Pertemuan PGGP Dengan Prof. DR. K.H. Ma’ruf Amin Wakil Presiden RI Sama Dengan Buang Garam Di Dalam Air Laut
Fakta: Berbicara berulang-ulang tetapi tidak pernah selesai
“Seruan para pemimpin agama dan gereja selalu jatuh ditelinga-telinga tuli penguasa kolonial firaun modern Indonesia di Jakarta”
Oleh Gembala Dr. Ambirek G. Socratez Yoman,MA
Pertemuan Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGB) dengan Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin pada 10 November 2023 di Suni Hotel and Convention Abepura, Papua Barat adalah PGGP membuang garam di air laut.
Mengapa saya mengatakan pertemuan PGGP dengan dengan Prof. Dr. K.H. Ma’ruf Amin adalah membuang garam di air laut?
Saya mau sampaikan catatan saya tentang seruan moral dan suara profetis Gereja-gereja Tuhan di Tanah Papua Barat sudah berulang-ulang dan terus-menerus.
Pemimpin Agama dan Gereja-gereja di Tanah Papua Barat tidak pernah membisu dan diam dalam melihat persoalan ketidakadilan dan ancaman kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat terhadap Penduduk Orang Asli Papua-POAP.
Pemimpin Agama dan Gereja-gereja di Tanah Papua menilai, bahwa “Masalah pro dan kontra terhadap pelaksanaan Pepera 1969 tidak akan bisa diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan, atau pemukulan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Menangkap, mengadili dan memenjarakan semua orang Papua pun tidak akan menyelesaikan persoalan Pepera.
“Orang-orang Papua Barat telah dikhianati hak-hak dasar mereka, termasuk hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri ( the right to self-determination). Teriakan mereka untuk keadilan dan kebebasan telah jatuh pada TELINGA-TELINGA TULI di Jakarta. Saya selalu bersama mereka dalam doa saya tentang kebutuhan mereka.” (alm. Arbishop Desmond Tutu)
Pada 3 Mei 2007, Gereja-gereja di Tanah Papua menyatakan bahwa Pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan. Maka, solusinya, “Dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh Orang Asli Papua dan Pemerintah Indonesia”.
Pada 3-7 Desember 2007, seluruh Pimpinan Agama dan Gereja dalam Lokakarya Papua Tanah Damai mendesak agar pemerintah Indonesia “segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara pemerintah pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak”.
Pada 22 Oktober 2008, Gereja-gereja di Tanah Papua menilai, bahwa “Masalah pro dan kontra terhadap pelaksanaan Pepera 1969 tidak akan bisa diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan, atau pemukulan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Menangkap, mengadili dan memenjarakan semua orang Papua pun tidak akan menyelesaikan persoalan Pepera. Kami percaya bahwa kekerasan sebesar apapun tidak pernah akan menyelesaikan persoalan Pepera ini. Oleh sebab itu, untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar masalah Pepera ini diselesaikan melalui suatu dialog damai”.
Pada 14-17 Oktober 2008, Konferensi Gereja dan Masyarakat menyatakan, “Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi UU No. 21 Tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi “separatis, TPN, OPM, GPK, makar dan sejenisnya yang dialamatkan kepada Orang Asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azaz praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan”.
Pada 28 Juli 2009, Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode telah mendesak agar diadakan dialog nasional dengan rakyat Papua. “Pimpinan Gereja-gereja di Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan maalah-masalah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral”.
Pada 18 Oktober 2009Â dinyatakan, “Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mrngusulkan agar masalah Pepera 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah Pepera ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah Indonesia dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan”.
Pada 12 Agustus 2010, para pemimpin Gereja di Tanah Papua dalam pernyataan moral dan keprihatinan menyatakan, “Para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan untuk segera diadakan dialog nasional untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah Papua secara adil, bermartabat, dan manusiawi yang dimediasi oleh pihak ketiga yang lebih netral”.
