Refleksi Peran Gereja Tahun 2023 sebagai Hadiah Tahun Baru 1 Januari 2024
Pada Tahun 2024, Gereja Harus Bersuara Mendukung Referendum dan Memperjuangkan Hak Dasar Politik Penentuan Nasib Sendiri untuk Keadilan bagi Rakyat dan Bangsa Papua Barat
“Jangan takut tulis tentang sebuah kebenaran” (Barnabas Suebu, SH)
Oleh Gembala Dr. A.G. Socratez Yoman
Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sebagai seorang Gembala dan pemimpin rohani di Timor Leste mengatakan:
“Posisi Gereja Katolik di Timor Timur (kini: Timor Leste), pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur. Pada situasi ini, pilihan-pilihan yang dianjurkan oleh Gereja adalah pilihan melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap referendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur”. (Sumber: Demi Keadilan dan Perdamaian, Peter Tukan-Domingos de Sousa, 1977:338).
Sebagai hadiah berharga untuk rakyat dan bangsa Papua Barat dalam memasuki Tahun Baru 1 Januari 2024, saya mempersembahkan tulisan ini.
Pertanyaan saya ialah apakah Gereja boleh memperjuangkan Papua Barat merdeka di mimbar-mimbar Gereja?
Jawaban dari pertanyaan ini sebagai berikut:
Pertama, Tuhan Allah, Alkitab dan Gereja tidak melarang Hak Penentuan Nasib Sendiri atau Papua Barat merdeka. Tetapi yang dilarang Tuhan Allah, Alkitab dan Gereja ialah jangan membunuh dan jangan mencuri (Keluaran 20:5, 7).
Kedua, Dr. Andriana Elisabeth dalam kata Pengantar buku saya berjudul: “Tebing Terjal Perdamaian di Tanah Papua” mengatakan:
“Gereja tidak boleh berpolitik. Namun dalam konteks membela kemanusiaan, Gereja justru harus menunjukkan dan bertindak secara tegas membela kemanusiaan untuk menjaga dan menghormati martabat manusia yang paling hakiki, termasuk dalam konteks melindungi dan memenuhi hak asasi orang Papua. Dalam konteks ini, Gereja di Papua harus senantiasa bersatupadu, sehingga dapat terus menyuarakan suara hati orang Papua”. (Sumber: Tebing Terjal Perdamaian di Tanah Papua: Yoman, 2019: viii).
Ada beberapa kata kunci dari pernyataan ibu Dr. Adriana Elisabeth sebagai berikut:
(1) Gereja harus bertindak tegas membela kemanusiaan untuk menjaga dan menghormati martabat manusia yang paling hakiki, termasuk dalam konteks melindungi dan memenuhi hak asasi orang Papua.
(2) Gereja dapat terus menyuarakan suara hati orang Papua”.
Yang dimaksud dengan membela kemanusiaan untuk menjaga dan menghormati martabat manusia yang paling hakiki, termasuk dalam konteks melindungi dan memenuhi hak asasi orang Papua dan dapat terus menyuarakan suara hati orang Papua ialah hak politik untuk Penentuan Nasib Sendiri atau pengakuan 1 Desember 1961 Hari Kemerdekaan bangsa Papua Barat yang dianeksasi dengan invansi militer pada 19 Desember 1961 melalui Maklumat Trikora.
Ketiga, Pdt. Dr. Phil Erari mengatakan:
“…Gereja tetap setia dan konsisten dalam memperjuangkan keadilan, kebebaran, dan hak asasi manusia, dalam rangka pembebasan dan perdamaian bagi seluruh orang Papua”.
“Dekade Pembebasan, sebagai komitmen dan janji di mana seluruh program Gereja di bidang kesaksian menjadi kesaksian yang membebaskan, bidang pelayanan, menjadi pelayanan yang membebaskan, dan koinonia atau persekutuan, menjadi Koinonia yang membebaskan” (hal. xxxiii).
“Gereja-gereja di Papua maupun di Indonesia memahami masalah Papua sebagai bagian dari tugas pastoralnya. Oleh karena itu, secara hakiki, gereja berada di pihak rakyat yang berjuang untuk suatu pembaruan dan transformasi. Sehingga bila mana rakyat berjuang untuk sebuah kemerdekaan, yang bebas dari ketakutan penindasan dan penjajahan, maka posisi gereja dituntut untuk bersuara secara kritis dan bertanggungjawab”. (Sumber: Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru: Erari: 2006:175).
