Suara Dari Tanah Operasi Militer: TPNPB Bukan KKB Dan Teroris

SAYA DILAHIRKAN DALAM HONAI DI PEGUNUNGAN PAPUA UNTUK MENJADI PENULIS TENTANG PERJUANGAN HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI RAKYAT DAN BANGSAKU DI ATAS TANAH LELUHUR KAMI
(TPBPB berjuang dengan senjata, ULMWP rumah politik berjuang dengan lobby dan diplomasi, KNPB berjuang dengan gerakan-gerakan moral di front lineĀ di kota-kota. Semuanya hanya satu tujuan, yaitu Hak Penentuan Nasib Sendiri)
OlehĀ Gembala DR.Ā A.G. Socrates Yoman
“Saya menulis penderitaan bangsaku dengan bolpen tulang belulang dan tinta air mata dan darah, supaya suara ini tertulis abadi dalam hati semua orang saleh dan berbudi luhur yang menjadi bagian dari penderitaan Penduduk Orang Asli Papua (POAP).”
1. PENDAHULUAN
Saya menulis sudah 24 tahun sejak 1999. Selama 24 tahun, saya sudah baktikan ilmu dan iman saya untuk rakyat dan bangsaku 29 judul buku. Saya masih menulis dan akan menulis, hingga bangsaku benar-benar merdeka sebagai bangsa berdaulat penuh di atas Tanah warisan atau pusaka leluhur kami.
Sampai saatnya nanti, betapa indahnya saya akan menyaksikan dua bangsa, yaitu bangsa Indonesia dan bangsa Papua Barat duduk berdampingan atau berhadap-hadapan di satu meja bercerita bertukar sejarah kehidupan mereka sebagai dua bangsa yang sederajat di hadapan Tuhan dan di depan komunitas internasional.
Waktu pertama kali, saya menulis buku berjudul: RAKYAT PAPUA BUKAN SEPARATIS (1999). Buku ini tidak sistematis. Buku ini saya tulis untuk membantah atau menolak pernyataan Ketua DPR RI Akbar Tanjung (waktu itu) dalam Sidang Paripurna DPR RI dalam menyikapi kebangkitan dan gerakan perlawanan rakyat dan Papua Barat tahun 1998 yang menuntut Hak Penentuan Nasib Sendiri di seluruh Tanah Papua.
Buku kecil itu bentuk resistensi (perlawanan) kecil yang saya lakukan pada waktu itu. Selanjutnya, saya menulis buku kedua yang berjudul:
“PINTU MENUJU PAPUA MERDEKA (PAPUA BARAT ALOM WONE: AKAR MASALAH PAPUA” (2000).
Berbagai bentuk respon atau tanggapan terhadap buku ini. Ada yang tidak setuju. Ada yang katakan buku yang tidak rasional atau tidak ilmiah. Kebanyakan komentar itu datang dari para sarjana senior Penduduk Orang Asli Papua (POAP). Saya tahu mereka. Ada yang sudah dipanggil Tuhan dan ada yang sudah tidak berdaya lagi dan sedang menyaksikan apa yang sedang terjadi terhadap POAP sekarang ini.
Dalam penolakan itu, ada banyak yang setuju, respon positif dan senang menikmati buku itu. Ada satu orang Papua mendekati saya dan mengatakan kepada saya ungkapan ini:
“Pak Yoman,Ā buku ini Kitab Suci kedua setelah Alkitab. Karena, Alkitab berbicara fakta dan kebenaran. Buku pak Yoman tulis ini adalah ungkapan fakta dan kebenaran sejarah bangsa Papua. Jadi, ini buku Kitab Suci kedua. Terima kasih banyak. Tuhan Yesus memberkati pak Yoman dan keluarga. Teruslah menulis untuk kami, bangsa Papua.”
Sebelumnya itu, isteri saya sampaikan:
“Bapak, sebenarnya mempunyai karunia penulis. Tuhan memberikan bapak talenta sebagai penulis. Lebih baik bapak mulai menulis.” ( Kuasa Kata-Kata: Yoman, 2022:10).
Isteri saya juga pernah menasihati saya melihat realitas kehidupan POAP seperti ini:
“Bapak, banyak orang yang ditangkap, disiksa, ditembak mati, luka-luka berat dan ringan yang sangat mengerikan dan kami merawat mereka di Rumah Sakit. Jadi, bagaimana gereja-gereja menyikapi tentang umat Tuhan ini? Gereja buat apa? Suara gereja ada dimana? Kamu membawa kamu punya gereja di langit dan berkoar-koar di sana, tidak boleh ada dalam dunia nyata seperti ini. Gereja itu bukan gedung ibadah itu, tetapi tubuh manusia itu yang disebut gereja.” (Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat: Yoman, 2007:73).
