Siaran Pers : Koalisi LSM HAM dan Solidaritas Individu
Terkait Pengadilan HAM Kasus Paniai 2014 di PN Makasar
A. Kronologis:
Pada tanggal 7 Des 2014 terjadi pemukulan terhadap sekumpulan anak muda yang sedang berada di Pondok Natal, pelaku diduga anggota Timsus 753/AVT Nabire. Pada tanggal 8 Des 2014 masyarakat melakukan aksi menuntut agar pelaku bertanggungjawab dalam bentuk melakukan pemalangan KM 4 Jalan Poros Madi Enarotali Distrik Paniai Timur (lokasi Gunung Merah). Aksi diteruskan dengan long march hingga ke lapangan Karel Gobay (dulu lapangan Soeharto). Setibanya di lapangan Karel Gobay massa melakukan tarian waita.
Sebagian melakukan pelemparan terhadap sejumlah kantor pelayanan publik di sekitar lapangan : Polsek
Paniai Timur, Kantor Distrik Paniai Timur dan Kantor Koramil Paniai Timur. Aparat merespon aksi dengan bertindak represif hingga 4 (empat) orang meninggal dunia (3 luka tembak dan 1 luka tusuk/tikam) dan puluhan lainnya mengalami luka-luka. Saat itu, Paniai berstatus daerah rawan/merah melalui kebijakan Operasi Aman Matoa V terbukti dengan ditempatkan berbagai satuan keamanan non organik selain organik.
Setidaknya terdapat : Polres Paniai, Polsek Timur Paniai, Satuan Pelton Brimob, Koramil 1702 Enarotali,Timsus /Yonif 753/AVT/Nabire, Perwira
Penghubung (Pabung) utk persiapan pembentukan Kodim, Paskhas TNI AU dan Kopassus.
B. Respon Negara
Menyikapi peristiwa tersebut, berbagai tim dibentuk oleh pemerintah yakni Tim Polri :
Polres Paniai, Polda Papua dan Mabes POLRI dengan kesimpulan bahwa terjadinya korban karena tembakan dari aparat TNI dari dalam Koramil. Presiden Jokowi juga memerintahkan Menkopolhukam membentuk Tim Gabungan TNI dan POLRI namun tidak ada hasil konkrit.
KOMNAS HAM RI berdasarkan pengaduan masyarakat Paniai, melakukan investigasi berdasarkan amanat Undang Undang No. 39 Tahun 1999. Menyimpulkan bahwa dalam peristiwa Paniai 7 – 8 Desember 2014, diduga telah terjadi pelanggaran HAM yang berat.
KOMNAS HAM RI telah memanggil 43 orang saksi terdiri dari Penduduk sipil (11 orang); Anggota POLRI (18 orang); Purnawirawan POLRI (2 orang); Angg TNI (2 orang), Purn TNI (4 orang,) dan ASN (6 orang), terdapat 26 orang saksi yang memenuhi panggilan yakni : Penduduk Sipil (7 orang), Anggota POLRI (16 orang), Purn POLRI (2 orang), anggota TNI (-) Purn TNI (1 orang) dan ASN (0) selain itu ada 1 (satu) saksi yang memberikan keterangan tertulis yakni purnawirawan TNI.
Sedangkan laporan dari KOMNAS HAM RI menyebutkan Pelaku dapat dibagi menjadi Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan dan Pelaku Pembiaran.
KOMNAS HAM juga menyebut adanya dugaan Pelaku Peristiwa
Penganiayaan 7 Desember 2014 yakni Komandan Timsus Yonif 753/AVT pada saat Peristiwa Paniai terjadi tanggal 7-8 Desember 2014.
Setelah proses panjang selama 8 tahun, sidang pengadilan HAM Paniai tahun 2014 dimulai pada tanggal 21 September 2022 di PN Makasar dengan seorang terdakwa yakni Mayor Inf (Purn) Isak Sattu, saat kejadian merupakan perwira penghubung (Pabung) Kodim di Paniai.
Surat dakwaan disusun secara kumulatif yakni Dakwaan Kesatu: Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Dakwaan Kedua : Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Ancaman pidana maksimal adalah hukuman mati dan pidana minimal 10 tahun. Majelis Hakim terdiri dari Sutisna Sawati S.H (Ketua), Muhammad Rahman Yusuf Karim (anggota), Siti Noor Laila S.H (anggota), Robert Pasaribu SH; MH (angggota) dan Sofi Rahmadewi S.H; MH (anggota).
C. Saksi dan Ahli
Pada saat persidangan, JPU mengagendakan pemeriksaan 52 saksi dan ahli. Saksi yang diperiksa sebanyak 29 orang terdiri dari Polisi(10 orang), TNI(11 orang, 1 Saksi masyarakat, 1 Saksi Dewan Adat Paniai, dan 6 ahli. 4 saksi korban yang diagendakan memberikan kesaksian, tidak hadir namun 3 diantaranya BAPnya dibacakan yakni Naftali Gobay, Yeremias Kayame dan Marselina Gobay. Adapun terdakwa tidak menghadirkan saksi meringankan.