Keempat, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sebagai seorang Gembala dan pemimpin rohani di Timor Leste mengatakan:
“Posisi Gereja Katolik di Timor Timur (kini: Timor Leste), pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur. Pada situasi ini, pilihan-pilihan yang dianjurkan oleh Gereja adalah pilihan melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap referendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur”. (Sumber: Demi Keadilan dan Perdamaian, Peter Tukan-Domingos de Sousa, 1977:338).
“…dalam realita kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person. Karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional.” (Sumber: Voice of the Voiceless: Frans Sihol Siagian dan Peter Tukan, 1997: hal. 127).
Kelima, Uskup Mgr. Leo Laba Ladjar, Mantan Uskup Jayapura, pernah menyatakan:
“Rakyat Papua sudah bertekad untuk berjuang tanpa kekerasan tetapi melalui perundingan dan diplomasi, dengan cara damai dan demokratis. Sikap yang amat simpatik itu harap tidak dijawab pemerintah dengan bedil, bom, dan penjara. Tanggapan untuk suatu dialog yang demokratis, adil, jujur, pasti, sekaligus juga meredam usaha-usaha para provokator yang tidak henti-hentinya memancing kekerasan entah pihak dari pemerintah/militer atau pihak-pihak rakyat Papua”. (Leo Laba Ladjar: Kongres Papua: Memutuskan Apa? dikutip dalam late Neles Tebay: Dialog Jakarta:Papua:2009:16).
Keenam, Theo van den Broek dan J. Budi Hermawan, OFM menegaskan:
“…bukan hanya perlu, tetapi merupakan keharusan Gereja untuk terlibat dalam misi ini (pembelaan dan perlindungan terhadap manusia) agar hak-hak dasar masyarakat diakui, dihormati, dan diutamakan. Kami juga mengalami sendiri bahwa masyarakat sangat mengharapkan Gereja mampu mengambil sikap dalam perjuangan dan penderitaan mereka; lebih-lebih belakangan masyarakat Tanah Papua menaruh kepercayaan besar pada Gereja, dan pada Gereja inilah mereka merasa diakui dan dihormati sebagai manusia sejati”. (Sumber: Memiria Pasinois di Papua: Kondisi Hak Asasi Manusia dan Gerakan Aspirasi Merdeka Gambaran 1999).
Gereja sudah 168 di Tanah Papua sejak 5 Februari 1855 hingga 2023 telah gagal melawan diskriminasi rasial, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, militerisme, ketidakadilan, pelanggaran HAM berat, genosida, ekosida, marginalisasi, pendudukkan dan dominasi akibatnya rakyat dan bangsa Papua Barat dimusnahkan dengan sistematis, terstruktur, terprogram, meluas, masif dan kolektif.
Lebih tepat Program Proses DEGENERATIF yang dilaksanakan oleh penguasa kolonial firaun modern Indonesia yang menduduki, menjajah dan menindas rakyat dan bangsa Papua Barat dengan tangan besi secara kejam dan brutal.
Gereja juga gagal bersuara dalam melawan ada perampokkan dan pencurian besar-besaran dan masif dengan membangun smelter di pulau Jawa, di Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Gereja gagal dalam menentang ada penindasan atas rakyat dan bangsa Papua Barat yang merendahkan martabat kemanusiaan kami dengan stigma, label dan mitos separatis, makar, kkb, opm, dan teroris.
Gereja gagal memperjuangkan hak kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat.
Robin Osborn mengungkapkan:
“….bahwa penggabungan daerah bekas jajahan Belanda itu ke dalam wilayah Indonesia didasarkan pada premis yang keliru, yaitu ketika 1.025 orang delegasi yang dipilih oleh pemerintah dan militer Indonesia memberikan suara mereka dibawah pengawasan PBB diartikan sebagai aspirasi politik dari seluruh masyarakat Papua Barat. Kini, premis ini diragukan keabsahannya berdasarkan hukum internasional” (2000:×××).