2. SAYA DILAHIRKAN MENJADI PENULIS
Saya menulis untuk rakyat dan bangsaku. Saya menulis untuk kemuliaan dan kehormatan bangsaku. Saya menulis untuk martabat bangsaku. Saya menulis untuk sampaikan pesan tentang penderitaan bangsaku kepada siapa saja. Saya menulis untuk nyalakan cahaya lilin kecil untuk bangsaku. Saya menulis untuk umumkan secara terbuka kepada semua orang tentangĀ krisis dan tragedi kemanusiaan berkepanjangan yang dialami bangsaku.
Saya menulis dengan visi kebangsaan. Saya menulis dengan tujuan. Saya menulis digerakkan dengan kekuatan visi, tujuan dan target. Saya menulis dengan keadaan sadar. Saya menulis apa yang saya tahu. Saya menulis apa yang saya mengerti. Saya menulis apa yang saya lihat. Saya menulis apa yang saya saksikan. Saya menulis apa yang saya alami. Saya menulis apa yang saya pikir. Saya tulis apa yang saya rasakan. Saya tulis apa yang saya suka.
Saya menulis menyuarakan yang tak bersuara. Saya menulis untuk bangsaku yang tertindas dan terjajah. Saya menulis untuk bangsaku yang terabaikan. Saya menulis untuk bangsaku yang dibuat tidak berdaya. Saya menulis untuk bangsaku yang terpinggirkan dari tanah leluhur mereka. Saya menulis untuk melindungi bangsaku yang merasa ketakutan. Saya menulis untuk menyelamatkan bangsaku yang sedang dimusnahkan oleh penguasa Indonesia sebagai Firaun dan Goliat moderen.
Saya menulis tentang sejarah bangsaku. Saya menulis tentang harga diri dan identitas bangsaku. Saya menulis pengalaman bangsaku. Saya menulis tentang harapan masa depan bangsaku.
Saya menulis untuk bebaskan bangsaku dalam rasa ketakutan. Saya menulis untuk sadarkan bangsaku yang sudah dilumpuhkan kesadaran oleh bangsa kolonial Indonesia. Saya meneguhkan dan menguatkan bangsaku yang ragu-ragu, kecewa dan bimbang
Menulis merupakan pertanggungjawanan iman dan ilmu pengetahuan serta panggilan hati nurani untuk rakyat dan bangsaku Melanesia di West Papua.
Tugas dan kewajiban sayaĀ dengan jalan menulis dapat mengubah cara pandang dan berpikir orang Melayu Indonesia, terutama penguasa, TNI-Polri yang menduduki dan menjajah bangsaku.
Saya senang dan suka mengutip komentar ini dalam beberapa tulisan saya. Kitipan ini menginspirasi saya untuk menulis dan menulis dan terus menulis untuk martabat bangsaku.
“Sukmatari, kau sudah melangkah. Jangan mundur. Tulis sebanyak-banyaknya tentang bangsamu. Bangsa tertindas yang selama berabad-abad membisu. Tulis, umumkan, jangan sampai tak melakukan perlawanan. Ingat gadis Jepara itu, ingat Mutatuli, ingat Hatta, ingat Suwardi Suryoningrat, Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, semua menggoncangkan sendi-sendi pemerintah kolonial dengan tulisan. Ya, dengan TULISAN! Menulis dan menulis sangat berbeda, ada orang menulis untuk klangenan, ada orang menulis untuk memperjuangkan sesuatu. Dan semua patriot yang kusebut, mereka menulis untuk memperjuangkan asas. Menulis hanya sebuah cara! Tulis Sukma.Tulis semua yang kau ketahui mengenai bangsamu. Tulis semua gejolak perasaanmu tentang bumi sekitarmu. Karena dengan menulis kau belajar bicara. ā¦ā (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Sukarno, Roman Zaman Pergerakan: hal. 201).
3. SAYA SUDAH MENULIS 29 BUKU
1. Rakyat Papua Bukan Separatis, dicetak 2000.
2. Pintu Menuju Papua Merdeka, dicetak 3.000.
3. PEPERA 1969 Tidak Demokratis, dicetak 3.000.
4. Orang Papua Bukan OPM, Separatis dan Makar, dicetak 3.000.
5. Suara Gereja Bagi Umat Tertindas, dicetak 3.000.
6. Suara Bagi Kaum Tak Bersuara, dicerak 3.000.
7. Pemusnahan Etnis Melanesia, dicetak 9.000 (sembilan ribu).
8. Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri, dicetak 3.000.
