TPNPB Bukan KKB, Teroris dan Separatis
IR. SUKARNO ANEKSASI PAPUA PADA 19 DESEMBER 1961 DAN MENDUDUKI DAN MENJAJAH BANGSA PAPUA BARAT DENGAN MEMPRODUKSI BERITA-BERITA HOAX DI TANAH PAPUA
“Tulis semua yang kau ketahui mengenai bangsamu. Tulis semua gejolak perasaanmu tentang bumi sekitarmu. Karena dengan menulis kau belajar bicara.” (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Sukarno, Roman Zaman Pergerakan: 2001:201).
Oleh Gembala DR. A.G. Socrates Yoman
“Gagalkan Pembentukan Negara Papua Itu” (Ir. Sukarno, 19 Desember 1961).
Apakah Ir. Sukarno, Mohammad Hatta juga KKB, teroris, dan separatis yang melawan bangsa kolonial Belanda dan aneksasi bangsa Papua?
Yang jelas dan pasti, label Kelompok Kriminal Sipil Bersenjata (KKSB/KKB) adalah produk militer dan polisi kolonial Indonesia. Teroris adalah produk Mahfud MD, Separatis adalah bayi hasil dari kawin paksa Indonesia melalui Pepera 1969.
Singkatnya, label KKSB/KKB itu milik TNI-Polisi dan label teroris itu miliknya Prof. Mahfud MD. Separatis adalah hasil kawin Paksa Indonesia dengan Papua.
Ada seorang teman berinisial ML memberikan komentar singkat setelah menonton vidio yang menjelaskan teroris di Indonesia yang menggunakan ayat-ayat Kitab Suci Alquran untuk membela agama dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka yang tidak menggunakan ayat-ayat Alkitab. Dalam vidio itu dijelaskan perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat itu bukan KKB, tapi berjuang untuk Papua Merdeka.
Komentar teman berinisial ML sebagai berikut:
“Karena perjuangan bangsa Papua bukan sekedar teror (KBBI: _usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan_), maka jelas bahwa bangsa Papua itu bukan KKB, Separatis, dan Teroris.”
Apa yang diperjuangkan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atas pimpinan Egianus Kogeya itu bukan KKB, teroris dan separatis. Tetapi, perjuangan selama ini berdasarkan ideologi dan nasionalisme bangsa Papua Barat.
Ada sebagaian fakta-fakta proses atau dinamika sejarah perjuangan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka sudah saya sampaikan berkali-kali dan berulang-ulang, termasuk dalam Surat Terbuka kepada bapak Ir. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia pada Senin, 20 Februari 2023.
Saya kembali tulis dalam tulisan ini, supaya semakin banyak orang tahu bahwa ada proses perjuangan politik Papua Barat merdeka yang jelas dan TPNPB itu bukan KKB, teroris dan separaris. TPNPB itu sayap militer.
Tuntutan Egianus Kogeya tidak terputus dari sejarah panjang perjuangan dan tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.Â
Saya menyampaikan beberapa fakta sejarah sejarah sebagai berikut:
Ir. Sukarno aneksasi atau bubarkan Negara Papua Barat pada 19 Desember 1961.
Apa artinya aneksasi. Aneksasi artinya penyerobotan atau penggabungan atau pencaplokan adalah pengambilan dengan paksa tanah (wilayah) orang (negara) lain untuk disatukan dengan tanah (negara) sendiri; memasukkan suatu wilayah tertentu ke dalam unit politik yang sudah ada, seperti negara, negara bagian.
Dengan kata lain, ada negara merdeka yang dirampok atau dicaplok dan digabungkan pada negara merdeka yang lain. Jadi, Indonesia mencaplok Negara Papua ke dalam Negara Indonesia.
Pada 19 Desember 1961 di Alun-alun Yogjakata, Ir. Sukarno dalam Maklumatnya yang dikenal Tiga Komando Rakyat (Trikora) menyapaikan:
1. Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua buatan Belanda.
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat.
3. Tanah Air Indonesia bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.
Dalam pidato aslinya disebutkan Gagalkan Pembentukan Negara Papua, tanpa kata “boneka”. Jadi, di sini terbukti bahwa penguasa Indonesia menganeksasi atau membubarkan sebuah Negara merdeka.
Negara Papua Barat yang dianeksasi sudah memiliki lambang-lambang atau simbol-simbol Negara, yaitu Nama Negara: Papua, nama bendera: Bintang Kejora, lagu kebangsaan: Hai Tanahku Papua, Mata uang Gulden, lambang negara: Burung Mambruk dan Parlemen: Papua New Guinea Raad, ada rakyat, yaitu rakyat Papua.
Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa Papua secara terhormat menghadap Presiden Republik Indonesia Prof. B.J. Habibi di Istana Negara RI pada Jumat, 26 Februari 1999, dengan bermartabat sanpaikan tuntutan rakyat dan bangsa Papua tiga butir. Dari ketiga butir itu, pada butir pertama bunyinya sebagai berikut:
“Kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi.”
Musyawarah Besar Rakyat Papua (MUBES) pada 23-26 Februari 2000 menyampaikan ada tujuh butir dan dari tujuh butir itu, pada butir keempat berbunyi sebagai berikut:
“…kami menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961. Sebagaimana sudah disampaikan oleh bangsa Papua kepada Presiden B.J. Habibi beserta para menteri kabinet reformasi Indonesia pada 26 Pebruari 1999 di Istana Negara Jakarta.”
