Uskup Agung Merauke, dinilai menjual tanah atas nama gereja Katolik kepada penguasa dan perusahaan

SORONG, PAPUASPIRITNEWS.com-Suara Kaum Awam Katolik Papua menegaskan Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC tidak punya hak serahkan tanah kepada Penguasa dan Perusahaan” pada akhir September lalu.
Uskup Agung Merauke, Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC mendukung penguasa dan perusahaan agar Program Strategis Nasional (PSN) di Kampung Wanam dan Wogekel, Distrik Ilwayab, Merauke, Papua Selatan.
“Dukungan Uskup sebagai tokoh publik ini kami menilai sama halnya dengan “menjual tanah atas nama gereja Katolik”kepada penguasa dan perusahaan. Uskup menggunakan tahta keuskupan dan kewenangannya sebagai Uskup dan pemimpin gereja Katolik untuk memberikan legitimasi kepada penguasa dan perusahaan tanpa mempertimbangkan suara hati nurani umatnya”,ujar suara kaum awam Katolik Papua dalam press release yang diterima papuaspiritnews.com Selasa, (22/10/2024).
Mandagi kata suara kaum awam Katolik Papua bahwa seharusnya mengikuti Paus Fransiskus yang mengajak umat manusia di dunia untuk melawan ancaman pemanasan global. Hak dan Kewajiban Gereja Katolik Harus dipahami, bahwa Gereja Katolik tidak punya hak untuk bicara tanah adat disini.
“Kewajiban moral gereja untuk berbicara, bahkan membelah hak-hak umat manusia manapun, termasuk di Kampung Wanam dan Ilwayab yang juga merupakan basis gereja Katolik disana. Uskup Mandagi sebagai pemimpin gereja Katolik sekalipun tidak memiliki garis darah dan keturunan apapun dengan umat lokal disini, kecuali melalui hirarki gereja Katolik”,terangnya.
Oleh karena itu, Uskup Mandagi memiliki tanggung jawab moral kepada penguasa perusahaan dan umat lokal, akan tetapi tidak mempunyai hak apapun untuk melakukan kompromi apapun atas hak-hak dasar masyarakat adat. Umat disini juga tidak pernah memberikan legitimasi kepada Uskup Mandagi agar dia memberikan legitimasi kepada penguasa dan perusahaan untuk hilangkan sumber kehidupan masyarakat yang melekat pada tanah dan hutan adat.
Legitimasi Mandagi ilegal karena berada di luar otonomi personal dan otonomi gereja Katolik. Uskup berbicara tentang PSN atas nama kemanusiaan universal, bahkan demi kepentingan bersama (bonnum commune). Namun, tanpa melakukan riset lebih dahulu. Karena itu pernyataannya menjadi kering, tidak berbobot dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Dampak legitimasi Uskup Mandagi secara de facto memang legitimasi Uskup ini memiliki pengaruh sangat besar dalam kebijakan publik. Penguasa dan perusahaan paham pada posisi ini. Mandagi memanfaatkan gereja untuk mengakui niat penguasa dan perusahaan, namun melupakan hak-hak, nasib dan masa depan umatnya.,katanya dalam press release tersebut.
Pengakuan Uskup terhdap PSN ini memiliki manfaat ganda. Satu sisi menguntungkan elit politik lokal, nasional, bahkan Uskup Mandagi sendiri. Tetapi dilain pihak, masyarakat adat juga umat Katolik di Kampung Wanam, dan Wogekel merasa dirugikan.
“Membuat Umat mulai tidak percaya Mandagi, bakal Gereja Katolik di Tanah Papua, khususnya Keuskupan Agung Merauke. Sebab dukungan Uskup ini sangat melukai hati dan perasaan umat. Uskup hanya pro pada orang yang punya jabatan dan uang besar, tapi mengabaikan orang yang lemah dan tak berdaya, juga yang membutuhkan kasih sayang dari seorang gembala”,terangnya.
