Surat dari Papua Buat Yenny Wahid”

Kepada yang terhormat Saudari Yenny Wahid Putri Presiden Abdul Rahman Wahid atau yang lazim disebut Gus Dur di tempat.
Saya Pastor Izaak Bame, Pastor Gereja Katolik Keuskupan Manokwari-Sorong Papua Barat Daya, ingin menyampaikan pendapat Orang Asli Papua dari Sorong sampai Samoray-Merauke.
Pendapat itu sebagai berikut: Pertama: Saya berterima kasih kepada sdri Yenny Wahid yang telah turut mendiskusikan “Persoalan Papua dengan Pa Beny Wenda sebagai Presiden West Papua yang berada di pengsingan Inggris. Apa yang saudari Yenny Wahid tanyakan kepada Beny Wenda adalah pertanyan klasik yang terus ditanyakan kebanyakan Orang Indonesia maupun bukan Indonesia dan Orang bukan Indonesia kepada Orang Asli Papua dalam kesempatan-kesempatan apa saja dan jawaban Pa Beny pun menjadi jawaban klasik dari Orang Asli Papua kepada pihak Indonesia dan bukan Indonesia yang bertanya.
Karena, soal terberat dan termahal adalah “INDONESIA TIDAK PERNAH MENGAKUI SALAH” baik secara administrasi dan Fakta Hidup. Supaya saudari Yenny tidak dinilai NEGATIF oleh orang Asli Papua saya anjurkan sebaiknya jangan ajukan pertanyan yang klasik itu ke Orang Papua tapi bagaimana saudari Yenny bergerak dibidang kemanusian bagaimana memberi pendapat saudari Yenny ke Pemerintah Indonesia untuk mengubah POLA PENDEKATAN, yang membawa Orang Asli Papua untuk merasa dirinya sebagai Warga Negara Indonesia.
Karena pola pendekatan selama ini ada pola pendekatan Pemaksaan, hal itu lebih nyata kebijakan sepihak Pemerintah RI kepada perpanjangan OTONOMI KUSUS jilid II dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi di Tanah Papua bukan kehendak rakyat dan bangsa Papua.
Saya sampaikan kepada sdri Yenny seluruh Rakyat Asli Papua bukan ASN-POLITISI-TNI-POLRI menolak perpanjangan Otonomi Kusus. Bagaimana bisa Pemerintah Indonesia tidak mendengarkan Suara terbanyak tapi dengar suara AS-POLITISI -TNI-POLRI yang bagian kecil dari jumlah Orang Asli Papua. Kedua: Apa yang menjadi bahan diskusi antara saudari Yenny Wahid dengan Beny Wenda Presiden West Papua dipengasingan Inggris seharusnya menjadi diskusi terbuka supaya dengar pendapat seluruh Orang Asli Papua bukan hanya tanya satu-dua orang lalu jadikan pendapat satu-dua orang Asli Papua itu sebagai Pendapat seluruh Orang Papua.
Hal inii yang sekarang jadi masalah, karena pola pendekatan yang salah digunakan oleh Pemerintah Indonesia sehingga terjadilah “KONFLIK TERLAMA DITANAH PAPUA”.Praktek PEPERA jangan terulang lagi pada era yang orang Asli Papua banyak sudah melek Pendidikan.
Mengapa hasil “PEPERA”terus ditolak oleh Orang Asli Papua karena pola pendekatan yang salah bukan pakai pola Wan men Wan Vote tapi pakai pola keterwakilan maka banyak Orang Asli Papua sampai hari ini menolak hasil PEPERA.
Saya berharap saudari Yenny Wahid supaya jangan mengulangi “DOSA”itu, saya percaya kemauan dan kemampuan saudari Yenny untuk ikut membantu Pemerintah Indonesia supaya kemelut panjang ditanah Papua bisa terselesaikan secara adil dan bermartabat kalau tidak maka kedua pihak berdiri pada posisinya dan tidak ada titik temu yang diharapkan.
Ketiga: Sebagai informasi kepada saudari bahwa setiap Orang Asli Papua saat ini dia memiliki NASIONALISME tentang Papua yaitu Papua Merdeka. Bagaimana hal ini bisa terjadi karena Pemerintah Indonesia sudah salah pendekatan yaitu “POLA PEMAKSAAN” tanpa memberi EDUKASI kemanusiaan yang baik kepada Orang Asli Papua terkait dengan bergabungnya Orang Asli Papua dengan Negara Republik Indonesia.
Saya secara pribadi melihat bahwa persoalan Papua dengan Indonesia tidak ada jalan penyelesaian kecuali Indonesia bersedia membuat Dialog bermat sebagaimana yang pernah Pemerintah Indonesia buat dengan Pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Saudari Yenny tidak bisa menjadikam Otonomi Kusus untuk menjelaskan persoalan Papua. Mengapa karena Otonomi kusus bukan diberikan oleh Pemerintah Indonesia dari HATI tapi lebih pada SOAL POLITIK.
Demikian catatan saya.
Redaksi