Saksi-saksi yang disebutkan dengan jelas dalam Surat Dakwaan JPU sebanyak 13 orang dimana 5 diantaranya merupakan saksi korban. Ada 14 saksi diluar Surat Dakwaan.
Selain itu Surat Dakwaan juga menyebut institusi tanpa menyebut secara individu yakni : 1. TNI Rider/Timsus 753/YON/AVT/Nabire sekitar 7-8 Orang (Hal : 3) 2. Anggota YONIF 753/AVT yang datang berikutnya menggunakan kendaraan roda empat Toyota Hilux, tidak disebut berapa jumlah mereka, mereka dipimpin oleh Kapten (Pas) Hengky Hermawan (Hal : 4).JPU menghadirkan 6 ahli yakni : 1. dr. Agus, dokter RSUD Paniai 2. Dr. Wahyu Wibowo SH MH, Dosen Hukum Universitas Ahmad Yani Cimahi Bandung, Spesifikasi Hukum Militer 3. Dr. Dwi Ajeng Wulan Kristianti S.H.LL Dosen Universitas Padjajaran ahli bidang Hukum Internasional. 4. Kombes Maruli Simanjuntak Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri 5. Imam Tri Handono PhD, (Dosen) 6. Dr. K Sulaiman, SH,MH (Ahli Forensik) Pokok-Pokok Pendapat Ahli : 1. Hanya dilakukan visum luar terhadap 4 korban yakni 1 dilakukan di rumah sakit (8 Des 2014) dan 3 korban meninggal dunia di lapangan Karel Gobay pada saat akan dimakamkan(11 Des 2014).
2. Pada prinsip penggunaan senjata ada batasannya, dalam hukum humaniter, prajurit tidak boleh sembarang menembak. Perwira Penghubung (Pabung)
<span;>sebagai komandan de facto mempunyai kewenangan untuk mencegah atau menghentikan tindakan penembakan tergantung eskalasi taktis.
3. Di dalam UU TNI (UU No. 34/2004) Pasal 7, TNI Bertugas membantu aparat mengatasi masalah keamanan ketertiban masyarakat, komando seharusnya ada di Kepolisian. TNI seharusnya berkoordinasi dengan polisi dan mengikuti prosedur penggunaan senjata. Prajurit yang berada di wilayah rawan, langsung dilengkapi senjata, seperti di Paniai.
4. Kepolisian melakukan pelanggaran ‘by omission’ karena tidak melaksanakan
tugas kewajibannya sebagai aparat keamanan dan juga merupakan culpa (kelalaian) yang berat.
5. Tindakan yg dilakukan masyarakat sipil seperti lemparan batu dan panah,
tidak bisa disebut ‘combatan’, kecuali kalau melibatkan diri secara langsung dalam ‘hostilities’.
6. Unsur ‘perpanjangan tangan negara’ membuat adanya tanggung jawab komando dimana komandan bertanggung jawab secara pidana dan perdata mengenai kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya. Pimpinan diatas Pabung harus diminta pertanggungjawaban terkait ‘pelanggaran dalam operasi’ jika tidak maka terjadi impunitas. Meskipun institusi yang terlibat pada tanggal 7 dan 8 berbeda, namun harus ada pertanggungjawab dari masing-masing komando.
7. Pada peristiwa Paniai 2014 unsur sistematis dapat dibuktikan dengan adanya hubungan subordinasi atasan dan bawahan dari institusi TNI dan polisi, dimana korban tertembak peluru senjata tajam dari Koramil dan Polsek, oleh karenanya komandan de jure dari kedua kesatuan ini harus bertanggung jawab dan memiliki kewajiban menyerahkan anak buahnya yang terlibat untuk
tanggal 7 desember 2014 dan 8 desember 2014, 8. Pelanggaran HAM berat tidak bisa dilakukan perorangan karena dilakukan secara terstruktur dan terorganisir.
D. Tuntutan
Pada tanggal 14 November 2022, JPU menuntut terdakwa pidana pendajara 10 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 42 ayat (1) huruf a dan b juncto pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, serta pasal 37. UU No.26 tahun 2000. Terdakwa dikatakan tidak mampu mengendalikan pasukan koramil 1705/Enarotali dalam peristiwa tanggal 8 Desember 2014 yang menyebabkan empat orang meninggal dunia dan 10 orang
luka-luka. Tuntutan 10 tahun adalah ancaman pidana paling singkat dari ancaman pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun.
E. Pembuktian Unsur Pelanggaran HAM :
1. Unsur Sistematis : adanya kebijakan yang menempatkan Paniai sebagai daerah merah/rawan ditindaklanjuti dengan adanya operasi dan penempatan pasukan dari kesatuan khusus sehingga pendekatan penanganan masalah keamanan direspon dengan pola serupa/represif/melampaui batas kewajaran.
