapus Dengan Hujan Sehari

(Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa (Amsal 14:34). Kalau pemerintah memperhatikan kebohongan, semua pegawainya menjadi fasik (Amsal 29:12 )
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman
Pernyataan Presiden pada 7 Juli 2023 adalah BLUNDER. Apa itu blunder? Dalam dunia sepak bola kata ini tidak asing bagi semua pencinta sepak bola.
BLUNDER artinya merujuk pada sebuah kesalahan yang merugikan. Kesalahan ini nantinya dapat membuat orang yang melakukannya rugi bahkan bisa berdampak pada lingkungan atau tim yang dibelanya dalam sebak bola, dan lebih luas dalam konteks bernegara dan berbangsa.
Di sini, letak KUASA kata-kata. Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo adalah orang nomor satu di rumah besar yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sepertinya Ir. Joko Widodo tidak memfilter atau tidak menyaring masukan dari pembisik atau penasihat. Ia tidak mempertimbangkan bahan yang diberikan itu sebelum membuat pernyataan keluar ke publik.
Karena dalam setiap kata ada KUASA. Apakah KUASA kata-kata itu menguatkan, meneguhkan, menyejukkan, menyentuh hati atau sebaliknya KUASA kata-kata itu merusak, menghancurkan, dan membawa dampak penghinaan yang membangkitkan amarah, protes, dan perlawanan?
Pernyataan Presiden RI, Ir. Joko Widodo sama seperti membuang ludah ke atas, tapi air ludah itu kembali menampar wajahnya sendiri. Ini kesalahan fatal dan merusak semua yang dibangun selama 17 kali kunjungan ke Tanah Papua Barat.
17 kali Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo berkunjung ke Tanah Papua Barat telah menjadi sia-sia dan tidak ada gunanya dengan pernyataannya sendiri yang tidak menggunakan hikmat dari Tuhan.
Peribahasa yang menjadi topik tulisan ini menjadi kesimpulan tepat bahwa
pernyataan Ir. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia:
1. Nilai setitik merusak susu sebelangga.
Peribahasa ini menggambarkan bahwa kesalahan sekecil apapun itu akan punya dampak luas pada citra seseorang/organisasi secara keseluruhan.
2. Panas setahun dihapus dengan hujan sehari. artinya kebaikan yang banyak dihapuskan oleh kejahatan yang sedikit (kebaikan yang panjang dihapus dengan kejelekan sedikit).
Pemazmur memberikan nasihat-nasihat untuk para pemimpin dan kita semua untuk memedomani dalam memimpin rakyat dan menjalani hidup kita dalam dunia realitas.
“Mulut orang benar mengucapkan hikmat, dan lidahnya mengatakan hukum” (Amsal 37:30).
“Mulut orang benar adalah sumber kehidupan” (Amsal 10:11).
“Lidah orang benar seperti perak pilihat” (Amsal 10:20).
“Di bibir orang benar menggembalakan banyak orang” (Amsal 10:21).
“Bibir yang mengatakan kebenaran tetap untuk selama-selamanya” (Amsal 12:19).
“Lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan” (Amsal 15:2).
“Hati orang bijak menjadikan mulutnya berakal budi, dan menjadikan bibirnya lebih dapat meyakinkan” (Amsal 16:23).
“Bibir orang benar tahu akan hal yang menyenangkan” ( Amsal 10:32).
“Perkataan yang menyenangkan adalah seperti sarang madu manis bagi hati dan obat bagi tulang” (Amsal 16:24).
Pernyataan Presiden RI Ir. Joko Widodo menjadi BLUNDER bagi penguasa Indonesia. Sepertinya, Joko Widodo berkesimpulan, kunjungan pada 4-5 Juli ke Australia dan pada 5 Juli 2023 ke PNG adalah sudah merupakan jaminan bahwa di Papua Barat dianggap sudah tidak menjadi masalah, karena dirinya sudah ada komunikasi dengan dua negara asing. Dengan keyakinan itu, Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo pada 7 Juli 2023 di Jayapura mengatakan 99% di Papua Barat aman dan tidak ada masalah.
“Jangan dilihat (negatif). Karena memang secara umum, 99 persen itu gak ada masalah. Jangan masalah kecil dibesar-besarkan. Semua di tempat, di manapun, di Papua kan juga aman-aman saja”.
“Kita karnaval juga aman, kita ke sini juga gak ada masalah, ya kan? Kita malam makan di restoran juga gak ada masalah. Jangan dikesankan justru yang dibesarkan yang negatif-negatif. Itu merugikan Papua sendiri”.
