Ungkapan Hati Nurani: Saya Bukan Orang Indonesia, Saya Orang Lani Orang Papua, Orang Melanesia

Oleh Gembala DR. A.G. Socratez Yoman
Pada tahun 2005 saya berada di Inggris. Ada tiga tujuan, yaitu memenuhi undangan Kongres Gereja Baptis Se-Dunia di Birmingham, dan juga memenuhi Undangan Ibu alm. Carmel Budiardjo dari TAPOL Inggris dan mengunjungi keluarga Benny Wenda Ketua ULMWP dan juga Presiden Pemerintahan Sementara bangsa Papua Barat.
Saya dengan beberapa teman makan siang dan ada seorang bertanya kepada saya begini:
” Socratez, when will you back to Indonesia?”
Saya menjawab: ” I am not go back to Indonesia.”
Teman ini terkejut dan bertanya lagi kepada saya.
“So, where will you go from here?”
Saya menjawab: “I will return to West Papua not in Indonesia.”
Dia bertanya lagi: “Why?”
Saya menjawab: “I am Lani, Papuan. I am not Indonesian.”
Masih banyak diskusi, tapi, saya mau tegaskan, bahwa saya bukan orang Indonesia.
Karena, saya orang Lani, saya orang Papua, saya orang Melanesia.
Saya dipaksakan menjadi Indonesia dengan kekerasan moncong senjata, dipaksakan mengikuti, mentaati dan tunduk pada hukum dan undang-undang palsu, diajarkan sejarah palsu-nama-nama pahlawan palsu, ideologi palsu, kebudayaan palsu.Saya menjadi korban diskriminasi rasial.
Kasus terbaru yang menjadi perhatian publik Papua, Indonesia dan komunitas Internasional ialah kasus kriminalisasi dan diskriminasi rasial terhadap Lukas Enembe Gubernur Papua. Ini kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran berat HAM yang dilakukan Negara secara sistematis yang dipertontonkan oleh KPK.
Negara melalui KPK telah menujukkan watak Indonesia yang rasis yang memperlakukan Lukas Enembe Gubernur Papua dengan kejam, barbar, sangat tidak adil, tidak beradab dan tidak manusiawi.
Keyakinan saya iman saya, ideologi saya, martabat kemanusiaan saya, dan sejarah saya, kebudayaan saya jelas, yaitu saya orang Lani, saya orang Papua dan saya orang Melanesia. Sangat keliru dan salah orang Indonesia paksakan saya menjadi orang Indonesia.
Pemaksaan selama ini melawan Tuhan, melawan leluhur orang Lani, leluhur orang Papua dan leluhur orang Melanesia. Pemaksaan selama ini melawan hati nurani saya, melawan sejarah saya dan melawan peradaban nilai-nilai budaya yang diwariskan dan dititipkan leluhur saya.
Ada saya fakta, MENGAPA SAYA TIDAK IKUT MENYANYI LAGU INDONESIA RAYA DAN TIDAK MENGHORMATI BENDERA MERAH PUTIH?
Pada 17 Desember 2017, ada pelantikan bupati dan wakil bupati terpilih kabupaten Puncak Jaya. Saya diundang dan mengikuti dengan baik seluruh proses pelantikan bupati terpilih periode 2017-2022.
Saya duduk di kursi nomor 1 dari kursi deretan kedua dari kursi deretan pertama. Karena kursi deretan pertama dikhususkan untuk para bupati.
Memang ruang sidang itu kecil. Bapak gubernur Papua, Lukas Enembe, Ketua DPRP Papua, Yunus Wonda, dan Ketua DPRD Puncak Jaya, Nesko Wonda duduk di depan untuk proses pelantikan bupati dan wakil bupati.
Protokol mengajak bapak gubernur dan para undangan dipersilahkan berdiri untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Semua hadirin ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Tetapi, saya memilih diam dan tidak ikut menyanyi dan dalam keadaan mulut tertutup dan juga hati tertutup menatap ke depan melihat bapak gubernur dan Ketua DPRP dan Ketua DPRD.
