Urgensi Cuti bagi Kepala Daerah yang Maju Pilkada Tahun 2024

Oleh Yulian Kondologit
Tahun 2024 ini Indonesia akan kembali menggelar Pilkada serentak. Pilkada serentak ini menjadi Pilkada serentak ke-lima pasca ditetapkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Pilkada serentak ini akan dilaksanakan di 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota di seluruh wilayah Indonesia.
Termasuk 4 daerah otonomi baru di Papua, yakni Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan dan Papua Pegunungan. Pilkada merupakan sarana penyaluran hak demokrasi sebagai hak konstitusional bagi setiap warga negara untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota secara langsung dan demokratis.
Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Sesuai dengan undang-undang Pilkada, anggota DPR, DPD dan DPRD baik yang sedang menjabat maupun baru terpilih harus mengundurkan diri saat ditetapkan sebagai calon kepala daerah.
Hal ini diperkuat dan dipertegas kembali melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU XXII/2024. Dalam putusan tersebut Mahkamah menegaskan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) mempersyaratkan bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri apabila tetap ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Karena itu dalam PKPU 8 Tahun 2024 pada Pasal 14 Ayat (2) huruf q, KPU sebagai lembaga yang diberi tugas dan wewenang menyelenggarakan Pilkada telah mengakomodir putusan MK tersebut.
Sementara untuk kepala daerah yang sedang menjabat tidak mengundurkan diri sebagai kepala daerah tetapi harus cuti diluar tanggungan negara. Dikecualikan bagi kepala daerah yang maju Pilkada di daerah yang berbeda, dimana harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai kepala daerah. Daerah yang berbeda dapat dipahami baik karena berbeda kabupaten/ kota atau daerah yang berbeda provinsi. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 14 Ayat (2) huruf o PKPU Nomor 8 Tahun 2024.
Urgensi Cuti Kepala Daerah Potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam suatu rezim pemerintahan itu sangat mungkin terjadi. Lord Acton seorang filsuf Inggris pernah berkata “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” kekuasaan itu cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang tidak terbatas pasti disalahgunakan.
Karena itu perlu ada pembatasan bagi setiap kekuasaan manapun termasuk kekuasaan oleh seorang kepala daerah saat mengikuti kontestasi politik.
Pembatasan kekuasaan tersebut dapat dipahami salah satunya berkaitan dengan cuti bagi kepala daerah yang ikut dalam Pilkada tahun 2024. Cuti bagi kepala daerah yang ikut kontestasi Pilkada telah mempunyai kekuatan hukum tetap, baik yang diatur didalamv undang undang maupun melalui putusan Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution dan the final interpreter of constitution. Pada putusan MK Nomor 55/PUU-XIV/2016 pada pokoknya menolak permohonan pemohon seluruhnya terkait dengan permohonan pemohon agar kepala daerah yang maju Pilkada tidak perlu cuti pada saat pelaksanaan Pilkada dilakukan.
Dari putusan MK tersebut menjadi keyakinan bagi kita semua, bahwa betapa pentingnya seorang kepala daerah yang masih menjabat untuk cuti diluar tanggungan negara saat dirinya ditetapkan sebagai calon kepala daerah. Permendagri Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan terhadap Permendagri 74 Tahun 2016 pada Pasal 2 menyebutkan bahwa seorang kepala daerah yang ikut dalam kontestasi Pilkada pada daerah yang sama harus cuti diluar tanggungan negara dan dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Proses cuti ini wajib dilakukan oleh seorang kepala daerah selambat-lambatnya satu hari sebelum tahapan kampanye di mulai.
Ada beberapa alasan pentingnya seorang kepala daerah cuti saat ikut dalam kontestasi iPilkada. Pertama, membatasi kekuasaan kepala daerah terhadap potensi terjadinya abuse of power (penyalagunaan kekuasaan). Bagaimanapun kepala daerah memiliki akses terhadap kebijakan dan akses terhadap anggaran yang berpotensi digunakan memberikan privilege memenangkan dirinya didalam Pilkada.
Kedua, menghindari terjadinya conflict of interest (konflik kepentingan) seperti penggunaan berbagai fasilitas negara yang terkait dengan jabatannya. Sebagai petahana, dirinya diperlengkapi dengan berbagai fasilitas dan tunjangan yang melekat. Ketiga, mencegah agar petahana tidak memanfaatkan jabatannya untuk memobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk kepentingan elektoral dirinya sebagai petahana. Bagaimanapun relasi kuasa jabatan yang dimiliki oleh seorang petahana dengan jabatan aktif yang melekat pada dirinya akan sangat berpengaruh terhadap subjektifitas hasil pilihan ASN didalam pemerintahan yang dipimpinnya. Keempat, hal lainnya yang juga tidak kalah penting ialah, cuti bagi kepala daerah yang ikut kontestasi memberikan ruang agar semua calon (diluar petahana) dengan calon petahana berangkat dari kondisi equel (persamaan) sehingga kompetisi dapat berlangsung secara fair (adil).
Penulis: Rektor Universitas Werisar Sorong Selatan Papua Barat Daya
Â