Ir. Joko Widodo Presiden RI membuat pernyataan BLUNDER yang benar-benar merusak dan menghancurkan seluruh reputasi kunjungan 17 kali ke Papua Barat dengan biaya besar dan pengawalan super ketat. 17 kali Presiden RI berkunjung ke Tanah Papua Barat ini biasa-biasa saja, tidak ada istimewa dan tidak ada dampak positif.
Presiden dalam pernyataannya sendiri telah menciptakan pendapat dan pandangan negatif dari sebagian besar rakyat dan bangsa Papua Barat dan tentu saja sebagian dari rakyat Indonesia. Pernyataan itu dari positif menjadi asumsi negatif dari sebagian besar POAP.
“Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah jua” adalah betapa pun pandai atau hebatnya seseorang dalam suatu perkara/permasalahan ataupun pekerjaan, pasti memiliki kelemahan juga (pernah salah juga).
Kebanggaan dan pujian seluruh rakyat Indonesia, terutama orang-orang Jawa yang selalu memuji Ir. Joko Widodo berkunjung ke Tanah Papua Barat 17 kali dan memberikan perhatian terhadap rakyat Papua menjadi sirna, luntur, botak, hamba dan kosong dengan pernyataannya sendiri yang menganggap di Tanah Papua Barat tidak ada masalah.
Pernyataan Ir. Joko Widodo seperti nasi sudah menjadi bubur. Bubur tidak bisa kembali menjadi nasi. Atau garam dibuang di air laut dan garam itu sudah tidak ada gunanya lagi.
Pernyataan yang tidak sesuai fakta ini tidak mungkin diperbaiki dengan kata maaf. Penduduk Orang Asli Papua sangat dikukai dan terluka karena rasisme, militerisme, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, ketidakadilan, pelanggaran HAM berat, stigma-stigma, label dan marginalisasi, pemusnahan etnis secara sistematis, terprogram, terstruktur, masif, meluas dan kolektif selama 62 tahun sejak 19 Desember 1961.
Presiden berusaha menghindari atau bekerja keras untuk menghilangkan 4 akar konflik yang sudah dirumuskan LIPI/BRIN.
Pernyataan yang tidak rasional, tidak sesuai fakta dan tanpa riset yang mendalam itu tidak dapat menghilangkan 4 akar konflik Papua Barat yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Empat akar persoalan ini yang disebut luka membusuk dan bernanah di dalam tubuh bangsa Indonesia oleh
Prof. Dr. Frans Magnis, alm. Pastor Frans Lieshout, Dr. Anti Soleman.
Saya secara konsisten dan terus-menerus mengutip apa yang digambarkan oleh Prof. Dr. Franz Magnis dan Pastor Frans Lieshout, OFM, dan juga Ibu Dr. Anti Solaiman tentang keadaan yang sesungguhnya di Papua.
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu terutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia…kita akan ditelanjangi di dunia beradab, sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata.” (Sumber: Prof. Dr. Franz Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015:255,257).
“Orang Papua telah menjadi minoritas di negeri sendiri. Amat sangat menyedihkan. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber: Pastor Frans Lieshout,OFM: Guru dan Gembala Bagi Papua, 2020:601).
Ibu Dr. Anti Soleman dalam peluncuran 5 buku Seri Sejarah Politik, HAM dan Demokrasi di West Papua, Markus Haluk di Graha Oikoumene, Jakarta, pada Kamis (15/6/2023) menyatakan:
“Buku ini cerita tentang luka. Luka tentang Papua itu tidak saja ada pada kami seperti usia saya yang sudah 71 tahun, tapi luka itu sudah ada dalam hidup anak dan cucu kita, umurnya 17 tahun”.
Ir. Joko Widodo katakan di Papua Barat tidak ada masalah, tapi bagaimana dengan berbagai bentuk pelanggaran berat HAM dan ketidakadilan di Papua, sebagai berikut:
1. Biak Berdarah pada 6 Juli 1998;
2. Abepura (Abe) berdarah pada 7 Desember 2000.
3. Wasior berdarah pada 13 Juni 2001.
4. Kasus Theodorus (Theys) Hiyo Eluay dan Aristoteles Masoka pada 10 November 2001.
5. Wamena berdarah pada 4 April 2003.
6. Kasus Musa (Mako) Tabuni 14 Juni 2012.
7. Kasus Paniai berdah pada 8 Desember 2014.
8. Kasus Pendeta Yeremia Zanambani pada 19 November 2020.
9. Kasus mutilasi 4 warga sipil di Timika pada pada 22 Agustus 2022. Empat korban adalah Arnold Lokbere, Leman Nirigi, Iran Nirigi, dan Atis Titini. Saat itu empat korban bertemu dengan sembilan pelaku (5 anggota TNI dan 4 warga sipil).