Sementara Pdt. Dr. Karel Phil Erari dengan tegas mengatakan: “Secara hukum, integrasi Papua ke dalam NKRI bermasalah.
Apakah benar bangsa Indonesia tidak ada hak kedaulatan atas TANAH, rakyat dan bangsa Papua Barat?
Jawabannya: Ya, benar, bangsa Indonesia tidak ada hak kedaulatan atas TANAH rakyat dan bangsa Papua Barat.
Karena, rakyat dan bangsa Papua Barat tidak atau belum pernah menerima, mengakui dan melegitimasi bangsa Indonesia berada di TANAH Papua. Bangsa Indonesia menganeksasi dan merampok TANAH Papua dan menduduki,menjajah dan memusnahkan bangsa Papua dengan moncong senjata.
Bangsa Indonesia tidak ada kedaulatan atas bangsa Papua juga didukung dengan beberapa fakta sebagai berikut:
1. Pada 19 Desember 1961 Indonesia aneksasi atau invansi militer atas kedaulatan dan kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat 1 Desember 1961 dengan maklumat Tiga Komando Rakyat (Trikora). Salah satu bukti penting sebagai pengakuan bangsa Indonesia ada negara yang dibubarkan: “Bubarkan Negara Papua Buatan Belanda.”
2. Perjianjian New York 15 Agustus 1961 tidak melibatkan Orang Asli Papua. Perjanjian dibuat bangsa asing Indonesia dan Belanda yang dimediasi Amerika melalui diplomatnya Ellsworth Bunker dan negosiasi rahasia dilaksanakan di Virginia,Amerika Serikat.
3. Perjanjian Roma 30 September 1962 tidak melibatkan Orang Asli Papua.
4. Penyerahan Papua dari UNTEA kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 ialah ilegal karena tidak melibatkan atau belum ada persetujuan POAP.
5. Pepera 1969 dimenangkan oleh militer Indonesia dengan moncong senjata dan tidak memberikan kesempatan kepada Orang Asli Papua untuk memilih dengan demokratis.
6. Otsus Nomor 21 Tahun 2001 hampir 98% Penduduk Orang Asli Papua menolaknya tapi dilaksanakan dengan pemaksaan.
7. Akal-akalan UP4B dari Presiden Haji DR. Bambang Susilo Yudhoyono untuk melayani permintaan atau tekanan komunitas Internasional tentang kegagalan pelaksanaan Otsus Nomor 21 Tahun 2001.
8. Evalusi Otsus Nomor 21 Tahun 2001 tanpa melibatkan Penduduk Orang Asli Papua dan penguasa kolonial modern Indonesia menentang atau menginjak-injak undang-undangnya sendiri. Proses evaluasi Otsus yang dilaksanakan MRP di TANAH Papua dihalang-halangi.
9.Otsus jilid 2 Nomor 2 Tahun 2021 diproses dan disahkan tanpa melibatkan Penduduk Orang Asli Papua.
10. DOB (Daerah Otonomi Baru) Boneka Indonesia tanpa melibatkan Penduduk Orang Asli Papua dan diproses dan disahkan dan dipaksakan oleh bangsa Indonesia
11. Penguasa Indonesia memproduksi mitos-mitos, stigma dan label: GPK, GPL, separatis, makar, OPM, KKB dan teroris sebagai upaya untuk mempertahankan legitimasi palsu di atas Tanah Papua.
12. Dari seluruh uraian ini terbukti, bahwa tidak ada keterlibatan Orang Asli Papua yang punya hak atas TANAH ini sebagai bentuk PENERIMAAN, DUKUNGAN DAN LEGITIMASI keberadaan Indonesia. Bangsa Indonesia tidak ada kedaulatan atas rakyat dan bangsa Papua Barat. Indonesia menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua secara ilegal.
13. Indonesia menduduki, menjajah, menindas, memininggirkan dan memusnahkan Penduduk Asli Papua dengan kedaulatan semu yang diperkuat dengan semangat rasismse, fasisme, militerisme, kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme dan ketidakadilan.
14. Apakah mengajarkan secara paksa sejarah Indonedia, hafal pahlawan Indonesia, hafal Pancaslia, UUD45, Bhineka Tunggal Ika, hormat bendara merah Putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu Satu Nusa Satu Bangsa, lagu Dari Sabang sampai Merauke, lagu Ibu kita Kartini, ini bisa dikatakan kedaulatan Indonesia atas bangsa Papua?
