Surat Terbuka Kepada Yang Terhormat, Bapak Ir. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia Di Jakarta
Surat Terbuka
Perihal: Pembebasan Penyanderaan Pilot Phillip Mark Mehrtens
Kepada Yang Terhormat,
Bapak Ir. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia
Di Jakarta
Shalom!
Bapak Ir. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia terimalah salam hormat dari saya.
Melalui surat terbuka ini, saya mau sampaikan kepada Bapak, bahwa peristiwa penyanderaan Pilot Phillip Mark Mehrtens di Paro, Nduga pada 7 Februari 2023 tidak dilihat terpisah dari seluruh persoalan kemanusiaan, ketidakadikan dan kekerasan Negara terhadap Penduduk Orang Asli Papua (POAP).
Dan juga tuntutan Egianus Kogeya Komandan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) juga tidak dilihat terpisah dari tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk.hak penentuan nasib sendiri atau Papua Barat Merdeka. Karena, apa yang dituntut Egianus Kogeya untuk Papua Barat merdeka ialah juga tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat sejak tahun 1960-an sampai sekarang ini.
Bapak Ir. Joko Widodo yang terhormat, tuntutan Egianus Kogeya adalah persoalan ideologi, nasionalisme dan hak dasar bagi rakyat dan bangsa Papua Barat. Dan ideologi dan nasionalisme tidak dapat dibunuh dan dhilangkan dengan Operasi Militer atau dengan pemberian uang suap kepada Egianus Kogeya atau dengan label teroris dan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Tuntutan Egianus Kogeya tidak terputus dari sejarah panjang perjuangan dan tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya menyampaikan beberapa contoh sebagai berikut:
1. Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa Papua secara terhormat menghadap Presiden Republik Indonesia Prof. B.J. Habibi di Istana Negara RI pada Jumat, 26 Februari 1996, dengan bermartabat sanpaikan tuntutan rakyat dan bangsa Papua tiga butir. Dari ketiga butir itu, pada butir pertama bunyinya sebagai berikut:
“Kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi.”
2. Musyawarah Besar Rakyat Papua (MUBES) pada 23-26 Februari 2000 menyampaikan ada tujuh butir dan dari tujuh butir itu, pada butir keempat berbunyi sebagai berikut:
“…kami menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961. Sebagaimana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J. Habibi beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 Pebruari 1999 di Istana Negara Jakarta.”
3. Kongres Nasional II Rakyat dan Bangsa Papua Barat pada 26 Mei-4 Juni 2000 menghasilkan enam butir penting. Dari enam butir itu ada tiga butir dari butir 1 sampai butir 3 berbunyi sebagai berikut:
“Bangsa Papua telah bwrdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961…Bangsa Papua melalui Kongres II menolak Neq York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua….Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil Pepera 1969, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan…”
Bapak Ir. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia yang terhormat, bahwa tuntutan untuk Papua Barat merdeka tidak pernah mati dan rakyat dan bangsa Papua Barat terus-menerus menyatakan dengan jujur, polos, sopan, bermartabat dan terhormat dalam berbagai kesempatan dari waktu ke waktu dan bukti bahwa sampai sekarang ini Egianus Kogeya Komandan TPNPB melakukan penyanderaan Capt.Pilot Phillip Mark Mehrtens.
Adapun fakta-fakta ideologi rakyat dan bangsa Papua Barat yang tetap hidup. Saya sampaikan beberapa suara rakyat dan bangsa Papua Barat sebagai berikut:
4. Pada 5-7 Juli 2011 diadakan Konferensi Perdamaian Papua dan perwakilan Kodam XVII Cenderawasih menjadi pembicara. Sebelumnya, ada permintaan bahw kalau saya sebut Papua saudara-saudara menyahut Damai. Pada saat pembicara sebut Papua semua peserta balas: Merdeka…Merdeka…Merdeka….
5. Pada 10 Januari 2012 saya dengan Pdt. Marthen Luther Wanma sosialisasi hasil pertemuan dengan Presiden SBY di Cikeas pada 16 Desember 2011. Saya betanya kepada peserta yang memenuhi ruang ibadah Gereja GKI Effata Manokwari. Siapa yang mau merdeka? Semua yang memenuhi ruangan itu berdiri: Merdeka…
Merdeka….Merdeka….Tapi yang tidak berdiri adalah Sekda Manokwari dengan 2 orang PNS.
6. Pada 20 Januari 2012 pertemuan di Sorong dengan tujuan yang sama untuk sosialisasi hasil pertemuan dengan SBY. Saya bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti di Manokwari. Seluruh peserta yang penuhi undangan berdiri dan berteriak: Merdeka….. Merdeka…..
Merdeka….Tapi yang tidak ikut berdiri adalah yang pak mewakili Dandrem Sorong dan pak Kapolresta Sorong.
7. Pada 10 April 2018, saya hadir sebagai salah satu nara sumber dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) di Sorong, suara untuk Papua Merdeka itu terdengar dalam duskusi-diskusi. Di panel kami, ada yang bediri dan menyatakan Merdeka adalah solusi terbaik. Ini sudah merupakan representasi suara hati orang asli Papua.
