Simaklah tulisan ibu KM sebagai berikut

Kegelisahan hati saya selama di Papua dsn saya menemukan jawabannya dalam buku dan artikel Gembaladan Guru Bangsa Dr. Socrates S. Yoman, MAÂ
Melalui tulisan ini saya mau membagi pengalaman saya, lebih pada pergumulan iman dan kegelisahan selama saya hidup, berada dan berkarya di Papua.
ORANG ASLI PAPUA DISINGKIRKAN*
Tahun 2016 adalah awal perjumpaan saya dengan Papua. Waktu itu saat turun dari pesawat di bandara Sentani, saya cukup kaget dan bingung. Kaget karena saya hanya bertemu 4 orang Papua sebagai petugas bandara dan sisanya (dalam jumlah yang banyak) adalah orang pendatang. Bingung karena saya berusaha meyakinkan diri sendiri.
Benarkah saya sudah berada di bandara Sentani Papua? Ataukah saya masih di Bandara Makasar? Tapi ini benar-benar bandara Sentani. Ini benar-benar Papua. Lalau kemana orang asli Papua? Kenapa yang saya temui justru orang-orang rambut lurus kulit putih? Itu adalah pertanyaan pertama yang menggelisahkan saya sejak pertama kali saya tiba di bandara Sentani.
Saat keluar dari pintu bandara Sentani, saya melihat Cafe-Cafe berjajar di teras depan bandara. Dalam cafe tersebut, saya berusaha mencarai orang asli Papua. Tidak saya temukan. Mata saya kemudian terarah pada sudut-sudut pintu keberangkatan. Di sana ada beberapa laki-laki Papua berkumpul dengan seragam yang sama. Ternyata mereka adalah porter bandara.
Bagi kebanyakan orang, ini hal biasa. Tapi hati saya sedih dan gelisah melihat bapak-bapak porter yang mengangkat barang, menjalani hidup yang sangat keras untuk bisa makan. Disisi lain, Cafe-Cafe bandara justru dipadati orang-orang rambut lurus kulit putih yang tertawa ria sambil membuang asap rokok.
Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Wamena _fligt_ (penerbangan) kedua, jam 11 siang. Saya sudah tidak sabar ingin ke Wamena. Perkiraan saya, saya pasti akan bertemu dengan lebih banyak orang Papua.
Sampai di bandara Wamena, saya melihat hal yang sama di bandara Sentani. Saya bertanya-tanya. Kenapa pekerjaan _kasar_ (buruh ; angkat barang, dll) selalu identik dengan orang Papua dan pekerjaan-pekerjaan yang lebih halus dilakukan oleh orang pendatang (seperti petugas checkin, operator, pemilik cafe, dll).
Selain itu, selama berada dalam pesawat, saya tidak menemukan satu pun pramugari/pramugara yang merupakan orang asli Papua (dengan ciri khas kulit hitam rambut keriting). Padahal ini di pesawat Trigana Air yang sudah melayani berbagai penerbangan di Papua tetapi tidak ada satupun pramugari/pramugara dari Papua.
Selama awal-awal keberadaan saya di Wamena, saya sangat suka jalan-jalan ke pasar. Saya senang lihat mama-mama pikul noken besar berisi sayur, ubi dan hasil-hasil alam lainnya. Perempuan Papua itu kuat dan pekerja keras.
Tetapi hati saya selalu menyimpan segudang pertanyaan yang sama tiap kali ke pasar. Kenapa ruko-ruko, kios-kios yang di pasar semuanya dikuasai orang pendatang? Kenapa mama-mama yang pikul noken berisi hasil alam ini hanya dapat tempat diemperan ruko atau ditempat-tempat terbuka yang sedikit kumuh? Kenapa tidak ada kebijakan pemerintah bagi mama-mama ini untuk punya tempat permanen seperti ruko atau kios jual hasil bumi.
Hanya dengan melihat saja, saya bisa melihat sistem kapitalis yang kejam terhadap orang-orang Papua. Saya protes di dalam hati.
Yang paling lucu sekaligus miris, ruko-ruko dan kios-kios ini hampir semua dibentengi dengan pagar besi. Kadang jika ada mama-mama, tete-tete, atau orang Papua lainnya yang ingin berbelanja, mereka menyerahkan uang lewat celah-celah pagar karena dikunci rapat.