15. Masih ada pengungsi 16.000 orang dari Nduga, Maybrat, Puncak, Intan Jaya, Yahukimo dan Pegunungan Bintang yang belum kembali ke kampung halaman mereka. Pengungsian dalam Negara sendiri adalah suatu peristiwa sangat memalukan bagi bangsa Indonesia.
16. Empat akar persoalan Papua
Masalah Papua seperti luka membusuk dan dan bernanah itu sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai berikut:
(1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
17. Pendapat para pakar, ilmuwan dan rohaniawan
Melihat tragedi kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM yang dilakukan Negara, Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno menggambarkan sebagai berikut:
“Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya unuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus.”
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Franz: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Sementara alm.Pastor Frans Lieshout, OFM sebagai Gembala dan Guru Bagi Papua mengungkapkan:
“..Orang tidak mau mendengar orang Papua, apa yang ada dihati mereka, aspirasi mereka. Aspirasi itu dipadamkan dengan senjata, kita harus mengutuk itu. Pendekatan Indonesia terhadap Papua harus kita kutuk. Orang Papua telah menjadi minoritas di negerinya sendiri. Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia.” (Sumber bacaan: Pastor Frans Lieshout. Gembala Dan Guru Bagi Papua. hal.399, 601).
Masalah Papua seperti luka membusuk dan dan bernanah itu sudah dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sudah tertuang dalam buku Papua Road Map, yaitu 4 akar persoalan sebagai berikut:
Sedangkan ibu Dr. Anti Soleman dalam saat peluncuran 5 buku Seri Sejarah Politik, HAM dan Demokrasi di West Papua karya Markus Haluk di Graha Oikoumene, Jakarta, Kamis (15/6/2023) menyatakan, “Buku ini (karya Haluk) cerita tentang luka. Luka tentang Papua itu tidak saja ada pada kami seperti usia saya yang sudah 71 tahun, tapi luka itu sudah ada dalam hidup anak dan cucu kita, umurnya 17 tahun”.
Dalam kata pengantar buku saya berjudul: “Tebing Terjal Perdamaian di Tanah Papua” Ibu Dr. Adriana Elizabeth mengatakan:
“Berbagai peristiwa yang terjadi di Papua menunjukkan bahwa diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang menimpa orang Papua masih berlangsung sampai hari ini.
Senator dari Aceh Fachrul Razi mengatakan:
“Kita harus jujur dan berani menyatakan kebenaran bahwa memang terjadi pelanggaran HAM berat di Papua…. saya melihat Otonomi Khusus Papua saat ini bukan otonomi sebenarnya. Jadi jangan lagi dijanji-janjikan otsus. Otsus itu kan saya lihat ujung-ujungnya tipu-tipu juga”. (Sumber: Fachrul Razi Senator dari Aceh,Law Justice.co; Mediatimor.com, 24/11/2019)
Yang jelas dan pasti: Indonesia tidak ada kedaulatan di Tanah Papua. Karena tidak ada keterlibatan, persetujuan, dukungan dan legitimasi rakyat dan bangsa Papua. Mayoritas 98% rakyat dan bangsa Papua Barat menolak pendudukan dan penjajahan yang ilegal di atas TANAH Papua.
Penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia adalah persetujuan bangsa-bangsa asing dan bangsa pencuri, perampok dan pembunuh, yaitu: Indonesia dan Belanda yang dimediasi Amerika Serikat untuk tujuan merampok tambang di Mimika (Tembagapura) dan Gas di Bintuni dan masih banyak lainnya. Hanya motif ekonomi dan politik, bangsa Indonesia ada di Tanah Papua tanpa dukungan dan legitimasi Penduduk Orang Asli Papua.
Doa dan harapan saya, bahwa tulisan pendek ini membuka perspektif baru bagi para Gereja di Tanah Papua Barat tentang status politik Papua Barat dalam wilayah Indonesia.
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Selamat Tahun Baru 1 Januari 2024
Ita Wakhu Purom, 1 Januari 2024
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Baptist World Alliance (BWA).
Editor: Redaksi