Kongres Nasional II Rakyat dan Bangsa Papua Barat pada 26 Mei-4 Juni 2000 menghasilkan enam butir penting. Dari enam butir itu ada tiga butir dari butir 1 sampai butir 3 berbunyi sebagai berikut:
“Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961…Bangsa Papua melalui Kongres II menolak Neq York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua….Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil Pepera 1969, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan…”
Pemulihan 1 Desember 1961 pada 12-19 Oktober 2011 di lapangan Zakeus Padang Bulan, Jayapura, Papua, yang disebut juga Kongres Rakyat Papua (KPR) yang mendapat tantangan dan penolakan dari sebagian besar rakyat Papua.
Kegiatan ini mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat (NFPB). Mata uangnya Golden, lagu kebangsaan, Hai Tanahku Papua, Bendera; Bintang Kejora, Lambang Negara Burung Mambruk, Bahasa Vigin dan pemerintahan daerah dipimpin seorang gubernur. Kongres mengangkat Forkorus Yaboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, sebagai Presiden dan Edison Waromi, Perdana Menteri.
Adapun fakta-fakta ideologi rakyat dan bangsa Papua Barat yang tetap hidup. Saya sampaikan beberapa suara rakyat dan bangsa Papua Barat sebagai berikut:
Pada 5-7 Juli 2011 diadakan Konferensi Perdamaian Papua dan perwakilan Kodam XVII Cenderawasih menjadi pembicara. Sebelumnya, ada permintaan bahw kalau saya sebut Papua saudara-saudara menyahut Damai. Pada saat pembicara sebut Papua semua peserta balas: Merdeka…Merdeka…Merdeka….
Pada 10 Januari 2012 saya dengan Pdt. Marthen Luther Wanma sosialisasi hasil pertemuan dengan Presiden SBY di Cikeas pada 16 Desember 2011. Saya betanya kepada peserta yang memenuhi ruang ibadah Gereja GKI Effata Manokwari. Siapa yang mau merdeka? Semua yang memenuhi ruangan itu berdiri: Merdeka…
Merdeka….Merdeka….Tapi yang tidak berdiri adalah Sekda Manokwari dengan 2 orang PNS.
Pada 20 Januari 2012 pertemuan di Sorong dengan tujuan yang sama untuk sosialisasi hasil pertemuan dengan SBY. Saya bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti di Manokwari. Seluruh peserta yang penuhi undangan berdiri dan berteriak: Merdeka….. Merdeka…..
<span;>Merdeka….Tapi yang tidak ikut berdiri adalah yang pak mewakili Dandrem Sorong dan pak Kapolresta Sorong.
Pada 10 April 2018, saya hadir sebagai salah satu nara sumber dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) di Sorong, suara untuk Papua Merdeka itu terdengar dalam duskusi-diskusi. Di panel kami, ada yang bediri dan menyatakan Merdeka adalah solusi terbaik. Ini sudah merupakan representasi suara hati orang asli Papua.
Pada 24 Agustus 2020 TNI-Polri menyelenggarkan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Stadion Sepak bola Mandala Jayapura dengan pembicara Pendeta Merah Putih Gilbert Lumoindong dengan Tema: Papua Bermazmur.
Pendeta Gilbert Lumoindong dari mimbar atau podium mengajukan dua permintaan sebelum berkhotbah.
Permintaan pertama, “Saudara-saudara, kalau saya sampaikan Indonesia, dijawab dengan Merdeka.” Permintaan kedua, kalau saya sampaikan Papua, dijawab Luar Biasa.”
Pada waktu Pdt. Gilbert mengajak ” Indonesia”, jawaban dari hadirin “NO.”
Ketika Pdt. Gilbert mengajak: “Papua”, jawaban dari hadirin: “MERDEKA.” (Sumber: Jejak Kekerasan Negara & Militerisme di Tanah Papua: Yoman, 2021: 42-43).
Suara: Indonesia….NO….dan Papua…Merdeka….adalah Fakta, Bukti, Realitas. Suara ini tidak direkayasa, suara murni dari hati nurani yang suci dari orang asli Papua, bukan seperti suara yang biasanya diatur atau direkayasaTNI-Polri, BIN, Kopassus untuk Kepala atau OPM Buatan dan Binaan bacakan atau bicara selama ini di TANAH ini.
Proses politik dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia yang ilegal dan tidak adil dan tidak demokratis. Realitas atau fakta sejarah bahwa 95% RAKYAT PAPUA MENOLAK PEPERA 1969, 99% OAP MENOLAK OTSUS, UP4B, OTSUS JILID 2 & DOB INDONESIA DI TANAH PAPUA.
Ada fakta sejarah yang dilaporkan
Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan Sekjend PBB dalam laporan hasil Pepera 1969 kepada Sidang PBB sebagai berikut:
“…bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.”
(Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui:
“Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.”
(Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:
“Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka.” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Dari tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat ini ada empat pokok akar konflik dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI: sekarang Badan Riset Integrasi Nasional -BRIN) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:
1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Dari empat akar konflik ada satu akar konflik lagi yang ditemukan oleh Theo van den Broek ialah penguasaan, monopoli dan perampokan sumber daya alam yang dilakukan oleh penguasa Pemerintah Indonesia. Akar kelima ini disampaikan Theo van den Broek pada 29 Desember 2022 dalam refleksi LIPI dengan Topik Dinamika Papua.
AKAR persoalan Papua bukan KESEJAHTERAAN, bukan KKB, Separatis dan teroris. AKAR konflik Papua ialah
Ketidakadilan, rasisme, fasisme, diskriminasi, kolonialisme, kapitalisme, imperialisme, genocide (genosida) atau pemusnahan etnis Papua, dan militerisme.
Selamat membaca. Tuhan memberkati
Ita Wakhu Purom, Selasa, 21 Februari 2023
Penulis: Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC), Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC) dan Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).