Secara simbolis, saya melihat hal ini sebagai bentuk penolakan terhadap orang asli Papua.
Saya suka mendengar berita RRI Wamena tiap jam 6 pagi. Ada sebuah berita unik yang saya dengar lewat RRI Wamena dan hal ini saya catat dalam buku harian pribadi tgl 22 Februari 2017. Beritanya tentang perkelahian antara abang ojek dan becak. Perkelahian ini terjadi karena Aliansi abang becak di Wamena protes terhadap ojek-ojek yang beroperasi di sekitar kota Wamena. Menurut mereka, ojek harusnya hanya melayani dari kota Wamena ke distrik, bukan didalam kota.
Becak seluruhnya adalah orang asli Papua, sedangkan ojek hampir seluruhnya orang pendatang.
Saya tidak mengerti bagaimana aturan yang ditetapkan pemerintah, tetapi tuntutan aliansi becak ini ada benarnya. Mereka jadi kehilangan sumber penghasilan karena semua didomimasi oleh ojek. Harusnya ada aturan dari Pemda yang jelas agar becak tetap diprioritaskan masyarakat sebagai transportasi dalam kota.
Saya cerita berita ini ke salah satu teman. Lalu dia bilang “orang lebih suka naik ojek karena aman” Saya mengerti maksud teman ini. Aman dalam artian kalau dengan orang Papua nanti kami (orang pendatang) akan dilukai. Saya langsung bilang ke teman itu “Orang Papua itu ramah, anda saja yang tidak mau membuka diri. Belum kenal kok sudah beri stigma negatif?”
Saya kemudian cerita pengalaman saya naik becak di Wamena. Saya diantar hingga tempat tujuan dengan baik. Saya minta adik becak untuk tunggu dan dia menunggu. Sepanjang jalan kami bercerita. Ternyata becak adalah sumber penghasilannya untuk bayar uang sekolah. Tiap pulang sekolah dia langsung tarik becak
Ternyata lewat becak, saya bisa tahu perjuangan anak-anak Papua untuk bisa sekolah.
*PENTINGNYA PERAN BAHASA DAERAH DI SEKOLAH*
Hal ini membuat saya makin bertanya-tanya. Kenapa sulit sekali bagi anak-anak Papua untuk bisa sekolah. Sudah susah-susah cari uang sekolah, mereka di sekolahpun tidak belajar dengan baik. Apalagi sekolah di pos-pos. Sudah jadi rahasia umum, guru malas mengajar. Ataupun kalau mengajar, hanya mengajar seadanya.
Sekolah-sekolah di kota Wamena lebih banyak dipenuhi anak-anak pendatang. Anak-anak Papua lebih banyak belajar di sekolah-sekolah pinggiran. Sistem zonasi (siswa hanya dapat belajar di sekolah yang jaraknya 3km dari rumah) yang saat ini berlaku sebenarnya tidak terlalu menguntungkan bagi orang Papua. Karena sistem zonasi buat anak-anak Papua khususnya yang di pos makin dipersulit untuk masuk sekolah-sekolah terbaik di kota.
Selain itu, keterbatasan anak-anak Papua dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar di kelas juga masih menjadi momok. Saya pernah berpikir, kenapa tidak gunakan saja bahasa daerah di kelas supaya anak-anak cepat mengerti pelajaran. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan sekolah-sekolah pada zaman penjajahan Belanda di Jawa yang menggunakan bahasa Belanda. Tidak semua anak Jawa memahami bahasa Belanda. Pantas saja Jawa saat itu sangat tertinggal.
Jika direfleksikan pada kondisi Papua saat ini, sungguh tidak jauh berbeda. Anak-anak Papua dipaksa belajar dalam bahasa Indonesia, pantas saja mereka terus tertinggal.
Berikutnya ruang kelas. Saya rasa ruang kelas dengan gedung yang kaku serta deretan bangku seperti di sekolah-sekolah pada umumnya, tidak sesuai dengan jiwa anak-anak Papua. Keseharian mereka adalah hidup dengan alam. Kondisi sekolah saat ini paradoks dengan realita hidup mereka sehari-hari. Padahal, pendidikan harusnya sejalan dengan realitas hidup anak-anak.
