Tuntut Keadilan bagi Perempuan dan Diperkuat Pendidikan Sex Gender di Papua

Oleh: Eskop Isabla
Pendahuluan
Hampir sepanjang waktu Teori-teori sosiologi sibuk berdebat tentang hakikat masyarakat modern, sedangkan sumber ketidaksetaraan, ketidakberuntungan, yang dialami oleh separuh penduduk dunia lepas dari perhatian.
Asumsinya adalah bahwa dunia sebagaimana dialami oleh laki-laki sama dengan yang dialami perempuan. Barulah ketika muncul gelombang politik pada Tahun 1960-an dan semakin maraknya gerakan perempuan menjelang akhir abad ke-20 yang lalu, perteorian Feminis dimantapkan sebagaian bagian tak terpisahkan dari sosiologi.
Selama apa yang dinamakan ” gelombang kedua” Feminisme ini, teori-teori sosiologi mulai dikonstruksi untuk menjelaskan pengalaman spesifik kaum perempuan dan untuk menunjukkan dalam gaya modernis yang baik perjalanan sosial menuju emansipasi dan pencapaian kaum perempuan.
Akan halnya teori teori klasik abad ke- 19Â merupakan upaya untuk menggambarkan secara spesifik kemungkinan kemajuan melalui perteorian manusia, maka teori-teori Feminis juga berkutat dalam proyek yang sama.
Tujuan Feminisme adalah menunjukkan bagaimana penilaian tentang suatu kondisi sosial di mana perempuan menempuh kehidupan mereka membuka kesempatan untuk merekonstruksi dunia mereka dan menawarkan kepada mereka prospek kebebasan di masa depan.
Gerakan gender dalam tranformasi perempuan
Gender sendiri adalah alat analisis umumnya dipakai oleh penganut aliran ilmu sosial konflik yang justru memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktur dan sistem yang disebabkan oleh gender.gender sebagaimana dituturkan oleh Oakley (1972) dalam sex, gender and society berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan.
Perbedaan biologis yakni perbedaan jenis kelamin (sex) adalah kodrat Tuhan dan olah karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan Gender adalah perbedaan perilaku (behavioral Fifferences antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses sosial dan kultural yang panjang.
Caplan (1987) dalam the Cultural Construction of Sexuality menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun melalui proses sosial dan kultural.
Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke, dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender pada proses berikutnya melahirkan peran gender dan dianggap tidak menimbulkan masalah, maka tak pernah digugat.
Jadi kalau secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan perlu digugat oleh mereka yang menggunakan analisis gender adalah struktur “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender tersebut.
Dari studi yang dilakukan dengan menggunakan analisis gender ini ternyata banyak ditemukan pelbagai menifestasi ketidakadilan seperti dalam uraian berikut:
Pertama, terjadi marginalisasi pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, Namun yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. Kedua, terjadinya Subordinasi pada salah satu jenis kelamin, umunya kepada kaum perempuan.
Dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa’ menganggap penting’ kaum perempuan nanti ke dapur mengapa harus sekolah tinggi-tinggi adalah bentuk subordinasi yang dimaksudkan.ketika Bentuk dan mekanisme proses Subordinasi tersebut dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat berbeda.
Misalnya, karena anggapan bahwa perempuan memiliki pembawaan “emosional” sehingga dianggap tidak tepat tampil sebagai pemimpin partai atau atau menjadi manajer, adalah proses Subordinasi dan diskriminasi berdasarkan gender.
Selama berabad-abad dengan alasan doktrin agama dan budaya kaum perempuan tidak boleh memimpin apa pun, termasuk masalah kehidupan, tidak dipercaya memberikan kesaksian, bahkan tidak memperoleh warisan.
Adanya penafsiran agama yang mengakibatkan Subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan Itulah yang dipersoalkan. Ketiga, adalah pelabelan negatif (Stereotipe) terhadap jenis kelamin tertentu, dan akibat dari stereotipe itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya.dalam masyarakat, banyak sekali stereotipe yang diletakkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan.