Pada 10 Januari 2011, Komunike Bersama Para Pemimpin Gereja di Tanah Papua mendesak pemerintah RI untuk segera melakukan dialog damai dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan ketidakpastian hukum dan politik di Tanah Papua yang menjadi akar dari konflik yang berkepanjangan dan telah menyengsarakan umat Tuhan di Tanah ini”.
Pada 26 Januari 2011,para pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka diri untuk berdialog dengan rakyat asli Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral”.
Pada 26 Agustus 2019, Dewan Gereja Papua (WPCC) menyerukan: “Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua seperti yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Jusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog damai dengan Aceh yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral”.
Pada 13 September 2019, Dewan Gereja Papua, “Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di Aceh sebagai mitra perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan Kapolri di Swiss-bell Hotel Jayapura”.
Pada 5 Juli 2020, Dewan Gereja Papua mendukung langkah yang telah diambil oleh Presiden SBY dan Wakil Jusuf Kalla menangangi konflik GAM/Aceh dengan jalan yang sama untuk melihat 4 sumber konflik yang telah diangkat Tim LIPI dan berdialog dengan ULMWP/Kelompok Pro referendum sebagai mitra Dialog yang diusulkan Presiden Ir. Joko Widodo pada 30 September 2019 dan dimediasi pihak ketiga yang netral untuk menghindari pandangan bias rasisme sistemik”.
Pada 21 Juli 2020, 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: Kami meminta kepada Pemerintah Indonesia untuk mengakhiri konflik berkrpanjangan di Tanah leluhur kami-Papua dengan cara dialog damai. Sejauh kami lihat, dengar, serta ikuti di media sosial, semua elemen masyarakat akar rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan ULMWP yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM Aceh”.
Pada 5 Februari 2021, Dewan Gereja Papua (WPCC) menyatakan: “Presiden Jokowi, pada tanggal 30 September 2019, sudah berjanji di depan media massa di Jakarta bahwa pihaknya ingin bertemu dengan ‘kelompok Pro referendum Papua’. Sehimgga kami percaya bahwa Indonesia/Jakarta pada akhirnya akan berunding dengan ULMWP. Melalui surat ini, kami menagih janji tersebut”. ( baca dok: SURAT GEMBALA DEWAN GEREJA PAPUA Dalam rangka 166 Tahun Perayaan Injil masuk di Tanah Papua 5 Februari 2021).
Pada 20 Maret 2022, dalam Seruan Moral Dewan Gereja Papua menyampaikan: “Untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, kami tetap konsisten mendesak dilakukan dialog antara Pemerintah Indonesia dengan ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), seperti yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam penyelesaian konflik Aceh”.
Gereja-gereja di Tanah Papua Barat melihat akar konflik masalah Papua sudah menjadi luka MEMBUSUK dan BERNANAH di dalam tubuh bangsa Indonesia itu sudah berhasil dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sekarang sudah diubah menjadi Badan Ruset Inovasi Nasional (BRIN) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai hasil dari kebijakan RASISME dan KETIDAKADILAN sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Diharapkan, solusi untuk mengakhiri semua persoalan ini, Dewan Gereja Papua (WPCC) dalam seruan moral pada 21 November 2022 diserukan, sebagai berikut:
“Meminta kepada Dewan HAM PBB (Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa) datang berkunjung ke Tanah Papua untuk melihat secara langsung situasi penderitaan panjang orang Papua selama 58 tahun.”
“Sudah saatnya pemerintah Indonesia menghentikan kebijakan rasisme sistemik pada orang asli Papua yang terus-menerus meningkat.”
“Presiden Joko Widodo harus konsisten mewujudkan statemennya pada 30 September 2019 untuk berdialog dengan kelompok Pro Referendum, Presiden Pemerintahan Sementara Hon. Benny Wenda dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimediasi pihak ketiga sebagaimana yang pernah terjadi antara Pemerintah RI dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Helsinki pada 15 Aguatus 2005.”
Terima kasih.
Ita Wakhu Purom, 11 Oktober 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua (WPCC)., Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC), Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Kontak: 08124888458///08128888712
Editor: Redaksi