Presiden Joko Widodo Dan DPR RI, Didesak Mengaudit Kebijakan Penganggaran Operasi Keamanan Di Tanah Papua

Manokwari, papuaspiritnews.com-Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, meminta perhatian Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan parlemen nasional DPR RI agar tidak dengan mudah mempercayai pernyataan para petinggi TNI dan Polri di Tanah Papua maupun di Jakarta mengenai situasi keamanan di Bumi Cenderawasih yang selalu dikatakan tidak aman karena ulah Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dengan julukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Dijelaskannya berdasarkan kajian LP3BH Manokwari didapati pada kasus penyanderaan terhadap pilot pesawat jenis Pilatus porter PC6-PK BVY milik maskapai Susi Air pada Selasa (7/2) lalu di Distrik Paro, Kabupaten Nduga. Fakta bahwa TPN PB hanya menyandera pilot Philip Mark Marhtens dan tidak melakukan tindakan yang sama terhada 5 (lima) warga sipil asli Distrik Paro dan juga TPNPB tidak menyandera sekitar 15 orang pekerja bangunan dan telah diakui oleh Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Muhammad Saleh Mustafa dalam jumpa pers dengan para jurnalis di Timika, Jum’at (10/2) bahwa tidak ada penyanderaan para pekerja dan warga sipil. Pengakuan Pangdam XVII Cenderawasih tersebut terkonfirmasi dengan adanya pernyataan Juru Bicara TPN PB Sebby Sambom kepada media online Jubi, Kamis (9/2) via sambungan seluler.
“Kami melihat hal ini sebagai sebuah fakta yang bisa mulai membuka tabir gelap dari beberapa peristiwa kekerasan di beberapa wilayah di Tanah Papua yang hingga saat ini masih gelap”,ujar Warinussy kepada media ini Sabtu, (11/2/2023)
Misalnya kasus pembakaran pesawat milik maskapai MAF (Mission Aviation Fellowship) PK-MAX yang diawaki capten pilot Alex Luferchek berkebangsaan Amerika Serikat di bandara kampung Pagamba, Distrik Biandaga, Kabupaten Intan Jaya, Papua pada tanggal 6 Januari 2020.
Peristiwa ini sama sekali tidak ada investigasi yang dilakukan hingga dapat mengkonfirmasi siapa yang sesungguhnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Juga peristiwa kematian tragis Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya ada tanggal 25 April 2020 di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Hingga saat ini tidak jelas sesungguhnya siapa yang menembak sang jenderal yang menjadi mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Daerah Papua tersebut.
“Tuduhan dari awal disematkan kepada TPN PB. Demikian pula dalam peristiwa terbunuhnya 4 (empat) orang prajurit TNI di dalam Pos Koramil Kisor, Distrik Aifat Timur, Papua Barat pada 21 September 2021. Keempat prajurit tersebut masing-masing Serda Ambrosius, Praka Dirham, Pratu Zul Ansari dan Lettu Chb.Dirman. Mereka dinyatakan terbunuh akibat ulah TPN PB, tapi herannya tak ada investigasi kriminal yang dilakukan hingga saat ini.
Sementara ada sejumlah orang warga sipil yang ditangkap dan diadili dengan tuduhan terlibat dalam peristiwa Kisor tersebut, misalnya Abraham Fatemte dan Melkias Ky yang saat ini sedang dihadapkan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sorong Kelas I B.
LP3BH juga merujuk pada Buku karya Robin Osborne berjudul Kibaran Sampai, Gerakan Pembebasan OPM dan Perang Rahasia di Papua Barat, terbitan ELSAM Jakarta tahun 2001. Di dalamnya Osborne menulis : ,….”ada akal bulus pasukan Indonesia untuk menggunakan OPM sebagai alat tawar menawar dengan Jakarta, untuk menguasai wilayah demi mendapat kenaikan pangkat atau jatah ekonomi yang lebih luas.
“Inilah yang oleh Osborne disebut sebagai perang rahasia, yang oleh ELSAM Jakarta selaku penerbit buku tersebut menyatakan bahwa segala gerak pembebasan dari penindasan yang kini terjadi di Tanah Papua tidak lagi dihadapi dengan perang rahasia oleh tentara Indonesia.
Melainkan dengan pembicaraan-pembicaraan dalam negosiasi politik terbuka, sehingga sederetan korban tidak bertambah dan caci maki politik bisa dihentikan. Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah meraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award ” tahun 2005 di Canada saya mendesak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan pemerintahnya termasuk parlemen DPR RI untuk segera mengaudit kembali kebijakan negara mengenai penganggaran operasi keamanan di Tanah Papua selama ini”,terang Warinussy.
Selain itu, merubah pola pendekatan keamanan (security approach) dengan pendekatan damai dan sosial serta mempersiapkan diri sebagai sebuah negara demokrasi terbesar keempat di dunia untuk mendialogkan tuntutan dasar OPM sebagai sebuah gerakan perjuangan memperoleh hak menentukan nasib sendiri.
“Perjuangan rakyat Papua untuk penentuan nasib sendiri tidak bisa dilihat sebelah mata hanya dengan pandangan skeptis bahwa gerakan perlawanan OPM selama ini hanya karena faktor kesejahteraan dan kemiskinan secara ekonomi belaka.
Tinjauan kembali terhadap pendekatan militeristik di Tanah Papua dengan segenap usaha penambahan instalasi militer melalui pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) semakin terbaca dengan senantiasa “mengkambing hitamkan” TPN PB dan atau OPM sebagai faktor penyebab adanya gangguan keamanan, sehingga membutuhkan kehadiran personil militer dalam jumlah besar diikuti penambahan instalasi kelembagaan militer kian terbaca secara ilmiah dan kian terbuka”,tandas Warinussy. (ES)