Karena adanya keyakinan masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan Dinilai hanya sebagai tambahan.
Keempat, kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, Umumnya perempuan, karena perbedaan gender, kekerasan, ini mencakup kekerasan fisik seperti memerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan.
Banyak sekali kekerasan terhadap perempuan yang terjadi karena adanya stereotipe gender bahwa karena perbedaan gender dan sosialisasi gender amat lama, sehingga mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan laki-laki umunya lebih kuat maka hal itu tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut mendorong Laki-laki boleh dan bisa seenaknya memukul dan memperkosa perempuan.
Banyak terjadi pemerkosaan justru bukan karena Unsur kecantikan, namun karena kekuasaan dan stereotipe gender yang diletakkan kepada kaum perempuan. Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dengan kata lain, peran gender perempuan mengelola, menjaga dan memelihara kerapian tersebut, telah mengakibatkan timbulnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.
Sosialisasi peran gender tersebut menimbulkan rasa bersalah dalam diri perempuan jika tidak menjalankan tugas domestik tersebut. Sedangkan bagi laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan dibanyak tradisi secara Adat laki-laki dilarang terlibat dalam pekerjaan domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi perempuan yang juga luar, mereka juga kasih harus bertanggung jawab atas keseluruhan pekerjaan domestik.
Maka hubungan antara buruh dengan istrinya terbentuk cara produksi yang Feodalistik yaitu para buruh membeli perempuan guna Melayani keluarga. Namun bagi mereka yang secara ekonomi cukup, pekerjaan domestik ini kemudian dilimpahkan ke pihak lain yakni pembantu rumah tangga.
Proses ini mengandung arti terjadi pemindahan marginalisasi, subordinasi dan beban kerja dari istri ke para pembantu rumah tangga yang kebanyakan juga perempuan.
WID dan Developmentalisme
Women in development perempuan dalam pembangunan menjadi bagian diskursus pembangunan, dan merupakan pendekatan dominan bagi pemecahan persoalan perempuan Dunai ketiga. Gagasan WID dianggap satu satunya jalan guna memperbaiki status dan nasib berjuta-juta perempuan di negara dunia ketiga.
Namun setelah kurang lebih sepuluh tahun berjalan, banyak orang mulai menyangsikan dan mengajukan kritik mendasar terhadap konsep WID. Kritik ini dipelopori oleh belbagi aliran feminisme. WID di anggap Bagain dari Agenda Dunia pertama untuk mendominasi dunia ketiga. Konsep WID sendiri dianggap membawa bias Feminis liberal, kelas menengah kulit putih, yang dianggap tidak memiliki kepentingan pembebasan kaum perempuan.
Dalam tahun 1974, ketika suatu konferensi tentang pengintegrasian perempuan dalam ekonomi nasional diselenggarakan di Weseley College, dan biro WID mulai dibuka di USAID, saat itulah disiplin ilmu baru tercipta. Sebagain besar literatur mereka sangat praktis, memusatkan perhatian kepada isu-isu yang langsung perkenan dengan sebagaimana mendorong partisipasi perempuan dalam program pembangunan WID, merupakan strategi arus utama Developmentisme, lebih menghasilkan penjinakkan dan penekangan perempuan Dunia ketiga, ketimbang membebaskannya.
Banyak kajian Telah dilakukan atas masalah ini.ada yang mengritik dari segi ekonomi dan teknologi (Stamp, 1989; Boserup, 1970). Dari aspek isu diskursus dan pengetahuan/ kekuasaan (Mueller A;1987), maupun dari aspek lingkungan (Shiva, 1989) serta aspek-aspek lainnya (Sen, 1987; Ahmed, 1985; de Wolf 1986).