9. West Papua Persoalan Internasional, dicetak 3.000.
10. OPM (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka), dicetak 3.000.
11. Integrasi Papua Belum Selesai, dicetak 3.000.
12. Apakah Indonesia Menduduki dan Menjajah Papua? dicetak 3.000
13. Mengapa Orang Kristen Percaya Yesus? dicetak 2.000.
14. Saya Bukan Bangsa Budak, dicetak 3.000.
15. Kami Berdiri Di Sini, dicetak 3.000. Buku ini 2.500 buku dibagi gratis di Jawa.
16. Suara Gembala Menentang Kejahatan Kemanusiaan di Tanah Papua, dicetak 3.000.
17. Gereja dan Politik di Papua Barat, dicetak 3.000.
18. Otomomi Khusus Papua Gagal, dicetak 5.000 buku.
19.Yulce W.Enembe: Perempuan Inspirasional, dicetak 6.000.
20. Di Sini Aku Berdiri: Sebuah Perenungan tentang Kelahiran, Kematian, dan Kebangkitan Yesus, dicetak 3.000
21. Yesus Sang Guru Agung, dicetak 3.000.
22. Mereka yang Melayani Dengan KasihĀ dicetak 3.000.
23. Tebing Terjal Perdamaian di Tanah Papua, dicetak 3000.
24. Melawan Rasisme dan Stigma di Papua (2018), dicetak 5.000;
25. Konflik di Puncak Jaya: OPM Atau Proyek?
26. Jejak-Jejak Kekerasan Dan Militerisme di Papua (2021)
(27). Kami Bukan Bangsa Teroris (2021)
(28) Pemekaran Dan Kolonialisme Modern di Papua (2022)
(29) Kuasa Kata-Kata (2022)
4. ISI BUKUNYA BERULANG-ULANG
Para pembaca yang pernah membaca buku-buku saya bisa bosan, bahkan tidak mau membeli buku berikutnya. Karena ada beberapa buku pada bab tertentu isinya berulang-ulang walaupun judul bukunya berbeda-beda.
Jadi, pengulangan itu karena menurut sayaĀ persoalan pokok dan penting yang harus disuarakan terus-menerus. Pokok masalah yang tidak boleh hilang. Akar konflik vertikal antar Indonesia dan rakyat Papua yang tidak boleh digelapkan. Akar persoalan itu yang menyebabkanĀ konflik kekerasan dan tragedi kemanusiaan terpanjang dalam sejarah Indonesia.
Dr. J. Budi Hernawan OFM yang menulis kata pengantar buku saya berjudul: “SUARA BAGI KAUM TAK BERSUARA” dengan tepat mengatakan:
“Saya yakin bahwa pembaca yang mencari hiburan dan ketenangan akan salah alamat jika membaca buku ini; demikian pula pembaca yang mencari informasi rinci mengenai apa yang dulu dan sekarang terjadi di Papua. Seluruh tulisan yang ada dimaksudkan sebagai catatan kritis yang diharapkan mampu membangunkan kesadaran pembaca masalah yang terjadi di Tanah Papua sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Karena itu pembaca yang ingin menggali informasi dasar tentang Papua hendaknya membekali diri terlebih dulu sebelum membaca buku ini agar mampu memahami dan lebih-lebih, menikmati alur gagasan yang disajikan penulis.”
Selanjutnya, tujuan dan pentingnya dampak dari berulang-ulang tentang suatu pokok masalah digambarkan dengan tepat oleh alm. Pater Dr. Neles Tebay dalam kata pengantar buku saya berjudul: “KITA MEMINUM AIR DARI SUMUR KITA SENDIRI” (2010).
“Pemerintah Indonesia sudah biasa merangkum segala permasalahan di Papua dalam ‘tiga K’ (Kemiskinan, Kebodohan, dan Keterbelakangan). Sudah lama Pemerintah memiliki pandangan ini. Pandangan ini diungkapkan secara eksplisit dalam berbagai pidato oleh para pejabat Indonesia dan pernyataan-pernyataan mereka di media massa.”
“Kebanyakan orang, termasuk mereka yang menggunakan pernyataan di atas, tidak menyadari bahwa suatu pandangan yang diulangi terus-menerus akan mempunyai dampak yang luas. …Suatu pandangan, entah apapun isinya, akan mempengaruhi dan membentuk opini para pendengar apabila disampaikan terus menerus dalam berbagai kesempatan.”
Tepat apa yang disampaikan duaĀ cendikiawan dan ilmuwan yang dimiliki Kristen Katolik,Ā Dr. Budi Hernawan dan alm. Dr. Neles Tebay, bahwa pembaca bisa bingung dan juga sebaliknya pembaca dapat mengerti dengan utuh apa yang saya sampaikan berulang-ulang dan terus-menerus dalam buku-buku.