Pernyataan Uskup Agung Merauke ini memperlihatkan wajah gereja Katolik di Tanah Papua yang baru. Jarang para misionaris dan pemimpin sebelumnya mengeluarkan stagmen kontroversial seperti itu, walaupun bertemu dengan sejumlah pihak terkait lainnya.
Mandagi membuka pintu gereja bagi penguasa dan perusahaan selebar-lebarnya guna menjalin relasi atas nama kemanusiaan, kesejahteraan, kemakmuran, pembangunan dan kebaikan bersama. Pada saat yang sama menutup ruang dialog bagi orang yang kecil, lemah, tersingkir, teraniaya dan tertindas diatas tanah leluhurnya.
Sikap Mandagi menunjukkan bahwa secara perlahan Gereja Katolik di Tanah Papua, khususnya Keuskupan Agung Merauke menjadi komoditas politik dan ekonomi bagi penguasa dan perusahaan. Gereja di wilayah ini perlahan menjadi “pemadam api kebakaran” terselubung atas nama Tuhan.
“Suara Kenabian Suara kenabian tidak lagi netral. Bahkan tidak berguna bagi gereja lokal, terutama pada aspek hak-hak umat terhadap tanah adatnya. Ajaran sosial gereja yang diharapkan dapat menyentuh orang-orang yang membutuhkan pertolongan, bukan lagi dipandang sebagai kebutuhan dan kepedulian bagi gereja (pemimpin gereja setempat). Upaya Mandagi pada belakangan ini cukup mencemaskan umat”,tandasnya.
Selain itu, umat semakin tidak percaya gereja dengan pernyataan, sikap, dan keberpihakan gereja yang
terkesan lebih mendukung orang yang berkuasa dan memiliki modal ketimbang masyarakat biasa. Ini membuat umat disini semakin ragu dan tidak percaya terhadap gereja Katolik Roma di Merauke ini. Karena pemimpin gereja tidak menunjukkan kepedulian terhadap domba-domba kecil di Kampung Wanam dan Wogekel, Distrik ilwayab, Merauke, Papua Selatan.
“Untuk itu, kami dari Suara Kaum Awam Katolik Papua, sebagai bagian dari gereja melakukan aksi protes terhadap sikap, penyataan dan keberpihakan Uskup Agung Merauke yang kontroversial. Maka melakukan aksi pada hari Minggu, 20 Oktober 2024, pukul 09:30-10:30 WIT di halaman Gereja Katolik, Paroki “Kristus Juruselamat” Kotaraja, Kota Jayapura, Papua”,ucapnya dalam press release tersebut.
Aksi tersebut diikuti 5 orang usai mengikuti misa pertama di Gereja pada pukul 08:00 WIT. Sebanyak 15 pamflet dijejerkan di jalan masuk menuju gereja. Aksi ini dilakukan secara damai tanpa kekerasan, dan melakukan orasi.
“Paling penting adalah ribuan umat yang datang dapat melihat dan ada yang bertanya kami menjawab tujuan aksi tersebut. Karena, hingga saat ini umat Katolik di Tanah Papua masih berdebat soal pernyataan Uskup Mandagi yang kontroversial, dimana mendukung penguasa dan perusahaan pada saat umatnya sendiri sedang menolak Program Strategis Nasional (PSN) tersebut”,tegasnya.
Untuk itu, semua orang harapkan kebesaran hati dan kerendahan hati dari Uskup Mandagi untuk membuka ruang dialog dan meminta maaf secara langsung, agar semua orang bisa tenang. Semestinya Uskup hadir mendukung komitmen Paus Fransiskus yang melawan penguasa dan perusahaan yang merusaak ekosistem dan lingkungan hidup. Bukan sebaliknya “berselingkuh” dengan mereka (penguasa) untuk memberikan kontribusi negatif yang berdampak pada pemanasan global. [red]