8. Pada 24 Agustus 2020 TNI-Polri menyelenggarkan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Stadion Sepak bola Mandala Jayapura dengan pembicara Pendeta Merah Putih Gilbert Lumoindong dengan Tema: Papua Bermazmur.
Pendeta Gilbert Lumoindong dari mimbar atau podium mengajukan dua permintaan sebelum berkhotbah.
Permintaan pertama, “Saudara-saudara, kalau saya sampaikan Indonesia, dijawab dengan Merdeka.” Permintaan kedua, kalau saya sampaikan Papua, dijawab Luar Biasa.”
Pada waktu Pdt. Gilbert mengajak ” Indonesia”, jawaban dari hadirin “NO.”
Ketika Pdt. Gilbert mengajak: “Papua”, jawaban dari hadirin: “MERDEKA.” (Sumber: Jejak Kekerasan Negara & Militerisme di Tanah Papua: Yoman, 2021: 42-43).
Suara: Indonesia….NO….dan Papua…Merdeka….adalah Fakta, Bukti, Realitas. Suara ini tidak direkayasa, suara murni dari hati nurani yang suci dari orang asli Papua, bukan seperti suara yang biasanya diatur atau direkayasaTNI-Polri, BIN, Kopassus untuk Kepala atau OPM Buatan dan Binaan bacakan atau bicara selama ini di TANAH ini.
Bapak Ir. Joko Widodo, penolakan ini berangkat dari proses politik dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang salah dan tidak adil dan tidak demokratis. Realitas atau fakta sejarah bahwa 95% RAKYAT PAPUA MENOLAK PEPERA 1969, 99% OAP MENOLAK OTSUS, UP4B, OTSUS JILID 2 & DOB INDONESIA DI TANAH PAPUA.
Ada fakta sejarah yang dilaporkan
Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan Sekjend PBB dalam laporan hasil Pepera 1969 kepada Sidang PBB sebagai berikut:
“…bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.”
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui:
“Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.”
(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
“Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Dari tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat ini ada empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI: sekarang Badan Riset Integrasi Nasional -BRIN) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Dari empat akar konflik ada satu akar konflik lagi yang ditemukan oleh Theo van den Broek ialah penguasaan, monopoli dan perampokan sumber daya alam yang dilakukan oleh penguasa Pemerintah Indonesia. Akar kelima ini disampaikan Theo van den Broek pada 29 Desember 2022 dalam refleksi LIPI dengan Topik Dinamika Papua.
Bapak Ir. Joko Widodo yang terkasih, AKAR persoalan Papua bukan KESEJAHTERAAN, bukan KKB, Separatis dan teroris. AKAR konflik Papua ialah
Ketidakadilan, rasisme, fasisme, diskriminasi, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, genocide (genosida) atau pemusnahan etnis Papua, dan militerisme.
Pada kesempatan surat terbuka ini, saya sampaikan Otonomi Khusus nomor 21 Tahun 2001 lahir karena rakyat dan bangsa West Papua dari Sorong-Merauke bangkit dan menyatakan merdeka lepas dari RI pada waktu terjadi reformasi 1998. Tetapi, solusi menang menang antara bangsa Indonesia dengan bangsa Papua itu gagal total.
Harapan kita bersama bahwa Capt. Pilot Phillip Mark Mehrtens dibebaskan dengan jalan negosiasi dan tidak menggunakan kekerasan militer. Karena pengalaman pendekatan kekerasan militer di Papua selama ini tidak pernah menyelesaikan masalah, sebaliknya kekerasan semakin meningkat dan memperpanjang penderitaan Penduduk Orang Asli Papua, pihak aparat keamanan dan rakyat sipil dan juga orang-orang asing.
Peristiwa penyanderaan Capt.Pilot Phillip Mark Mehrtens hanya seperti asap, karena bara apinya belum dipadamkan atau akar pohonnya belum dicabut. Bara api sudah dijelaskan dalam surat terbuka ini.
Solusi yang saya usulkan:
1. Pemerintah Indonesia dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) duduk setara untuk perundingan damai dan bermartabat yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral seperti RI dengan GAM Aceh di Helsinki pada 15 Agustus 2005.
2. Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan 5 akar persoalan Papua yang sudah disebutkan dalam surat ini.
3. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perlu melakukan intervensi kemanusiaan untuk penyelesaian konflik berkepanjangan Pemerintah Indonesia dengan bangsa Papua Barat.
4. Komandan TPNPB Egianus Kogeya membebaskan Capt.Pilot Phillip Mark Mehrtens dengan syarat-syarat yang sudah disampaikan seperti yang tercantum dalam surat terbuka ini.
5. Pemerintah, TNI-Polri tidak menggunakan kekerasan dalam pembebasan sandera Capt.Pilot Phillip Mark Mehrtens, tetapi menggunakan negosiasi dari pihak Tokoh Gereja dan Tokoh masyarakat.
Demikian surat terbuka ini. Terima kasih. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, Senin, 20 Februari 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua; Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
Editor: Redaksi