Alm. Dr. Neles Tebay dengan cerdas menangkap kerja keras Pemerintah IndonesiaĀ untuk dibelokkan dan dikaburkan, bahkan dihilangkan akar persoalan konflik vertikal antarĀ Pemerintah dengan Orang Asli Papua. Penguasa Indonesia selalu mempromosikan terus-menerus sebagai akar persoalan Papua, yaitu Kesejahteraan, Kemiskinan, Ketertinggalan, separatis, pembuat makar, OPM dan mitos baru yang diciptakan serdadu dan polisi Indonesia ialah Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB). Pada kenyataannya ialah TNI-Polri kriminal dan penjahat sesungguhnya selama ini.
Jadi, yang diulang-ulang dalam beberapa buku yang saya tulisĀ ialah persoalan Pepera 1969 sebagai akar persoalan yang dilawan oleh rakyat dan bangsa West Papua selama ini. Karena, Pepera 1969 telah menyebabkan tragedi dan krisis kemanusiaan di Tanah Papua. Pepera 1969 yang mengakibatkan Orang Asli Papua dibantai seperti hewan dan binatang atas nama kepentingan keamanan nasional. Pepera 1969 dimenangkan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pepera 1969 adalah akar dari kekejaman dan kejahatan kemanusiaan.
Ada yang pernah komentar dan saya membacanya, ” ada yang tulis banyak buku dengan judul yang berbeda tetapi isinya semua sama.”
Tetapi bagi mereka yang memiliki kepekaan iman dan kecerdasan intelektual seperti Dr. Budi Hernawan dan alm Dr. Neles Tebay, mampu menangkap pesan-pesan yang saya perjuangkan bagi rakyat dan bangsaku.
5. TUJUAN SAYA MENULIS BUKU
Saya membaktikan iman dan ilmu pengetahuan untuk bangsa saya, sudah 24 tahun sejak tahun 1999. Memulai menulis buku dengan beberapa tujuan.
Pertama, mempertahankan dan mempromosikan akar persoalan Papua, yaitu Pepera 1969. Akar konflik berdarah dan tragedi kemanusiaan ini jangan dihilangkan oleh penguasaĀ Indonesia yang menduduki dan menjajah bangsa West Papua. Karena, para kolonial selalu berjuang keras menghilangkan akar sejarah bangsa yang dijajah dengan jalan membakar seluruh buku-buku sumber sejarah bangsa yang diduduki. Dengan demikian, para kolonial dengan bebas menanam sejarah mereka.
Kedua, tugas dan kewajiban serta tanggungjawab saya untuk membangkitkan dan menyadarkan rakyat dan bangsa saya supaya ada kesadaran dan kebangkitan bahwa mereka mempunyai sejarah. Sejarah yang pahit dan sejarah penjajahan yang kejam dan brutal dari penguasa Indonesia yang berkultur militer.
Ketiga, tugas dan kewajiban serta tanggungjawab saya untuk mendidik dan mengubah cara pandang penguasa, TNI-Polri dan seluruh rakyat Indonesia supaya mereka tidak menilai kami keliru dan salah dengan berita-berita hoax yang diproduksi dan disebarkan penguasa dengan kepentingan mereka.
Keempat, saya menulis buku ini sebagai legacy atau warisan yang berharga bagi seluruh anak cucu kami dari Sorong-Merauke, bahkan di seluruh Kawasan Melanesia dan Pasifik.
Kelima, saya membaktikan dan mewariskan iman dan ilmu ini untuk kedua putra kami yang telah menjadi cahaya hatiĀ saya dan istri saya, Charles Marnixon Tabah Yoman dan Arnold Ap Nelson Mandela Yoman. Pada suatu saat saya dan mama mereka sudah tiada, mereka tidak boleh dihina oleh rakyat dan bangsa mereka. Mereka berdua selalu mendapat berkat, sapa dan senyum dari bangsa mereka mengingat karya-karya kedua orang tua saat ini. Charles dan Arnold Yoman tetap dikasihi dan dilindungi Tuhan dan juga dari seluruh alam di Tanah Melanesia ini. Saya dengan mama mereka tidak menghendaki kedua putra kami dijuluki anak-anak perampok, pencuri, penipu dan pembunuh. Doa dan harapan saya dan mama, kedua anak dan cucu kami pada suatu saat nanti diberikan senyum kecil yang tulus dari setiap orang yang mengenal dan temui mereka, bahwa kedua putra dan cucu ini dariĀ Gembala Yoman yang tukang melawan penguasa kolonial Indonesia yang menduduki dan menindas rakyat dan bangsa West Papua.
Doa dan harapan saya, tulisan ini menjadi berkat pencerahan bagi para pembaca.
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Waa…..Waa…..Kinaonak!
Ita Wakhu Purom, Rabu, 15 Februari 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).