Warinussy: Ada upaya Sistematis Negara “menahan” proses Penegakan Hukum atas pelanggaran HAM Berat di Tanah Papua
MANOKWARI, PAPUASPIRITNEWS.com-Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy kembali mempertanyakan komitmen negara jelang berakhirnya kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Ir.H.Joko Widodo tentang penyelesaian kasus dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat Wasior tahun 2001? Serta kasus dugaan pelanggaran HAM Berat Wamena tahun 2003?
Sebagai peraih Penghargaan Internasional di bidang HAM John Humphrey Freedom Award Tahun 2005 di Canada, Warinussy tidak melihat sama sekali adanya keseriusan negara dalam menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM Berat pada Kasus Wasior tahun 2001 maupun kasus Wamena tahun 2003 tersebut.
Sebab, pada tahun 2003 Komnas HAM telah melakukan penyelidikan pro Justitia (untuk/demi hukum atau undang-undang) okeh Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran HAM Berat dalam Peristiwa Wasior tahun 2001-2002. Bahkan langkah penyelidikan Komnas HAM telah ditandai dengan adanya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyelidikan Peristiwa Wasior dan Wamena dari Komnas HAM, yaitu dengan surat nomor : 251/TUA/XII/2003, tanggal 22 Desember 2003.
Tim Ad hoc Komnas HAM RI mulai bekerja dari tanggal 17 Desember 2003 sampai tanggal 31 Juli 2003. Khusus untuk kasus Wasior, tim Komnas HAM RI telah mendengar saksi sebanyak 110 orang. Mereka terdiri dari 50 orang saksi korban, 33 orang saksi anggota Polri, dan 2 orang saksi anggota TNI.
Sedangkan untuk Kasus Wamena tahun 2003, Tim Komnas HAM telah mendengar keterangan saksi sebanyak 110 orang, yang terdiri dari 93 orang saksi korban, 12 orang saksi anggota TNI dan 5 orang saksi anggota Polri. Selanjutnya dalam peristiwa Wamena, terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran HAM yang Berat, yaitu dalam bentuk pembunuhan terhadap 9 (sembilan) warga sipil, pengusiran penduduk (sebanyak 42 orang meninggal dunia karena kelelahan dan kekurangan makanan), perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang terhadap 15 orang, dan penyiksaan (sebanyak 30 orang mengalami penyiksaan).
Selain itu, Komnas HAM RI juga menemukan adanya pemaksaan penandatanganan surat pernyataan dan pengrusakan berbagai fasilitas umum, seperti gereja, poliklinik dan gedung sekolah yang juga mengakibatkan adanya pengusiran secara paksa. Sementara itu, dalam kasus Wasior, juga terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Wasior dengan bentuk-bentuk tindakan pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, perkosaan, dan penghilangan secara paksa terhadap penduduk sipil. Karena berlangsung secara meluas, maka bentuk-bentuk tindakan tersebut dapat dikategorikan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (crime againts humanity).
Bentuk perbuatan (type of act) dan pola (pattern) kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam peristiwa Wasior antara lain: pembunuhan terhadap 4 (empat) orang penduduk sipil, yaitu : Daud Yomaki, Felix Urbon, Henok Marani, dan Guntur Samberi. Penyiksaan dalam skala besar dan luas terhadap penduduk sipil yang dicurigai sebagai pelaku pembunuhan, baik laki-laki maupun perempuan sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) orang penduduk sipil telah menjadi korban penyiksaan tersebut, dan akibatnya ada 1 (satu) orang meninggal dunia di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Polres (Polresta) Manokwari.
Selain itu, dalam melakukan operasi pengejaran terhadap pelaku pembunuhan anggota Brimob, telah terjadi perkosaan terhadap dugaan 1 (satu) orang penduduk sipil. Dalam operasi pengejaran telah terjadi juga tindakan kejahatan penghilangan paksa terhadap sebanyak 4 (empat) orang penduduk sipil. Hasil penyelidikan Komnas HAM RI terhadap peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat di Wasior Tahun 2001 dan Wamena tahun 2003 telah pernah disampaikan kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada tahun 2004. Yaitu dengan surat nomor : 290/TUA/IX/2004, tanggal 3 September 2004.