10.Bagaimana dan sejauh mana penguasa kolonial Indonesia bertanggungjawab untuk penggembalian 60.000 penduduk orang asli Papua ke kampung halaman mereka dan sampai saat ini masih berada di dearah-daerah pengungsian akibat operasi militer besar-besaran di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Maybrat dan Pegunungan Bintang.
11. Kasus sandera pilot Mark Philip Merhthen pada 7 Februari 2023 di Nduga yang dilakukan oleh TPNPB sampai sekarang belum dibebaskan.
12. Rakyat dan bangsa Papua Barat melakukan demo damai pada 12-14 Juli 2023 untuk mendukung ULMWP sebagai anggota penuh MSG. Ini adalah masalah besar bukan tidak ada masalah.
13. Dan masih ratusan, bahkan ribuan korban orang asli Papua ditangan penguasa kolonial modern Indonesia.
Persoalan konflik berkepanjangan, ketidakadilan, tragedi kemanusiaan ini tidak bisa diselesaikan pernyataan hoax 99% aman dan tidak ada masalah.
Di Papua Barat ada kejahatan Negara. Ada kejahatan kemamusiaan. Kebohongan & Kejahatan Indonesia Berjalan Telanjang di Tanah Papua Barat.
Telah menjadi jelas dan terang bagi kami, bahwa Pemerintah Indonesia berniat buruk dengan kami Penduduk Asli Papua, ras Melanesia.
Pembunuhan POAP terus berlangsung karena ada perintah Negara. Perintah itu disampaikan Presiden Republik Indonesia yang dodukung dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Perintah itu belum dicabut sampai saat ini. Perintah itu digunakan TNI-Polri di Tanah Papua. Ini ada masalah kekerasan militer. Ini ada persoalan berat. Perintah Joko Widodo yang disebutkan di bawah ini adalah masalah nyata yang merupakan kekejaman Negara.
1. Ir. Joko Widodo mengeluarkan perintah Operasi Militer pada 5 Desember 2018 sebagai berikut:
“Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar.” (Detiknews, 5/12/2018).
2. Wakil Presiden (mantan) Haji Jusuf Kalla mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:
“Kasus ini, ya, polisi dan TNI operasi besar-besaran…” (Tribunnews.com, 6/12/2018).
3. Ketua MRP RI Bambang Soesatyo mendukung operasi militer di Papua sebagai berikut;
“…MPR usul pemerintah tetapkan operasi militer selain perang di Papua”
(Kompas.com, 13/12/2018).
4. Wiranto (Mantan Menkopolhukam) mendukung operasi militer di Papua, sebagai berikut:
“Soal KKB di Nduga Papua, kita habisi mereka” (Kompas.com, 12/12/2018).
5. Mahfud MD melabelkan dan menempatkan POAP dengan label teroris. Pernyataan primitifnya Mahfud MD pada 29 April 2021, sebagai berikut:
“Pemerintah menganggap bahwa organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris.”
Tidak heran, militer dan kepolisian Indonesia diberikan legitimasi Negara untuk operasi militer di Papua dan untuk orang-orang di Papua dikagegorikan sebagai teroris. Karena label teroris, maka mutilasi dan penyiksaan dan pembunuhan POAP dianggap sah, tidak berdosa, tidak bersalah dan pelaku kejahatan dilindungi, ada impunitas dan dihargai sebagai pahlawan.
Pendekatan kekerasan militer tidak pernah berubah dan tidak menyelesaikan akar konflik Papua Barat dan kekerasan militer itu memperpanjang penderitaan dipihak Penduduk orang asli Papua sampai sekarang ini. Karena militer adalah sumber dan penyebab kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat.
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November diserukan, sebagai berikut:
“Meminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”
“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”
“Presiden Joko Widodo tetap konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”
Doa dan harapan saya, para pembaca mendukung penyelesaian masalah ketidakadilan, rasisme dan kekerasan negara di Tanah Papua Barat.Â
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Waa…..Waa……Kinaonak!
Ita Wakhu Purom, Senin, 17 Juli 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Kontak: 08124888458///08128888712
Â
Editor: Redakasi