Istilah “sistematis” mencerminkan “suatu pola atau metode tertentu” yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap. 2. Unsur Meluas : ada pola keterkaitan dari rangkaian peristiwa serangan di tanggal 7 desember 2014 dan 8 desember 2014 yang menyebabkan terjadinya korban dalam satu lingkup kebijakan yang sama. Peristiwa ini berupa serangan yang ditargetkan kepada masyarakat sipil (penyiksaan dan pembunuhan). ‘Meluas juga dapat diartikan sebagai tindakan yang sering/berulang-ulang, tindakan dalam skala yang besar, dilaksanakan secara
kolektif dan berakibat yang serius”.
F. Pendapat
1. Dalam konstruksi Dakwaan kasus Paniai 2014 merupakan kejahatan kemanusian melalui ‘serangan yang meluas atau sitematik yang diketahui
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil’.
Hukum dan standar interasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa mereka yang memiliki tanggungjawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggungawab pidana. Contoh pada peradilan HAM Timor Leste mengadili 5 orang; Abepura 2 orang dan Tanjung Priok 12 orang.
2. Bahwa Meski terdakwa Mayor Infantri(Purn) Isak Sattu sebagai pabung yang tidak memiliki pasukan namun terdakwa merupakan pemilik pangkat tertinggi yang ada di lokasi kejadian sehingga menjadi pemilik komando efektif dan
komando de facto. Seharusnya mampu memberikan perintah penghentian penembakan setelah massa membubarkan diri. Adapun Komandan de jure yakni Dandramil yang bertanggung jawab untuk menindak bawahannya yang
melakukan penembakan.
3. Pertanggungjawaban komando tidaklah terhenti pada orang yang memberikan perintah saja akan tetapi juga termasuk pertanggungjawaban atasan yang tidak mencegah atau menghentikan tindakan pelanggaran HAM berat atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana Pasal 42 UU No.26/2000. Oleh karena itu sudah sepatutnya dakwaan tidak hanya menyasar Mayor infantri (Purn)Isak Sattu sebagai Pabung tetapi juga dikenakan pada atasan yang dalam hal ini telah diduga tidak mencegah atau menghentikan dan menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib.
4. Negara belum sepenuhnya bersungguh-sungguh dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme yudisial. Pengadilan HAM cenderung digunakan sebagai alat politik, tameng juga upaya pencitraan untuk merespon desakan dari berbagai pihak terkait berbagai permasalahan HAM yang terjadi di Papua. Akibatnya pemenuhan hak korban untuk mendapatkan keadilan tetap terabaikan dan juga tidak mampu mengakhiri impunitas.
G. Rekomendasi :
1. Pada sidang putusan tanggal 5 Desember 2022, Majelis Hakim diharapkan memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa serta menggunakan hukum yang progresif dalam hal memutuskan adanya pihak lain yang seharunya diminta pertanggungjawaban dengan memerintahkan kejaksaan
Agung RI untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku dengan kategori : Komando Pembuat Kebijakan, Komando Efektif di Lapangan, Pelaku Lapangan dan Pelaku Pembiaran.
Mempertimbangkan asas “kepastian hukum” dan memperhatikan nilai-nilai
keadilan yang terdapat di masyarakat secara khusus memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku lainnya yang belum dimintai pertanggungjawabannya.
2. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua melalui mekanisme yudisial terutama pada kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 yang sudah pada tahap proses penyelidikan di KOMNAS HAM RI.
3. Berbagai gerakan masyarakat sipil secara kelembagaan dan individu memperkuat advokasi dan bersolidaritas untuk mendesak pemerintahan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
4. Kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor 01/Pid.Sus-HAM/2022/PN/MKS. Bahwa Majelis Pemeriksa Perkara juga harus memperhatikan Hak dari para korban tentang Restitusi, Kompensasi dan Rehabilitasi sebagaimana amanat Pasal 35 Ayat 3 UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM dan juga ditegaskan dalam Peraturan Pelaksana Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban
Pelanggaran HAM yang berat
Jayapura, 25 November 2022
Koalisi LSM HAM dan Solidaritas Individu :
1. Aliansi Demokrasi untuk Papua(AlDP)
2. Lembaga Studi dan Advokasi HAM (Papua ElsHAM Papua)
3. Perkumpulan Pengacara HAM (PAHAM)
4. Lembaga Bantuan Hukum Papua(LBH Papua)
5. Yayasan Anak Dusun Papua(Yadupa)
6. Dr. I Ngurah Suryawan (Universitas Papua/Universitas Indonesia)
7. Bersatu untuk Keadilan (BUK)
8. Perkumpulan Bantuan Hukum Cenderawasih (PBH-C)
9. Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua (TIKI)
10.Make West Papua Safe (MWPS)
11.Hamim Mustofa, S.Kom.,M.A.P (Akademisi Universitas Muhammadiyah Papua)
12.Unit Kegiatan Mahasiswa Demokrasi, HAM dan lingkungan (UKM DEHALING) Universitas Cenderawasih
Editor: Redaksi