Teologi Pembebasan:
Perayaan Natal Di Tanah Papua Membelenggu Dan Menindas POAP Dan Bukan Membebaskan Dan Mendamaikan
Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman
Banyak orang Kristen belum sadar, bahwa sebenarnya perayaan Natal di Tanah Papua hanya berdansa-dansa dan menari-nari di atas penderitaan, tetesan air mata dan cucuran darah dan tulang belulang Penduduk Orang Asli Papua (POAP).
Orang-orang Kristen menjadi mata buta, telinga tuli, perasaannya hilang, hati nuraninya dilumpuhkan. Mereka berfikir dan bertingkah laku seperti orang-orang merdeka dan hidup menikmati damai Natal.
Pada kenyataannya damai Natal yang semu, hampa, kosong tanpa dampak dan hanya serimonial tanpa menghadirkan Kerajaan Allah yang hidup dan Damai dari Allah yang sesungguhnya di Tanah Papua, terutama bagi POAP.
Di Tanah Papua dari waktu ke waktu dari tahun ke tahun atau dari Natal ke Natal mereka masih memelihara dan merawat warisan penindasan dan penjajahan. Artinya, perayaan Natal, khususnya di Tanah Papua, Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dibelenggu, dipenjarakan, ditindas dan dijajah serta tidak diberikan harapan hidup yang layak di atas Tanah leluhur mereka.
1. Apakah benar bahwa Natal itu membebaskan umat manusia dari belenggu kuasa Iblis dan kuasa dosa?
2. Apakah benar bahwa Natal mendamaikan Allah dengan manusia?
3. Apakah benar bahwa Natal mendamainkan manusia dengan manusia?
4. Apakah benar bahwa Natal itu menghargai harkat dan martabat manusia sebagai gambar dan rupa Allah?
5. Apakah benar Natal itu identik dengan baju baru, sepatu baru, hiasan-hiasan lampu Natal?
Secara iman, kita sama-sama menjawab pertanyaan nomor 1 adalah Ya dan amin dan benar. Tetapi, jawaban pertanyaan nomor 2,3, 4 adalah TIDAK.
Maksud penulis ialah pesan-pesan Natal harus tegas, terang, tegak lurus untuk menyatakan Damai Natal yang sesungguhnya, yaitu menyatakan keadilan dan menegakkan kebenaran serta menghormati martabat kemanusiaan Penduduk Orang Asli Papua. Pesan Natal dari mimbar-mimbar harus disuarakan bahwa Penduduk Orang Asli Papua bukan separatis, makar, kkb, opm, dan teroris.
Pesan Natal juga harus menyatakan sejarah penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia yang salah dan keliru yang penuh dengan konspirasi kejahatan kemanusiaan, darah dan air mata dan merupakan akar dan jantung kejahatan kemanudiaan di Tanah Papua.
Ada ketidakadilan sejarah, ketidakadian hukum, ketidakadilan kemanusiaan terhadap POAP.
Rasisme juga sebagai jantung ketidakadilan, kolonialisme, militerisme, kapitalisme, imperialisme, pemusnahan etnis, marginalisasi POAP dan perampokan sumber daya alam di atas Tanah Papua harus dilawan melalui pesan-pesan Natal.
Pemekaran Provinsi-provinsi Boneka Indonesia di Tanah Papua yang berdasarkan rasisme, militerisme, kapitalisme, imperialisme untuk pendudukakan dan pemusnahan POAP harus dilawan dengan pesan-pesan Natal.
Tetapi, pertanyaannya ialah apakah para pendeta dan gembala memiliki kekuatan iman dan moral dan kebenaranian ilmu pengetahuan untuk menyatakan arti Natal yang sesungguhnya?
Pada perayaan Natal harus ada terobosan baru, harus ada paradigma baru, harus berbicara realitas ketidakadilan dan kejahatan kemanusiaan yang dialami POAP. Perayaan Natal harus menegur dan memperbaiki penguasa Indonesia yang berwatak rasis, fasis, barbar dan militeristik serta kolonialisme yang sudah berlangsung lama di Tanah Papua.
Pesan saya kepada semua Penduduk Orang Asli Papua (POAP) dan kepada semua orang pendatang, apakah kita memelihara, merawat, mendukung dan setuju dengan stigma, label dan mitos-mitos yang diproduksi penguasa/Pemerintah Indonesia seperti:
1 Penduduk Orang Papua anggota KKB/KKSB, OPM, dan Separatis (diproduksi oleh TNI/Polri);
2. Penduduk Orang Asli Papua teroris (Diproduksi oleh Prof. Mahfud MD)
Pesan Perayaan Natal benar-benar hidup dan berdampak di Tanah Papua, pada saat gereja-gereja dan para pendeta dan gembala sadar bahwa label dan stigma serta mitos-mitos ini kejahatan yang berasal dari Iblis dan Setan yang merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan Penduduk Orang Asli Papua (POAP).
Kalau Pemerintah, TNI/Polri, para pendeta dan gembala atau gereja-gereja di Tanah Papua, masih saja menggunakan label, stigma dan mitos-mitos ini, maka, “orang-orang ini telah kehilangan sebagian kemanusiaan mereka, jadi, mereka hidup sebagian manusia dan sebagaian binatang, karena watak dan perilaku mereka seperti setengah manusia dan setengah binatang. Maka kita perlu menolong mereka dalam Natal ini untuk kembalikan kemanusiaan mereka secara utuh.”
Akhir dari tulisan ini, saya mau bertanya:
1. Bagaimana nasib pengungsi 67.000 Penduduk Orang Asli Papua yang belum kembali ke kampung halaman mereka karena adanya operasi militer?
2. Apakah dalam Damai Natal ada doa untuk 4 warga yang dimutilasi?
3. Apakah ada doa dalam Damai Natal kriminalidasi Lukas Enembe Gubernur Papua, Aletimus Omaleng, Ricky Ham Pagawak, John Ibo?
4 Apakah dalam Damai Natal ini berdoa untuk Victor Yeimo dan kawan-kawan dalam penjara?
5. Apakah dalam Damai Natal ini berdoa untuk NKRI dan Papua Barat merdeka?
6. Apakah dalam Damai Natal ini berdoa untuk perundingan damai dan setara antara Indonesia dan ULMWP dimediasi pihak ketiga seperti penyelesaikan persoalan GAM Aceh-Indonesia di Helsinki pada 15 Agustus 2005?
Orang-orang yang membutuhkan Damai Natal yang sesungguhnya sebaiknya mengerti dan menjiwai tulisan ini sebagai syarat-syarat utama dan penting untuk harmoni dan perdamaian permanen.
Doa dan harapan saya, tulisan singkat ini membuka wawasan baru para pembaca.
Tuhan memberkati kita semua.
Selamat Hari Natal 25 Desember 2022.
Ita Wakhu Purom, Sabtu, 24 Desember 2022
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota: Konferensi Gereja-Gereja⁰ Pasifik (PCC).
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Redaksi