Saya pernah berkunjung ke rumah salah satu siswa di Megapura. Rumahnya dalam bentuk honai. Sampai di sana, dia persilakan saya masuk ke honai. Tidak ada lantai semen. Yang ada hanya tanah beralaskan rumput. Ditengah-tengah ada hipere (ubi jalar) yang dibakar pada bara api. Karena kedua orangtua anak ini tidak mengerti bahasa Indonesia, dia menjadi penerjemah bagi saya untuk dihubungkan dengan orangtuanya. Sejak saat itu saya menyadari betapa pentingnya belajar bahasa daerah supaya bisa berkomunikasi dengan orangtua dari siswa yang di-didik.
Kembali ke honai. Setelah berbicara dengan orangtua siswa tersebut, saya jadi mengerti bahwa ternyata honai selain menjadi rumah, honai juga merupakan “sekolah kehidupan” di mana yang menjadi guru adalah orangtua itu sendiri. Mereka sering duduk melingkar dan pada saat itu juga, sambil makan ubi bakar, anak-anaknya dinasehati. Indah sekali.
Kenapa pendidikan di Papua tidak mengadopsi pola pendidikan “Honai” ini? Saya pikir pola pendidikan seperti ini yang akan berhasil karena sesuai dengan budaya orang Papua, khususnya di pegunungan tengah.
Setelah berbicara dengan orangtua anak tersebut, tanpa sadar saya sudah menghabisi 5 potong hipere bakar. Hari yang tak terlupakan!
*BELAJAR MANDIRI : AKHIRNYA MENEMUKAN BUKU YANG TEPAT*
Untuk menjawab semua kegelisahan itu, saya berusaha untuk belajar mandiri. Saya mencari buku-buku tentang Papua. Ada banyak buku tentang Papua, sayangnya penulis buku-buku tersebut adalah orang-orang non Papua. Bahkan ada yang menulis jauh dari realitas hidup orang Papua yang selama ini saya temui.
Februari 2019, tanpa sengaja saya bertemu dengan buku berjudul: “Mereka yang Melayani dengan Kasih”. Buku ini ditulis oleh orang asli Papua, gembala Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (PGBWP).
Awalnya saya tertarik beli buku ini karena berisi sejarah Gereja Baptis Papua. Semakin dibaca, saya makin menemukan jawaban dari kegelisahan saya selama ini. Ternyata ada yang menulis tentang apa yang jadi pergumulan batin saya selama ini.
Sejak saat itu, saya mencari buku-buku yang beliau tulis. Sayangnya buku-buku tersebut tidak dijual secara komersil di toko buku online maupun tokoh buku skala besar.
Tetapi Tuhan buka jalan. Saat ini, dari 25 judul buku yang sudah ditulis, saya sudah baca beberapa buku. Ada beberapa buku yang juga akan saya baca, diantaranya :
1. Pintu Menuju Papua Merdeka (2000)(sudah baca)
Mereka yang Melayani Dengan Kasih (2017) (sudah baca)
2. Tebing Terjal Perdamaian di TanahPapua (2019) (sudah baca)
3. Pemusnahan Etnis Melanesia (2007) (sudah baca)
4. Saya Bukan Bangsa Budak (2012) (sudah baca)
5. Otonomi Khusus Telah Gagal (2012) (sudah baca)
6. Yesus Sang Guru Agung (2018) (sudah baca)
7. Suara Bagi Kaum tak Bersuara (2009) (sedang baca)
8. Surat – Surat Gembala (2018) (akan baca)9. Suara Gembala (2012) (akan baca)
REKOMENDASI
Saya rekomendasikan dengan kuat kepada orang-orang pendatang suatu keharusan membeli dan membaca buku-buku Gembala Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA.
Semua rahasia, fakta tentang sejarah, pelanggaran ham, suburnya perlakuan rasisme dan terpinggirnya serta penderitaan panjang Orang Asli Papua telah direkam dengan teliti dalam buku-buku dan artikel ilmiah, opini oleh Gembala Gembala Dr. Yoman.
Orang Lani asli, anak dari honai, koteka, dari Pegunungan Papua, anak Papua dan anak Melanesia yang bernama asli Ambirek Godmendekmbak Yoman ini, saya yakin dengan iman, beliau dihadirkan dan dianugerahkan serta pemberian Tuhan untuk rakyat dan bangsa Melanesia, khusus di Tanah Papua pada saat-saat yang sulit seperti sekarang ini.
Wamena, 24 November 2019
Terima kasih. Selamat Membaca.