Mengapa saya tidak ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya?
Karena orang tua saya, Ayah dan Ibu, mengajarkan kepada saya, jangan pernah hidup berpura-pura dan menafik dihadapan Tuhan dan sesama. Jangan hidup dihati lain dan pikiran lain tapi berbicara lain. Itu tidak memuliakan nama Tuhan dan tidak menghormati martabat kemanusiaan dan merusak diri sendiri. Hidup harus selalu jujur dan mengatakan yang benar supaya hidup dipelihara dan dilindungi oleh kejujuran dan kebenaran.
Pertanyaan saya, apakah berkata jujur dan benar itu merugikan orang lain?Â
“Orang jujurlah akan mendiami tanah” (Amsal 2:21). “Orang benar tidak terombang-ambing untuk selama-lamanya” (Amsal 10:30). “Orang yang jujur dipimpin oleh ketulusan” (Amsal 10:32).”Orang yang jujur dilepaskan oleh kebenarannya” (Amsal 11:6). “Kebenaran menjaga orang yang saleh jalannya.” (Amsal 13:6). “Kebenaran meninggikan derajat bangsa” (Amsal 14:34).
Orang bisa katakan, pak Yoman tidak hargai upacara itu dan sebaiknya ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ada beberapa prinsip sebagai pegangan dan pijakan hidup saya, yaitu,
(1) saya tidak bisa dipaksa oleh siapapun untuk melakukan sesuatu yang ditolak hati dan pikiran saya;
(2) saya tidak boleh memelihara kemunafikan dan ada kepura-puraan dalam hidup saya;
(3) saya tahu, saya sadar dan saya mengerti, lagu itu bukan lagu saya, karena itu lagu bangsa asing, Indonesia; dan
(4) lagu saya “Hai Tanahku Papua.” Lagu “Hai Tanah Papua” adalah lagu kebangsaan saya. Dan bendera saya ialah “Bintang Kejora” bendera kebangsaan saya.
Para pembaca perlu tahu, bahwa saya akan menghormati dan mencitai dan memelihara, kalau lagu dan bendera itu benar-benar milik rakyat dan bangsa saya. Jangan memaksa saya untuk menyanyi Lagu Indonesia Raya dan menghormati bendera Merah Putih, karena itu bukan milik rakyat dan bangsa Papua Barat.
Lagu Indonesia Raya dan bendera Merah Putih adalah simbol-simbol penjajahan dan kolonialisme di Tanah Papua Barat. Pengalaman selama 61 tahun sejak 19 Desember 1961 sampai sekarang ini kita sama-sama melihat dan menyaksikan dan mengalami ada kekejaman dan kejahatan negara terhadap Penduduk Orang Asli Papua.
1. Lagu Indonesia raya dan bendera merah-putih adalah lagu dan bendera penjajah yang telah menjajah bangsa Papua Barat sejak 19 Desember 1961.
2. Lagu Indonesia raya dan bendera merah-putih adalah lagu dan bendera yang telah merampas hak hidup bangsa Papua Barat.
3. Lagu Indonesia raya dan bendera merah-putih adalah lagu dan bendera yang telah merampok semua hasil alam kekayaan bangsa Papua Barat.
4. Lagu Indonesia raya dan bendera merah-putih adalah lagu dan bendera yang telah membunuh puluhan ribu nyawa bangsa Papua Barat dan para pendeta dan Pastor Papua Barat secara biadab.
Doa dan harapan penulis, artikel pendek ini menjadi berkat dan membuka wawasan Penduduk Orang Asli Papua (POAP)Â yang selama ini hidup dalam kepalsuan dan kelumpuhan dalam berbagai aspek dari sistem kolonial modern Indonesia yang menduduki dan menjajah rakyat dan bangsa Papua Barat.
Selamat membaca dan menikmatinya.
Waa…Waa…Wa….Kinaonak!
Ita Wakhu Purom, Selasa, 24 Januari 2023
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua (PGBWP).
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Amggota: Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC).
4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
__________
Nomor HP/WA: 08128888712; 08124888458