Selanjutnya pada tanggal 30 November 2004, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mengembalikan berkas hasil penyelidikan peristiwa Wasior dan Wamena kepada Komnas HAM dengan petunjuk untuk dilengkapi persyaratan formil dan materilnya.
Sebagai Advokat dan Pembela HAM, Yan Christian Warinussy menduga bahwa ada upaya sistematis dari negara yang diwakili oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Komnas HAM RI untuk “menahan” proses Penegakan Hukum atas peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat di Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003 dengan memanfaatkan mekanisme hukum acara yang sepertinya tidak cukup diatur tegas dan mengikat dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM.
Sebab ada gilirannnya, LP3BH Manokwari menemukan fakta bahwa ada surat Kejaksaan Agung Republik Indonesia Nomor : R-076/A/Fd.3/11/206, perihal pengembalian berkas perkara pelanggaran HAM Berat peristiwa Wasior dan Wamena untuk dilengkapi. Komnas HAM menindaklanjuti dengan melakukan “penyelidikan ulang”.
LP3BH Manokwari menemukan pula bahwa Komnas HAM RI kemudian menindaklanjuti penyelidikan ulang. Selanjutnya pada tahun 2017, LP3BH Manokwari menemukan bahwa Komnas HAM “secara diam-diam” telah berupaya menghentikan penyelidikan peristiwa dugaan pelanggaran HAM Berat Wasior dan Wamena tersebut.
Karena di dalam surat nomor : 14/WATUA II/I/2017 dikirim kepada Kontras Jakarta, Komnas HAM RI menyatakan bahwa ada kendala dalam Kasus Wasior dan Wamena, dimana Komnas HAM RI dalam pelaksanaan tugasnya belum dapat memenuhi keseluruhan petunjuk yang diberikan oleh Jaksa Agung, karena kendala-kendala seperti dokumen-dokumen para korban dalam kedua peristiwa tersebut yang sudah tidak ada.
Kemudian beberapa pihak yang dimintai keterangan sudah meninggal dunia, ada saksi yang masih trauma, sehingga be kok UM bersedia memberikan keterangan. Selain itu, karena Tempat Kejadian Peristiwa (TKP) kasus Wasior dan Wamena telah berubah. Alasan pemekaran wilayah, sehingga menyulitkan. Penelusuran dokumen yang dibutuhkan.
“Alasan-alasan tersebut sangat aneh dan sungguh mengherankan, karena tidak pernah dipercakapkan atau didiskusikan dengan kami para pekerja HAM di Tanah Papua selama kurun waktu 23 tahun Wasior dan 21 tahun Wamena.
Sehingga dengan demikian kami dapat terlibat dalam memberi informasi dan memberi saran langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut”,ujar Warinussy dalam keterangannya Rabu, (2/10).
Hal ini, kata Warinussy sekaligus semakin menurunkan kepercayaan rakyat (publik) atas kapasitas dan kemampuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam menyelesaikan peristiwa dugaan Pelanggaran HAM Berat di Indonesia secara hukum.
Indikatornya, karena pemerintah Presiden Joko Widodo pernah menyatakan akan menyelesaikan kasus Wasior dan Wamena di Pengadilan HAM. Pernyataan tersebut juga disampaikan dalam sidang Universal Periodic Revieuw (UPR) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss, tanggal 3 Mei 2017.
“Pendek kata, hingga kini jelang peringatan 76 Tahun Peringatan Hari HAM Internasional, 10 Desember 2024 mendatang, fakta menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tidak Mampu Menyelesaikan Peristiwa Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Wasior (2001) maupun Wamena (2003)”,pungkasnya. [*]