Agenda utama program WID adalah bagaimana melibatkan perempuan dalam kegiatan pembangunan. Asumsinya, menyebabkan keterbelakangan perempuan adalah karena mereka tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
Dengan cepat WID menjadi satu-satunya kebijakan yang berkaitan dengan perempuan di hampir semua negara di dunia ketiga. Diskursus WID dimulai ketika pemerintah Amerika Serikat mengumumkan “The Percy Amenment to the 1973 foreign Assistance Act” yang mencantumkan perlunya perhatian terhadap perempuan dalam pembangunan.
Amandemen itu mempengaruhi PBB pada tahun 1974 yang kemudian memproklamasikan International Decade of Women) 1976- 1985).
Biro WID mulai dibuka di USAID tahun 1974, dan sejak itulah pengetahuan, kebajikan, sumber informasi telah terciptakan dan diekspor guna mempengaruhi jutaan nasib perempuan di dunia ketiga. Dan sejak itu pula, hampir serentak, semua pemerintah dunia ketiga beramai-ramai memasukan agenda WID ke dalam program pembangunan masing-masing. Departemen urusan peranan pers pun menjadi mode di hampir semua pemerintah di dunia ketiga.
Kekerasan perempuan dan psikologi Seksual di Papua
Berbicara tentang Perempuan pasti tidak terlepas dari laki-laki di seluruh dunia dan khusus di Papua. Penulis Garis bawahi bahwa untuk tulisan ini saya buat secara umum tidak merujuk pada Satu daerah, atau satu suku. Memang gender di Papua ada kontroversi dengan Adat istiadat di daerah Papua masing-masing yang sangat kendal, memang identitas itu Nilai-nilai di suatu Bangsa.
Tetapi untuk bersoalan kekerasan perempuan di Papua banyak beragam seperti: relasi kekuasaan oleh tentara Indonesia (TNI) polisi Indonesia (polri) dan sistem patriarki/ maskulinitas. Dan Masih ada lagi bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
Kita tahu kawan-kawan perempuan di Papua selalu menuntut keadilan dan kesetaraan gender atas dasar UU dan kemanusiaan tetapi Hukum untuk perlindungan perempuan menjadi admistrasi kertas hitam di atas putih.” kita manusia membaca buku itu beda dengan mengabadi di dunia nyata.
Ingat dua variabel! belajar dan mengabdi itu hal penting. Tetapi jangan bahwa membentuk kesadaran moralitas pada dirinya itu penting. Mengapa demikian sesuatu tindakan kekerasan pada perempuan ketidaksadaran bagi sistem patriarki. Sebab tindakan kekerasan merupakan kebutuhan moralitas.
Berbicara tentang kekerasan perempuan di Papua tidak pernah selesai-selesai. karena dampak dari sistem Kapitalisme, imperialisme global, dan teknologi. Hingga kehilangan Identitas keaslian keperempuanan di Papua. sistem Subordinasin laki-laki atas psikologis Seksualitas yang sangat dominan sehingga terus kekerasan perempuan selalu meningkatkan.
Rekomendasi dari penulis
1. Bagi kaum laki-laki dan perempuan ketika sudah ada komitmen untuk jadi suami istri maka harus memiliki moralitas dan kesadaran pada masing-masing antara laki-laki dan perempuan.
2. Bagi kaum laki-laki ketika sudah memiliki komitmen untuk kawin harus mencerminkan kepribadianmu, apakah saya mampu untuk pertanggung jawaban kehidupan Baru ini.
3. Bagi kaum perempuan penting memiliki nilai-nilai integrasi, bijak, dan cerdas.
4. Memilih orang yang benar maka hidup akan adil di kehidupan sehari-hari jika memilih orang yang salah maka anda akan siap menanggung beban ketidakadilan.
5. Kekerasan perempuan Papua bukan Faktor budaya, tetapi Faktor teknologi Kapitalisme dan psikologi Seksualitas.
6. Secera ada kurikulum pendidikan Seksual dan gender di setiap sekolah, agar generasi muda bisa paham apa itu gender dan sex.
Referensi
1.Teori-teori sosiologi
2.Analisis gender dan transformasi sosial